Hubungan BUT, dengan Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah sebuah entitas bisnis yang didirikan oleh orang asing atau badan asing di Indonesia. BUT ini berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari perusahaan induk di luar negeri untuk menjalankan berbagai aktivitas bisnis di wilayah Indonesia. Pentingnya BUT di suatu negara adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi perusahaan asing untuk beroperasi di Indonesia. BUT tunduk pada peraturan perpajakan Indonesia sehingga memastikan kontribusi yang adil bagi negara. Keberadaan BUT juga sangat mempengaruhi penerapan P3B antara Indonesia dan negara asal perusahaan.
BUT menjalankan berbagai aktivitas bisnis seperti produksi, penjualan, atau jasa, dan secara hukum diperlakukan sebagai subjek pajak badan di Indonesia. Contoh BUT meliputi kantor cabang, pabrik, kantor perwakilan, dan proyek konstruksi. Sebagai subjek pajak, BUT dikenakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usahanya di Indonesia. Selain itu, keberadaan BUT juga dapat mempengaruhi penerapan perjanjian pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara asal perusahaan, sehingga dapat berimplikasi pada besaran pajak yang harus dibayar.
Berikut adalah perbedaan wajib pajak badan dalan negeri dan BUT:
Status Subjek Pajak:Wajib Pajak Badan dalam negeri merupakan subjek pajak yang didirikan di Indonesia, sedangkan BUT merupakan subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha di Indonesia. Perbedaan ini penting karena berkaitan dengan yurisdiksi pajak serta kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi.
Pendirian Badan Usaha/Tempat Kedudukan:Wajib Pajak Badan didirikan dan berkedudukan di Indonesia, sedangkan BUT tidak memiliki pendirian badan usaha di Indonesia, melainkan di luar negeri. Namun, BUT tetap diharuskan memiliki tempat usaha yang digunakan untuk menjalankan aktivitas bisnis di Indonesia.
Dokumen Pendirian:Untuk Wajib Pajak Badan, dokumen pendirian berupa akte pendirian perusahaan yang didirikan di Indonesia. Sebaliknya, BUT tidak memiliki dokumen pendirian di Indonesia, karena secara legal BUT merupakan bagian dari perusahaan induk di luar negeri.
Domisili/Residen:Wajib Pajak Badan dianggap sebagai residen di Indonesia apabila memenuhi persyaratan tertentu, seperti melampaui batas waktu (time test) 183 hari dalam periode 12 bulan. Sementara itu, domisili atau residen untuk BUT ditentukan oleh aturan yang sama, tetapi terkait dengan time test BUT sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang Pajak.
Penghasilan:Wajib Pajak Badan dikenakan pajak atas worldwide income atau penghasilan global, yaitu penghasilan yang berasal dari sumber di dalam maupun luar Indonesia. Sebaliknya, BUT hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja, termasuk penghasilan yang dapat diatribusikan langsung kepada kegiatan usaha BUT di Indonesia.
Sumber: PPT Prof. Apollo UMB (Sub-CPMK 4. Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment))
Apa Itu Bentuk Usaha Tetap (BUT)? Apa hubungan BUT dengan dengan Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme?
Bentuk usaha tetap (BUT) didefinisikan sesuai dengan peraturan:
- UU No. 35 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat (5)
- PMK No.35/PMK.03/2019 Pasal4 ayat (2)
- UU No.30 Tahun 2007 BAB I Pasal 1 Ayat 13
- PP No.23 Tahun 2015 BAB I Pasal 1 Ayat 25
BUT adalah bentuk atau badan usaha yang dipergunakan oleh orang asing atau badan asing untuk menjalankan kegiatan usaha di indonesia. BUT merupakan subjek pajak luar negeri sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (4) huruf a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua betas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; BUT merupakan cabang perusahaan, dan bukan merupakan anak perusahaan. Hal ini karena, BUT sebagai cabang perusahaan yang secara legal dan formal merupakan satu entitas (entitas yang tidak terpisah) dengan subjek pajak di luar negeri atau perusahaaninduknya.
Menurut PMK N0.35/PMK.03/2019 Pasal 4 ayat (1) kriteria BUT sebagai berikut:
- adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
- tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a bersifat permanen; dan
- tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
BUT Aktiva
Contoh:
- Tempat kedudukan manajemen
- Cabang perusahaan
- Kantor perwakilan
- Gedung kantor
- Pabrik
BUT Keagenan
Contoh: Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
BUT Aktivitas
Contoh:
- Proyek konstruksl, lnstalasl, atau proyek perakitan
- Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawal atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam [angka waktu 12 bulan
BUT Asuransi
Contoh: Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didlrlkan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerlma premi asuransl atau menanggung rislko di Indonesia
Bentuk Usaha Tetap (BUT) mewakili cara perusahaan asing beroperasi secara formal di Indonesia. Menurut Weber, etika Protestan yang mengedepankan kerja keras, rasionalitas, dan efisiensi, sejalan dengan upaya kapitalistik dalam pengembangan usaha di luar negeri melalui BUT. Semangat kapitalisme Weber menekankan akumulasi laba melalui usaha rasional dan investasi yang terorganisir, dan BUT menjadi sarana legal formal bagi entitas asing untuk terus menghasilkan laba di negara lain, seperti Indonesia. Prinsip panggilan hidup (calling) yang menganggap kerja sebagai manifestasi iman dan keselamatan dalam etika Protestan tercermin dalam pendekatan perusahaan asing yang melalui BUT dapat memperluas usaha mereka secara global, dengan tujuan efisiensi dan akumulasi laba terus-menerus.
Mengapa ada BUT dan hubungannya dengan Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme?
BUT diciptakan untuk mengatur perusahaan asing yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia secara legal dan sistematis. Dalam perspektif Weber, kapitalisme membutuhkan sistem legal yang stabil dan birokrasi yang teratur. Kapitalisme modern, seperti yang diuraikan Weber, berkembang di lingkungan yang mendorong efisiensi ekonomi dan rasionalitas melalui peraturan hukum, yang memungkinkan perusahaan untuk beroperasi dengan transparansi dan kepastian. BUT memungkinkan perusahaan asing untuk beroperasi sesuai kerangka hukum Indonesia, yang mencerminkan rational legal authority Weber, di mana aturan dan regulasi formal digunakan untuk mengatur aktivitas ekonomi global. Ini juga merupakan wujud dari semangat kapitalisme yang menuntut ekspansi dan rasionalisasi bisnis secara global.
Bagaimana Aspek Perpajakan BUT dan pengaruh Etika Protestan serta Semangat Kapitalisme
Menurut UU No.36 Tahun 2008 Pasal 2, Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Dalam sistem perpajakan Indonesia, bentuk usaha tetap (BUT) menempati kedudukan khusus karena disamping pemajakan atas BUT tersebut agak berbeda dibandingkan dengan pemajakan atas pemajakan atas wajib pajak pada umumnya, juga dalam kaitan dengan perpajakan (tax treaty), ada atau tidaknya suatu bentuk usaha tetap sangat menentukan dapat atau tidaknya suatu negara sumber mengenakan pajak atas Laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.
Dalam perpajakan, BUT dianggap sebagai subjek pajak yang sama dengan badan hukum lokal, dan keberadaan BUT menentukan hak negara sumber untuk mengenakan pajak atas laba yang diperoleh perusahaan asing. Ini mencerminkan prinsip rasionalitas ekonomi Weber, di mana negara menciptakan aturan yang memastikan semua pihak menjalankan kewajiban pajaknya secara adil. Etika Protestan yang menekankan efisiensi dan tanggung jawab moral dalam bisnis bisa dilihat dalam aspek perpajakan BUT. Perusahaan yang beroperasi melalui BUT diwajibkan mengikuti aturan perpajakan yang ada, dan seperti dalam kapitalisme Weberian, perpajakan menjadi bagian dari manajemen laba yang rasional dan legal. Pajak dianggap sebagai kontribusi penting bagi negara tempat mereka beroperasi, sesuai dengan konsep Weber tentang rational legal authority.
Secara umum, Max Weber membahas bagaimana etika Protestan, terutama aspek-aspek asketisisme dan kerja keras, berkontribusi pada pengembangan kapitalisme modern. Weber menganalisis pengaruh agama, khususnya Protestanisme, terhadap perilaku ekonomi dan bagaimana nilai-nilai religius ini memengaruhi perkembangan ekonomi kapitalistik.
- Tindakan Sosial dan Rasionalitas: Tindakan Sosial adalah tindakan individu yang mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Ada dua tipe tindakan sosial:
- Rasional: Di sini, tindakan terkait dengan tujuan yang jelas, dengan perhitungan efisiensi laba-rugi (L/R). Ada dua jenis rasionalitas: rasional instrumental (strategis) dan rasional nilai (berjuang untuk nilai tertentu seperti cinta, kewajiban, dan kepercayaan).
- Non Rasional: Tindakan ini didorong oleh kebiasaan, tradisi, dan pilihan pribadi yang tidak terkait langsung dengan tujuan rasional.
- Otoritas dan Karisma: Weber membedakan antara otoritas tradisional, yang berdasarkan adat istiadat dan kharisma (kemampuan luar biasa individu untuk mempesona dan menundukkan orang lain), dan otoritas modern, yang didasarkan pada rasionalitas, legalitas, dan birokrasi. Otoritas karismatik cenderung bersifat emosional dan temporer, sedangkan otoritas modern lebih impersonal dan berdasarkan aturan yang logis.
- Hubungan antara Ekonomi dan Agama: Weber mengidentifikasi beberapa hubungan antara agama dan ekonomi:
- Agama mempengaruhi ekonomi: Etika kerja yang dipengaruhi agama, seperti bisnis jujur dan etos kerja yang kuat.
- Ekonomi mempengaruhi perilaku agama: Contohnya, bagaimana kekayaan bisa memengaruhi intensitas spiritual seseorang.
- Komodifikasi agama: Agama menjadi komoditas, misalnya ketika agama digunakan untuk meraih keuntungan ekonomi.
- Etika Protestan dan Kapitalisme: Weber menyoroti bahwa etika Protestan, terutama ajaran tentang kerja keras, asketisisme, dan panggilan hidup (calling), berkontribusi pada semangat kapitalisme. Orang Protestan dianggap lebih produktif dan berorientasi pada industri dan bisnis dibandingkan dengan Katolik. Dalam pandangan Protestan, kerja dianggap sebagai panggilan dari Tuhan, dan sukses dalam kerja dianggap sebagai tanda keselamatan spiritual. Orang Protestan, menurut Weber, mengadopsi gaya hidup hemat dan efisien (asketisisme), yang membuat mereka terus menginvestasikan kembali kekayaan yang mereka peroleh alih-alih menggunakannya untuk kenikmatan pribadi.
- Semangat kapitalisme Weberian adalah pencarian laba terus-menerus secara rasional, di mana uang dan keuntungan dianggap sebagai tujuan akhir itu sendiri. Sikap ini tidak hanya mementingkan akumulasi kekayaan, tetapi juga penghindaran terhadap kesenangan yang berlebihan. Kapitalisme tidak lagi hanya dipandang sebagai cara mencapai kebahagiaan pribadi, tetapi sebagai "tujuan transenden" yang melampaui kebahagiaan individu.
Secara keseluruhan, Weber menyimpulkan bahwa etika Protestan---dengan fokus pada kerja keras, pengorbanan untuk masa depan, dan akumulasi kekayaan---membentuk dasar mentalitas kapitalis, di mana pencarian laba menjadi tujuan utama dalam kehidupan ekonomi.
Sumber:
Prof. Apollo UMB (PPT Sub-CPMK 4. Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment)
Prof Apollo UMB (Max Weber: Etika Protestan)
UU No. 35 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat (5)
PMK No.35/PMK.03/2019 Pasal4 ayat (2)
UU No.30 Tahun 2007 BAB I Pasal 1 Ayat 13
PP No.23 Tahun 2015 BAB I Pasal 1 Ayat 25
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H