Pendahuluan
Dongeng Sangkuriang merupakan salah satu legenda rakyat yang sangat populer di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Barat. Dongeng ini sarat dengan nilai-nilai budaya dan pesan moral. Seperti halnya banyak cerita rakyat lainnya, dongeng Sangkuriang memiliki pola narasi yang khas dengan struktur alur yang unik.
Artikel ini akan membahas bagaimana pola alur dalam dongeng Sangkuriang dapat dianalisis menggunakan teori alur yang sering diterapkan dalam kajian folklore, serta bagaimana elemen-elemen dalam cerita tersebut menyampaikan pesan budaya kepada pembacanya.
Definisi Folklore
Folklore merupakan kisah yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui penyampaian secara lisan tanpa dicatat dalam bentuk tulisan. Cerita rakyat ini menjadi bagian dari kebudayaan yang diwariskan secara tradisional dan sering kali memiliki variasi dalam penyajiannya. Setiap generasi meneruskan folklore ini menyesuaikan dengan konteks zaman. (Dan et al., n.d.)
Apa itu Formula Alur dalam Folklore?
Formula alur merupakan rangkaian peristiwa yang membentuk jalannya sebuah cerita. Dalam cerita rakyat, alur biasanya terdiri dari beberapa tahap penting yang menggerakkan cerita dari awal hingga akhir.
Terdapat berbagai teori mengenai formula alur, salah satu yang paling dikenal adalah teori Freytag. Teori-teori ini mengidentifikasi pola-pola alur yang sering muncul dalam cerita rakyat, seperti alur maju, alur mundur, atau kombinasi keduanya. Formula alur membantu untuk memahami cara sebuah cerita dirancang dan alasan pola alur tersebut efektif dalam menyampaikan pesan moral serta nilai-nilai dalam budaya tertentu
Ciri Utama Folklore
Menurut Danandjaja dalam Jurnal Metabasa, folklore memiliki ciri khas utama yang ditandai dengan pewarisan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui ucapan, gerakan, atau alat bantu pengingat tertentu. Folklore bersifat tradisional dengan bentuk yang cenderung tetap, dan biasanya disebarkan dalam suatu komunitas selama waktu yang cukup panjang, minimal dua generasi.
Karena disampaikan secara lisan, folklore sering memiliki berbagai variasi, meskipun perubahan tersebut umumnya hanya pada aspek luar, sementara inti ceritanya tetap terjaga. Folklore juga bersifat anonim karena penciptanya tidak lagi diketahui. Selain itu, folklore memiliki pola tertentu, fungsi sosial dalam kehidupan bersama, logika yang berbeda dari logika umum, dan dianggap sebagai milik bersama suatu komunitas. Kejujuran emosi manusia tercermin dalam sifat folklore yang sederhana dan spontan, meskipun terkadang terasa kasar atau terlalu apa adanya.(Haliza,Nur. 2020)
Ringkasan Dongeng Sangkuriang
Dahulu kala, seekor babi hutan kehausan dan meminum air dari pohon keladi. Ternyata air itu adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Tidak lama setelah meminum air tersebut, Sang Babi pun mengandung dan melahirkan. Kemudian Raja membawa anak yang dilahirkan itu ke istana dan diberi nama Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi tumbuh cantik banyak pangeran yang meminangnya, namun ia menolak mereka semua. Karena itu, para pangeran saling berperang. Dayang Sumbi merasa sedih dan memilih untuk mengasingkan diri ditemani oleh anjing bernama Si Tumang. Suatu hari, Dayang Sumbi tanpa sadar berjanji akan menikahi siapa saja yang mengambilkan alat tenunnya yang jatuh. Si Tumang pun melakukannya, dan akhirnya mereka menikah. Tidak lama kemudian, Dayang Sumbi melahirkan seorang putra bernama Sangkuriang.
Sangkuriang lahir menjadi pemuda yang kuat dan tampan, namun dia tidak mengetahui bahwa si Tukang adalah ayah kandungnya. Hari itu ketika berburu, Sangkuriang amat sangat marah dan dibunuhnya Si Tumang. Kemudian Dayang Sumbi yang menerima hati Tumang untuk dimasak, membuatnya marah karena ia telah memakan hati suaminya. Dari kejadian itu, Sangkuriang diusir dan pergi mengembara.
Setelah pergi bertahun-tahun, Sangkuriang pun kembali dan jatuh cinta pada Dayang Sumbi yang tidak dikenalnya. Hal yang sama juga terjadi kepada Dayang Sumbi. Dia tidak tahu bahwa Sangkuriang anaknya, namun karena keduanya saling mencintai maka mereka merencanakan untuk segera menikah.
Sebelum pernikahan,Sangkuriang berniat untuk berburu. Dayang Sumbi membantunya mengenakan penutup kepala. Pada saat itulah Dayang Sumbi menyadari bahwa itu anaknya ketika melihat luka di kepala Sangkuriang.
Sangkuriang diminta untuk membangun bendungan di Sungai Citarum dan membuat sebuah perahu besar dalam waktu semalam sebagai syarat pernikahan. Saat tugas Sangkuriang hampir rampung, Dayang Sumbi merencanakan cara untuk menggagalkannya. Ia meminta bantuan para dewa, menyebarkan kain putih hasil tenunannya (boeh rarang), dan membuat ayam jantan berkokok sebelum fajar tiba.
Karena Sangkuring gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi, amarahnya pun tidak terkendali sehingga dia menjebol bendungan dan menendang perahu yang dibuatnya hingga menjadi Gunung Tangkuban Perahu. (Haliza,Nur. 2020)
Struktur Alur dalam Dongeng Sangkuriang
Dongeng Sangkuriang mengikuti pola alur yang cukup khas dalam dunia cerita rakyat, dengan beberapa elemen alur yang mudah diidentifikasi. Secara garis besar, alur dalam cerita ini dapat dikategorikan sebagai alur maju, dengan beberapa elemen maju-mundur yang memperkaya narasi.
Alur Maju
Secara umum dongeng Sangkuriang mengikuti alur maju, di mana cerita ini dimulai dari pengenalan tokoh dan latar belakang yang memaparkan situasi awal. Cerita ini berawal dengan kisah seorang pemuda bernama Sangkuriang terlahir dari keluarga yang memiliki ikatan dengan alam dan kekuatan magis.
Konflik utama dalam cerita ini adalah ketidaktahuan Sangkuriang bahwa Dayang Sumbi wanita yang ia cintai, adalah ibunya sendiri. Perjalanan Sangkuriang untuk membangun perahu raksasa demi menikahi Dayang Sumbi adalah inti dari konflik dan alur cerita.
Alur Maju-Mundur
Meskipun alur utama dalam dongeng Sangkuriang adalah alur maju, cerita ini juga menyelipkan beberapa elemen alur maju-mundur. Kejadian cerita ini terlihat ketika Sangkuriang mengetahui bahwa Dayang Sumbi adalah ibunya.
Sangkuriang yang semula tidak mengetahui hubungan tersebut, mulai merangkai kembali masa lalu dan akhirnya menyadari bahwa dia telah mencintai ibunya sendiri tanpa disadari. Pengungkapan ini mengubah arah cerita, memperdalam konflik dan menambah ketegangan dalam cerita.
Penggunaan Teori Plot Freytag
Freytag mengembangkan teori yang membagi plot cerita menjadi lima bagian yaitu eksposisi (pengantar cerita), aksi naik (tahap peningkatan konflik), klimaks (puncak cerita), aksi turun (penyelesaian konflik, dan resolusi (akhir cerita). (Ruauw, 2022)
Dalam dongeng Sangkuriang dapat dilihat dari penerapan teori tersebut, seperti :
1. Eksposisi, cerita dimulai dengan memperkenalkan Sangkuriang dan Dayang Sumbi, serta latar belakang mereka.
2. Aksi naik, terjadi ketika Sangkuriang memutuskan untuk membangun perahu supaya dapat menikahi Dayang Sumbi, konfliknya mulai berkembang.
3. Klimaks, terjadi ketika Sangkuriang hampir berhasil menyelesaikan perahu, namun Dayang Sumbi dengan licik menggagalkan rencana tersebut.
4. Aksi turun, konflik mulai reda saat Sangkuriang menyadari kenyataan tentang hubungannya dengan Dayang Sumbi.
5. Resolusi, cerita berakhir dengan transformasi alam, di mana perahu yang belum selesai dibangun berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu, simbol dari tragedi dan kisah cinta yang terlarang.
Unsur Intrinsik dalam Dongeng Sangkuriang
Selain alur, dongeng Sangkuriang juga dilengkapi dengan unsur intrinsik yang membentuk struktur naratif. Beberapa unsur yang ada, saling berinterkasi untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan oleh cerita tersebut. Unsur itu terdiri dari :
1. Tema, dalam cerita ini bertemakan tentang Sangkuriang, cinta terlarang, dan penebusan. Cerita ini mengandung pesan tentang pentingnya menyadari kesalahan dan menghindari cinta yang terlarang.
2. Tokoh, Sangkuriang sebagai tokoh utama yang merupakan pemuda penuh semangat namun terjebak dalam kesalahpahaman. Dayang Sumbi ibunya, adalah tokoh wanita yang berperan sebagai pahlawan sekaligus antagonis dengan tindakan-tindakannya yang mengubah arah takdir Sangkuriang.
3. Latar, terletak di daerah Sunda dekat dengan mitos dan kepercayaan lokal, terutama yang berkaitan dengan alam dan gunung. Gunung Tangkuban Perahu menjadi simbol dari perahu yang tidak selesai dibangun, menunjukkan akan suatu hubungan erat antara manusia dan alam dalam dongeng ini.
4. Alur, pada dongeng ini terdapat dua alur yang terjadi, yaitu alur maju dan alur maju mundur.
5. Sudut pandang, dongeng ini umumnya disampaikan melalui sudut pandang orang ketiga karena tidak ada penulis yang menceritakan langsung pengalamannya.
6. Amanat, pesan moral yang terkandung adalah tentang kesadaran diri, penyesalan dan penerimaan takdir. Konflik yang terjadi menggambarkan pentingnya introspeksi dalam menghadapi pilihan hidup yang sulit.
Kesimpulan
Dongeng Sangkuriang bukan hanya menyajikan kisah menarik, tetapi juga mengandung pesan moral yang mendalam tentang kesalahan, penebusan dan takdir. Dengan alur cerita yang memadukan elemen maju dan maju-mundur, serta penerapan teori plot Freytag, cerita ini menggambarkan bagaimana konflik dan pengungkapan identitas membawa perubahan besar dalam takdir para tokohnya.
Pesan tentang pentingnya kesadaran diri dan introspeksi semakin memperkaya nilai budaya yang terkandung dalam folkore ini, menjadikannya warisan yang terus relevan dan menginspirasi generasi demi generasi.
Referensi :
Dan, S., Sosial, F., Rakyat, C., Usul, A., & Batunabontar, K. (n.d.). ISSN : 2302-3538. 8(1), 1–9.
Nur Haliza, Eko Kuntarto, A. K. (2020). Manifestasi Nilai Didaktis Cerita Rakyat Sangkuriang Dalam Novel “Supata Sangkuriang” Karya Alexandreia Wibawa. Jurnal Metabasa, 2, 38–50.
Ruauw, W. M. (2022). Perjalanan Pahlawan Wanita Seperti Terefleksi Dalam Film “Zootopia” Produksi Clark Spencer. Jurnal Skripsi Sakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi, 1–22.
Penulis : (Firdza Rahmania Zahra, Nurul Fauziah Udi, Asep Nur Syamsi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H