"Start with Why" karya Simon Sinek itu ibarat ajian sakti buat para pemimpin atau siapa pun yang ingin bikin perubahan.
Bayangin deh, kita hidup di dunia yang serba ngebut, serba tangkas, dan penuh target. Rasanya kayak jadi hamster yang terus lari di roda tanpa henti.
Tapi tiba-tiba, Sinek datang dengan pertanyaan yang bikin kita berhenti sejenak, "Kenapa kita ngelakuin ini semua?"
Buku ini, dengan gaya penyampaiannya yang santai tapi ngena, berasa kayak ditampar pakai sandal jepit, tapi bikin sadar: "Kenapa".
Sinek nggak cuma ngomongin soal bisnis yang serba ribet, tapi juga soal hidup.
Soal gimana kita seharusnya nggak sekadar ngikutin arus, tapi juga ngerti kenapa kita berenang ke arah yang kita pilih.
Golden Circle: Rahasia di Balik Kesuksesan yang Nggak Cuma Modal Keberuntungan
Di sinilah "Golden Circle" mulai menunjukkan keampuhannya. Konsep ini sederhana tapi mantap: ada tiga lapisan---Why, How, dan What.
Biasanya, kebanyakan orang atau perusahaan memulai dari "What": Apa produk yang mereka jual? Apa layanan yang mereka tawarkan?
Apa sih yang bisa dijual biar laku? Dan karena kebanyakan orang fokus ke "What", jadilah persaingan makin ketat, kayak lomba karung pas 17-an.
Tapi, Sinek bilang, yang benar-benar sukses bukan mereka yang cuma tahu "apa" yang mereka lakukan, tapi mereka yang paham betul "kenapa" mereka melakukannya.
Contoh paling klasik? Apple. Steve Jobs dan timnya nggak cuma bikin produk keren, tapi juga punya visi jelas. Mereka nggak cuma jualan gadget, tapi ngajak orang buat "Think Different".
Jadi, kalau ada yang beli iPhone bukan karena perlu, tapi karena merasa "aku juga bagian dari orang-orang yang "berpikir berbeda".
Apakah "Why" Penting Buat Kita yang Cuma Orang Biasa-Biasa Aja?
Lalu, apakah konsep ini cuma berlaku buat perusahaan besar kayak Apple?Â
Tentu saja enggak. Sinek bilang, kita semua, dari bos perusahaan sampai tukang parkir, perlu menemukan "Why" kita.
Karena di tengah rutinitas yang kadang lebih membosankan dari sinetron, konsep ini bisa jadi penyelamat.
Ketika kita mulai dari "Why", hidup kita jadi lebih terarah, nggak sekadar ngejar gaji, duit, dan sukses, tapi lebih ke memahami kenapa kita memilih jalan hidup ini.Â
Nggak lagi terjebak dalam siklus kerja yang bikin kepala pening setiap hari Senin.
Coba deh, bayangin seorang guru yang ngajar bukan cuma karena butuh pekerjaan, tapi karena dia percaya bahwa pendidikan bisa mengubah hidup anak-anak yang dia ajar.
"Why" ini yang bikin dia terus semangat, meskipun gaji mungkin nggak seberapa, meskipun anak-anak murid seringnya bandel.
Buat si guru, setiap kali lihat muridnya paham pelajaran, itu kayak kemenangan kecil yang bikin hidupnya punya arti.
Refleksi: "Why" Kamu Apa Nih?
Nah, sekarang saatnya refleksi ala-ala. Buat kita yang suka kebawa arus, yang seringnya ngikutin aja apa kata lingkungan, coba deh tanya ke diri sendiri: "Why saya apa ya?"
Apakah kita kerja cuma karena gaji bulanan? Atau karena ada makna lebih besar di balik itu?
Kadang, nanya kayak gini bisa bikin pusing. Tapi pusingnya worth it, soalnya ketika kita tahu "Why" kita, hidup jadi lebih nyenengin, meskipun tantangannya nggak berkurang.
Dan buat yang merasa konsep ini terlalu muluk-muluk, coba aja dulu. Kalau nggak nyambung, ya balik lagi ke cara lama.
Tapi kalau nyambung, siapa tahu hidup jadi lebih berarti dan nggak cuma muter-muter kayak hamster di roda. Karena, seperti: "Hidup tanpa 'Why' itu ibarat nonton bola tanpa gol---bosan, bolo."
Bagaimana Menemukan 'Why' Kita?
Di buku Start with Why, masih belum ada jawaban mengenai cara kita menemukannya.
Tapi, Simon Sinek punya buku lanjutan, 'Find Your Why' yang akan membantu siapa saja menemukan 'Why' dalam hidupnya.
Buat reviewnya, ditunggu, ya. Boleh banget bubuhkan komentar buat yang mau~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H