Jakarta, 26/06/21--Kritik pedas dari BEM UI yang berjudul "Jokowi : The King Of Lip Service" telah kembali mendobrak semangat perlawanan di tanah air.
Krisis demokrasi yang terjadi pada saat ini sudah terlihat jelas di depan mata telanjang kita sendiri. Bagaimana para oligarki menyusun strategi sebegitu sistematis dan mulusnya dalam upaya menghilangkan sense of justice sekaligus semangat demokrasi di negara kita. Semakin terlihat jelas juga bahwa negara kita semakin kesini semakin dibawa menuju arah otoritarianisme.
Memang, upaya penyingkiran demokrasi oleh rezim saat ini jika kurangnya kita teliti tak akan terlihat. Karena memang gaya yang dipakai berbeda seperti dahulu. "Indikasi penurunan di era sekarang tidak sama seperti jaman dulu atau jaman perang dingin yaitu dengan cara membubarkan pers atau pembungkaman sipil kalo sekarang bahwa indikasi dari kemunduran adalah penyingkiran partisipasi politik yang diinisiasi oleh elit politik" Ujar Herdiansyah dalam agenda bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) Jum'at, (02/07/21).
Penyingkiran Partisipasi Publik
Lantas bagaiamana cara rezim saat ini menyingkirkan demokrasi? Jika menurut Herdi adalah dengan cara penyingkiran partisipasi politik atau mengabaikan peran rakyat. Ini berarti rakyat tak lagi diikutsertakan dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Seperti kita ketahui bagaimana polemik yang terjadi pada rezim ini dalam pembuatan kebijakan yang terus-menerus ditentang oleh rakyat. Diantaranya yaitu Omnibus Law atau UU Ciptaker yang kebanyakan malah menyengsarakan rakyat kecil dan buruh, yang pada akhirnya rampung dan disahkan pada tanggal 2 November 2020. Dan terkait ini juga judicial review yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang sebelumnya telah ditawarkan oleh Presiden, pada akhirnya tetap nihil.
Selanjutnya UU Minerba yang meskipun ditentang sama banyaknya juga, tetap rampung pada tanggal 12 mei 2020. Revisi UU KPK yang disahkan pada tanggal 17 September 2019 dalam waktu yang sangat singkat yaitu 13 hari, dalam rangka ingin memperkuat, ternyata malah menjadikan KPK sekarat terlebih setelah kejadian Tes Wawasan Kebangsaan yang sangat janggal itu.
Perseteruan UU ITE yang tak kunjung menemui titik terang akhirnya direvisi. Namun, alih-alih menambah citra demokrasi, revisi yang keluar malah menambah sederet pasal karet yang rumit dan tetap memuat adanya peluang multi interpretasi. Sedangkan RUU PKS sampai saat ini tak kunjung disahkan, padahal RUU itu tak pernah berhenti disuarakan baik oleh Komnas Perempuan ataupun oleh elemen rakyat yang lain.
Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat kini tak lagi memuat tendensi kepada rakyat melainkan telah berpindah arah kepada kepentingan para oligarki. Ini jelas menurunkan citra demokrasi kita hari ini. Memang, jika ditilik secara konstitusional hal ini tidak bertentangan dengan asas demokrasi. Namun, jika ditilik secara substansial sangat jelas ini malah meruntuhkan prinsip demokrasi; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Merosotnya Demokrasi : Pelan tapi Pasti