ISTRI Anda possessive yang kerjaannya bertanya-tanya melulu dengan pertanyaan tak perlu? Aha, silakan iri pada saya. Istri saya asyik-asyik saja.
Nah, belasan menit lalu, seorang teman kantor tampak bersungut-sungut. Parasnya murka saat kami ngopi di tengah ruangan sebelum jam kerja tiba. Apa yang terjadi padanya? "Istriku ngomel. Omelan yang nggak perlu sebab sudah aku jelaskan bahwa aku memang harus lembur karena kantor lagi kejar target. Jadi wajar dong pulang rada telat," paparnya di tengah tiga kawannya, termasuk saya.
Pertanyaan-pertanyaan istri AFI, sebut saja begitu, sebenarnya ringan, macam "jam segini kok belum pulang?", "apa aja sih yang kamu kerjakan?", atau "lembur apa 'lembur'?" Si istri membombardirkan pertanyaan bin sindiran itu lewat SMS. Tak jarang juga telepon. Tapi karena AFI stress oleh pekerjaan, maka ketika ditimpuki pula oleh pertanyaan-pertanyaan itu jadilah ia kian geram.
Possessive-kah istri AFI? Sepertinya iya. Dan sepertinya ia juga kekanak-kanakan. Masalahnya sebelum-sebelum ini AFI juga mengeluhkan istrinya yang tak mau peduli suaminya sedang dimana dan sedang mengerjakan apa, yang penting ia harus dijemput saat itu juga, atau minta diantar ke toko buah, atau diajak menyumbang pernikahan seorang temannya padahal saat itu AFI sedang dibekap pekerjaan. Suatu ketika istri AFI bahkan mengirim SMS hanya untuk membahas baju AFI. Menurut si istri, baju rapi yang dikenakan AFI jangan-jangan untuk urusan janjian dengan perempuan lain. Astaga!
Saya membayangkan betapa penatnya kepala si AFI ini. Pantas saja ia sering murung. Bahkan kerap ia jadi sensitif sekali. Disapa secara mendadak oleh tetangga mejanya saja ia membanting pulpen lantaran terkejut. Ya, AFI menjadi mudah kaget hanya oleh tutup gelas jatuh dari meja, atau oleh bunyi pintu bos yang kadang berderit panjang. Sering pula ia mengamuk pada beberapa anak buahnya, padahal dosa anak buahnya tak seberapa berat. Saya jadi kasihan padanya.
Dibandingkan saya yang beruntung mendapatkan istri yang asyik, yang cukup saya kirimi pesan pendek "aku pulang rada telat. Kerjaan numpuk. Ga apa ya?" lalu dibalas dengan: "Okay. Good luck ya. Jangan lupa makan", maka 'nasib' AFI ini tak terbayang peliknya.
Lalu, apa jurus ampuh untuk menghalau amuk istri yang possessive macam ini? Dengan gegabah saya bilang, cueki saja. Nanti lambat laun dia pasti capek sendiri. Tapi Roy langsung menyergap, "Ente ga bisa gampang bilang gitu, coy! Urat syaraf ente beda sama AFI. AFI itu sensitif, ia pintar tadinya, tapi jadi nggak pede karena dipelintir bini."
Lalu si Roy coba menganalisa. Sarjana komunikasi ini memang dekat dengan AFI, bahkan istri AFI juga ia kenali dengan baik. Ia menganjurkan AFI untuk bicara baik-baik, empat mata, tanpa perlu anak-anaknya tahu. Dalam dialog itu, menurut Roy, AFI harus menunjukkan wibawanya sebagai suami. AFI harus mengatakan bahwa ia merasa senang sebab istrinya sangat perhatian, tapi bentuk perhatiannya jangan kelewat batas. AFI tak perlu menunjukkan nada tinggi saat memberi pengertian. Bertutur lembut saja tapi mengena.
"Sudah kulakukan, brur, dan dia memang berubah. Tapi itu cuma dua hari. Setelahnya, ya ngomel-ngomel lagi. Bawaannya ngamuk. Kalau SMS tak kubalas, anak-anak jadi pelampiasan. Apa ini nggak keterlaluan!"
Sindu unjuk suara. Anak Jakarta ini mengaku pernah menghadapi problem serupa. Istrinya penuh curiga, bahkan setiap siang menelepon hanya untuk memastikan Sindu makan dengan siapa. Tak cuma itu, si istri bahkan kerapkali menelepon kantor hanya untuk menanyakan apakah Sindu berada di tempat. Atau bila keluar, keluar sama siapa, naik apa, dan seterusnya. "Gue stress bro, sumpah! Gue kerja untuk istri dan anak, minum engga, biliar juga kaga. Apalagi nyabu dan yang ngeri-ngeri lainnya."
Nah, pendekatan Sindu terhadap istrinya simpel saja. Ia mencoba bersabar, dengan menjawab tanpa emosi tiap kali istrinya mencurigai. Terkadang ia ajak istrinya datang ke acara-acara nonformal, di luar kantornya. Ia beri tahu, ini loh duniaku. Ia juga tak pernah menilep gaji, dengan kasbon, atau mengutil kartu ATM istrinya. Ia mengalah bukan berarti kalah. Sindu hanya berprinsip, rumahtangga adalah milik bersama, dan dikelola berbarengan pula antara dia dan istrinya.
Tapi AFI tetap saja ngeyel. Ia sudah melakukan semuanya, termasuk tips dari Sindu tadi. Tapi nihil hasilnya. Tabiat istri AFI, seorang sarjana pariwisata yang memilih menjadi ibu rumahtangga, telah parah. Saya garuk-garuk kepala, Roy nyengir kuda, Sindu pun geleng-geleng kepala.
Hingga kemudian datanglah Mas Faisal, pemimpin perusahaan di kantor kami. "Ada apa duduk menggerombol? Kaya rencana mau ngerampok ATM saja."
Setelah saya jelaskan duduk perkaranya, Mas Faisal manggut-manggut. Ia mendadak bertanya, apakah AFI sudah mengajak istri menghadap orangtua istrinya tersebut. Juga ia tanyakan, apakah pernah si istri diajak duduk bersama kakak-kakaknya.
Dalam sebuah kesempatan, menurut Mas Faisal, ada baiknya AFI berterus terang saja. Bicaralah perlahan, jangan sampai istrinya merasa tersinggung sebab seolah-olah AFI mengadu. "Ya, ngomonglah setengah guyon, jangan seperti di ruang pengadilan. Sampaikan keluhanmu. Omonglah apa adanya. Ingat, jangan menjadikan istrimu sebagai tersangka, karena tampaknya ia bukan tipe perempuan berhati lapang. Lebih bagus lagi ucapkan permintaan maaf sebelum kamu uraikan apa yang menjadi bebanmu selama ini," papar Mas Faisal panjang lebar.
Mujarabkah cara ini? "Belum tentu juga, sebab agaknya ego istrimu ini bawaan lahir. Tapi, setidaknya ia menjadi tahu bahwa kelemahannya sudah diketahui oleh keluarganya. Ia akan malu bila kelak AFI membawa-bawa kembali persoalan ini ke tengah keluarganya."
Saya, Sindu, dan Roy kini menunggu apakah AFI akan membawa kabar gembira mengenai istrinya ...
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H