Lalu, apakah konsep ini cuma berlaku buat perusahaan besar kayak Apple?Â
Tentu saja enggak. Sinek bilang, kita semua, dari bos perusahaan sampai tukang parkir, perlu menemukan "Why" kita.
Karena di tengah rutinitas yang kadang lebih membosankan dari sinetron, konsep ini bisa jadi penyelamat.
Ketika kita mulai dari "Why", hidup kita jadi lebih terarah, nggak sekadar ngejar gaji, duit, dan sukses, tapi lebih ke memahami kenapa kita memilih jalan hidup ini.Â
Nggak lagi terjebak dalam siklus kerja yang bikin kepala pening setiap hari Senin.
Coba deh, bayangin seorang guru yang ngajar bukan cuma karena butuh pekerjaan, tapi karena dia percaya bahwa pendidikan bisa mengubah hidup anak-anak yang dia ajar.
"Why" ini yang bikin dia terus semangat, meskipun gaji mungkin nggak seberapa, meskipun anak-anak murid seringnya bandel.
Buat si guru, setiap kali lihat muridnya paham pelajaran, itu kayak kemenangan kecil yang bikin hidupnya punya arti.
Refleksi: "Why" Kamu Apa Nih?
Nah, sekarang saatnya refleksi ala-ala. Buat kita yang suka kebawa arus, yang seringnya ngikutin aja apa kata lingkungan, coba deh tanya ke diri sendiri: "Why saya apa ya?"
Apakah kita kerja cuma karena gaji bulanan? Atau karena ada makna lebih besar di balik itu?
Kadang, nanya kayak gini bisa bikin pusing. Tapi pusingnya worth it, soalnya ketika kita tahu "Why" kita, hidup jadi lebih nyenengin, meskipun tantangannya nggak berkurang.