Lewat Grok, Musk ingin menciptakan asisten digital yang nggak cuma pintar, tapi juga punya kepribadian yang sekaligus bikin beda dengan AI lain.
Grok bisa jadi punya sisi "rebel" yang nggak selalu sesuai dengan norma atau etika yang ada.
Dan kalau kita bicara soal Musk, kita tahu dia bukan tipe orang yang suka main aman.
Jadi, kalau Grok ternyata jadi AI yang pinter tapi suka ngomong blak-blakan, ya nggak heran juga kalau produk buatannya sedikit banyak niru rebelnya dia.
Berpotensi Jadi "The Depressed Marvin"
Masalahnya, ambisi Musk ini bisa datengin risiko besar. Di satu sisi, Grok bisa jadi alat yang bikin kita semua lebih pintar dan lebih cepat dalam menghadapi tantangan.
 Tapi di sisi lain, kalau Grok terlalu pintar, bisa jadi kita sebagai penggunanya malah berakhir kayak Marvin dari The Hitchhiker's Guide to the Galaxy.
Marvin adalah robot yang kelewat pinter, tapi sifatnya sinis, pesimis, dan bahkan depresi. Kok bisa? Saking pinternya ini robot, dia jadi merasa semua hal di dunia ini terlalu remeh.
Bayangin, kalau dalam teori 'flow state' waktu tantangan depan mata itu terlalu rendah tapi pengetahuan dan kemampuannya tinggi, orang cenderung masuk ke 'boredom zone' atau zona yang bikin bosen.
Kalau terus semua tantangan jadi remeh buat pengguna Grok, maka masuk akal jika sering merasa depresi karena nggak tidak ada yang sulit lagi dan merasa semuanya sudah terjawab atau bisa dikerjakan dengan mudah.Â
Bahagia? Justru sebaliknya. Coba bayangkan, kamu menghadapi rutinitas yang sama setiap hari, pekerjaan yang begitu-begitu saja, tidak ada progress, tidak ada peningkatan, dan sudah mentok, apa yang akan dirasakan?Â
Grok AI Chatbot, Bagian Penting dalam Misi Besar Elon Musk
Apakah Musk bakal berhasil menciptakan AI yang bener-bener bikin dirinya jadi superhuman, atau malah bikin kita semua super-meremehkan banyak hal? Hanya waktu yang bisa menjawab.