Tapi AFI tetap saja ngeyel. Ia sudah melakukan semuanya, termasuk tips dari Sindu tadi. Tapi nihil hasilnya. Tabiat istri AFI, seorang sarjana pariwisata yang memilih menjadi ibu rumahtangga, telah parah. Saya garuk-garuk kepala, Roy nyengir kuda, Sindu pun geleng-geleng kepala.
Hingga kemudian datanglah Mas Faisal, pemimpin perusahaan di kantor kami. "Ada apa duduk menggerombol? Kaya rencana mau ngerampok ATM saja."
Setelah saya jelaskan duduk perkaranya, Mas Faisal manggut-manggut. Ia mendadak bertanya, apakah AFI sudah mengajak istri menghadap orangtua istrinya tersebut. Juga ia tanyakan, apakah pernah si istri diajak duduk bersama kakak-kakaknya.
Dalam sebuah kesempatan, menurut Mas Faisal, ada baiknya AFI berterus terang saja. Bicaralah perlahan, jangan sampai istrinya merasa tersinggung sebab seolah-olah AFI mengadu. "Ya, ngomonglah setengah guyon, jangan seperti di ruang pengadilan. Sampaikan keluhanmu. Omonglah apa adanya. Ingat, jangan menjadikan istrimu sebagai tersangka, karena tampaknya ia bukan tipe perempuan berhati lapang. Lebih bagus lagi ucapkan permintaan maaf sebelum kamu uraikan apa yang menjadi bebanmu selama ini," papar Mas Faisal panjang lebar.
Mujarabkah cara ini? "Belum tentu juga, sebab agaknya ego istrimu ini bawaan lahir. Tapi, setidaknya ia menjadi tahu bahwa kelemahannya sudah diketahui oleh keluarganya. Ia akan malu bila kelak AFI membawa-bawa kembali persoalan ini ke tengah keluarganya."
Saya, Sindu, dan Roy kini menunggu apakah AFI akan membawa kabar gembira mengenai istrinya ...
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H