Mohon tunggu...
Firdaus Ferdiansyah
Firdaus Ferdiansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Lagi asyik ngampus di universitas nomor satu

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Start yang Mengecewakan, Oh KPK

23 Januari 2020   11:06 Diperbarui: 23 Januari 2020   11:27 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2 bulan berlalu semenjak disahkannya perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya berganti menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019. RUU KPK 19/19 begitu kami menyebutnya. 

Berbeda dengan proses pembahasannya yang berlangsung cukup kilat hanya sekitar 2 pekan, tak sebanding dengan konsekuensi yang ditimbulkan di tengah tengah masyarakat. Tak sedikit yang menyayangkan atas revisiini, begitu juga dengan pihak yang ikut serta mendukungnya. Entah masyarakat terbagi menjadi beberapa pihak, namun polemik yang ditimbulkan jelas  mencerminkan sikap skeptis dan kritis masyarakat terhadap pengusul revisi ini, DPR dan Pemerintah. 

Perlawanan demi perlawanan terjalin sebagai bentuk ekspresi masyarakat yang tak ingin mengadu nasib bangsa terhadap pihak yang melemahkan upaya KPK dalam menangangi kasus korupsi. Sejatinya kasus korupsi termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus dihadapi dengan cara cara dan kewenangan yang luar biasa pula. Itu yang menyebabkan UU KPK memiliki sifat kekhususan (lex specialis).

Begitu juga perlawanan yang berasal dari internal KPK. Dalam siaran persnya misal, tanggal 25 September 2019 KPK menyebutkan ada sekitar 26 poin yang dianggap berpotensi melemahkan agenda pemberantasan korupsi di dalam RUU KPK 19/19. Termasuk di dalamnya soal independensi KPK, pembentukan Dewan Pengawas, pengurangan kewenangan, hingga perpanjangan birokrasi dalam kerja KPK. 

Rupanya untuk menekan kekuasaan yang selama ini diperhitungkan, hasil RUU KPK 19/19 membentuk struktur baru di tubuh KPK yaitu Dewan Pengawas. Dimana keberadaan Dewan Pengawas ini diatur dalam Pasal 21 tentang struktur KPK yang terdiri atas Dewan Pengawas dengan jumlah 5 orang, Pimpinan KPK dengan 5 orang, serta Pegawai KPK.

Lempar Batu Sembunyi Tangan

Beragam drama yang ditampilkan kepada publik seolah tiada henti problematika yang mewarnai perjalanan RUU KPK 19/19. Kabar yang menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo tidak menandatangani RUU KPK pun tidak berpengaruh terhadap hasil pembahasan sebelumnya. 

Nyatanya, RUU KPK tetap berlaku sah dan mengikat dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah RUU disetujui bersama. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 20 Ayat 5 yang menyebutkan bahwa "Dalam hal Rancangan Undang Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang Undang tersebut disetujui, Rancangan Undang Undang tersebut sah dan wajib diundangkan"

Sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden Joko Widodo menyatakan komitmennya terhadap penguatan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun sikap yang ditunjukkan dengan cara menyetujui pembahasan RUU KPK seolah tidak sebanding dengan apa yang menjadi narasinya selama ini yaitu penguatan upaya pemberantasan korupsi. 

Tindakan inkonsistensi ini bisa menjadi wajar sebab dirinya tidak mampu menangai manuver dan konsekuensi politik di lingkarannya. Apalagi jika ditelisik mundur ke belakang yang menjadi motor pengusul di DPR merupakan anggota DPR lintas fraksi pendukung Joko widodo pada pemilihan presiden 2019 silam yaitu PDIP, Partai Golkar, PPP, PKB, dan Partai NasDem.

Ujian tidak berhenti bagi Jokowi dalam upaya pemberantasan korupsi. Wacana publik yang menginginkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) KPK pun tidak sepenuhnya diindahkan. Peraturan yang diharapkan mampu menjaga martabat KPK dengan tetap menguatkan tugas dan kewenangan KPK. 

Cukup menarik ketika adanya sebuah pertemuan dengan sejumlah tokoh yang dimintai pendapatnya tentang penerbitan Perpu KPK. Hal ini seolah memberikan angin segar kepada publik. Namun, tak lama setelah itu pertemuan bersama partai politik seakan mengendurkan niatan Jokowi dan dipastikan oleh Juru Bicara Istana Kepresidenan bahwa Presiden Joko Widodo tidak akan mengeluarkan Perpu KPK. Meski gelombang unjuk rasa di berbagai kota pada 24 September 2019 tak membuat Jokowi ayal dengan keputusannya. Dengan alasan ingin menghormati prosesi gugatan UU KPK yang baru di Mahkamah Konstitusi yang masih berjalan kala itu.

Sekali lagi, gaya kepemimpinan Jokowi ditonjolkan dengan tidak mengeluarkan Perpu KPK membuat sejumlah kalangan meragukan upaya Jokowi dalam basis penguatan upaya pemberantasan korupsi.

Abuse of Power KPK

Dalam sejarahnya, pembentukan lembaga lembaga independen negara ditujukan karena ketiadaan lembaga negara lain yang mampu memberikan jalan keluar atas persoalan yang ada. Padahal, dalam era demokrasi ini seringkali tuntutan perubahan dan perbaikan yang muncul di permukaan masyarakat seiring dengan kebebasan berpendapat yang dimiliki oleh masing masing individu. Belum lagi ketidakpercayaan publik terhadap lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalaan ketatanegaraan yang dihadapinya masing masing.

Efek samping yang seringkali dihadapi oleh negara dalam membentuk lembaga ekstra (diluar pemerintahan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) yang bersifat mandiri itu tidak lain adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukan dalam struktur ketatanegaraan, serta pola komunikasi dan hubungan kerja dengan kekuasaan pemerintah. Ini juga tidak terlepas dari perebutan pengaruh rakyat dalam pengelolaan negara yang diakomodir oleh pemerintah dan parlemen.

KPK menjadi salah satu dari sekian lembaga independen negara yang terbentuk kala itu. Oleh Presiden Megawati, yang melihat bahwa institusi kejaksaan maupun kepolisian dinilai tidak cukup mampu untuk menangkap para koruptor. Sebetulnya, ide tentang pembentukan sebuah komisi khusus untuk menangani duduk perkara kasus korupsi sudah muncul jauh hari pada masa Presiden BJ Habibie yang menginginkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN dengan mengeluarkan UU Nomor 28 tahun 1999.

Persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini, KPK seakan menjadi superbody yang tidak bersedia dikritik dan diawasi oleh pihak luar, sekalipun oleh DPR yang seharusnya menjadi lembaga pengawas bersamaan dengan BPK hingga MA maupun elemen sipil lainnya. Jarang sekali kita melihat evaluasi publik yang diwakili oleh media secara terus terang meng-kritik lembaga ini. 

Alhasil, dominansi keberpihakan masyarakat terhadap KPK lebih tinggi ketimbang lembaga lain. Tak mengherankan jika Lembaga Survey Indonesia (LSI) Denny JA mengemukakan bahwa tingkat kepercayaan KPK sebesar 85%. Masih lebih tinggi dibanding lembaga lain seperti lembaga Presiden, DPR, Polri, maupun KPU.

Tentunya sebagai lembaga negara, tugas dan kewenangan yang selama  ini sudah diberikan meskipun terdapat ketetapan dan batasanya. Pembatasan yang dilakukan oleh publik memperlihatkan seolah publik memihak dan memercayai tindak laku KPK. 

Memang benar, upaya pemberantasan korupsi perlu didukung oleh semua pihak. Namun cukup membahayakan kiranya ketika publik tidak menaruh pengawasan terhadap suatu institusi sehingga pembelaan atas tiap persoalan yang dilakukan institusi tersebut menjadi pembenaran. Ini terlihat ketika muncul gerakan oleh elemen sipil yang mendukung KPK baik secara institusi maupun ketika menjalankan tugasnya. 

KPK dalam mejalankan tugasnya tidak selalu bertindak benar dalam mengungkap kasus perkara korupsi. Bebasnya beberapa pihak yang sebelumnya didakwakan oleh KPK, tidak terlepas dari lemahnya penyidikan. Itu membuat KPK secara institusi dituntut untuk terus menerus melakukan pembenahan internal. Sebagai basis kerja, KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang tentunya memiliki tingkat kerumitan yang berbeda beda. 

Menurut Prof. Romli Artasasmita seorang Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran pembenahan pada KPK diperlukan sebab banyak kejanggalan dalam tata kelola profesionalitas KPK dalam menjalankan tugas tugasnya. Hal ini cenderung mengacu kepada out of power dan rawan akan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power).

Penilaian Indonesian Corruption Watch misal, yang menemukan sekitar 19 dugaan kode etik yang dilakukan oleh internal KPK. Pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan atau pegawai KPK tentu akan berpengaruh langsung terhadap kerja utama lembaga antirasuah ini yaitu memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi. Baik pengerusakan barang bukti, membocorkan dokumen, penggelapan uang, hingga dugaan pertemuan dengan terdakwa menjadi hal yang seharusnya tak lazim dan melanggar kode etik pegawai KPK.

Begitu juga dengan Pansus Angket KPK yang menemukan 11 dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pansus yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan perundang-undangan dalam hal ini pengawasan terhadap institusi KPK, lembaga yang terbentuk melalui perundang-undangan. Hasil yang ditemukan diantaranya tata kelola kelembagaan, sumber daya manusia, proses peradilan pidana, dan pengelolaan anggaran.

Elemen Sipil Merespons

Andai saja Presiden Joko Widodo bersama Dewan Perwakilan Rakyat tidak sedang dalam upaya pelemahan KPK, mungkin masyarakat tidak perlu diperlihatkan drama memalukan diantara berbagai pihak yang berkepentingan. Meskipun tidak ada tanda tanda yang mencuat sebagai penanda awal kemunculan revisi ini, kesan yang ditampilkan dalam proses pengesahan seolah tergesa gesa. Tak ada kejadian khusus yang menyebabkan pembahasan dikejar walau hanya kurang dari 2 pekan. 

Menjadi hal yang lumrah, apabila publik merasa curiga dengan hidden agenda  yang selama ini coba ditutup tutupi. Lebih lebih respon masyarakat yang diwakili oleh gerakan elemen sipil pelajar mahasiswa membuat mereka mau turun ke jalan. Bersamaan dengan tuntutan yang lain : seperti penundaan pengesahan RUU PKS dan RKUHP serta tragedi konflik di Wamena.

Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil, dalam konteks khusus pelajar mahasiswa dan jurnalis tak lain mendesak pemerintah membatalkan Revisi Undang-Undang KPK, menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dan menyegerakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, beserta tuntutan lainnya. 

Keadaan politik inilah yang membuat beberapa elemen sipil dan lapisan masyarakat lain turun lagi ke jalan pasca 21 tahun Orde Baru berakhir. Kota kota seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, Semarang, Balikpapan diikuti dengan kota lain seperti Makassar, Riau, Kendari, Surabaya, Surakarta, Banjarmasin. Ibukota tidak ketinggalan menjadi target tuntutan dari metode gerakan sosial kali ini.

Menyikapi krisis politik seperti ini, media pers sebagai salah satu harapan (re : jembatan) masyarakat juga ikut serta menampilkan keberpihakannya. Memang begitu seharusnya, saat ini media pers yang berimbang tidak lagi menjadi acuan semata ketika di satu sisi mereka perlu menjadi salah satu garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi masyarakat. Majalah Tempo edisi 16 September 2019 misal, meski sempat memicu kontroversi akibat cover depan menampilkan karikatur Presiden Joko Widodo bersamaan dengan bayangan pinokio (tokoh kartun) dibelakangnya. 

Dalam editorialnya yang berjudul "Saatnya Sama Sama Melawan" disebutkan bahwa "Tanpa perlawanan masif dari publik, rencana presiden Joko Widodo dan sebagian anggota DPR untuk mengibiri kemandirian dan kewenangan KPK akan berjalan tanpa hambatan ...... Puluhan juta penduduk yang mencoblos Jokowi dalam pemilihan presiden lalu harus ikut bersuara. Mereka punya andil dalam kemenangan Jokowi dan harus di dengar masukannya". 

Sebuah pernyataan yang cukup keras disertai dengan ajakan terhadap masyarakat menandakan bahwa media bekerja dalam menjalankan fungsinya sebagai salah satu instrumen pengontrol penguasa. 

Masih dengan media yang sama, editorial koran Tempo yang berjudul "Panjang Umur Gerakan Mahasiswa" menyebutkan bahwa "..... segala kekacauan ini semestinya menjadi pelajaran bagi pemerintah dan DPR. Jika sejak awal  pembuatan peraturan perundangan yang penting bagi hajat hidup orang banyak yang dibahas terlebih dahulu bersama publik secara memadai, kegaduhan tak akan terjadi. Mereka pun tak perlu menunggu mahasiswa turun ke jalan untuk mengoreksi kengawuran. Untunglah mahasiswa di berbagai kota dari beragam kampus terpanggil untuk meluruskan kebatilan. Angkat topi untuk mahasiswa. Kami bersama mereka"

Perpanjangan tangan yang dilakukan oleh media tersebut seakan tak lepas dari keberpihakan terhadap publik atas perlawanannya menghadapi Pemerintah dan DPR atau orang orang dibalik kekuasaannya. Cukup jelas ketika kamu oligark tidak akan pernah angkat kaki dari kondisi politik Indonesia saat ini.. Justru berkat celah celah sistem yang ada memungkinkan mereka memperoleh akes dan koneksi. Mereka ada dan bahkan "beranak-pinak" atas kekuasaannya meski tanpa tokoh Orba di masa lampau. Pastinya, disadari atau tidak mereka ada di sekitar kita.

Termasuk juga editorial Tirto.id pada 24 September 2019 yang berjudul "Kami Bersama #GejayanMemanggil" yang menekakan "Kami bersama mereka" kepada gerakan elemen sipil mahasiswa baik #GejayanMemanggil, #Bengawan Melawan, #SurabayaMenggugat, #SemarangBergerak dan masih banyak lagi. Ini menunjukkan perlawanan sebagai bentuk sikap solidaritas media yang ikut serta dalam gerakan sipil terwujud secara signifikan.

Tirto.id bahkan mengutip sebuah percakapan menarik dari novel Bumi Manusia,

"Nyo" begitu kata Nyai Ontosoroh pada Minke, "Aku tak punya sesuatu pengertian bagaimana harus melawan, apa yang dilawan, siapa, dan bagaimana. Aku tak tahu alat-alat apa sarananya. Biar begitu : melawan!" . Minke menjawab singkat "Berlawan, Mama, berlawan. Kita melawan!"

Dari 2 media tersebut, kita melihat ada frasa yang digunakan itu sama "Kami Bersama Mereka". Menunjukkan dukungan moril yang kuat, menandakan keterlibatan media dalam menjaring aspirasi masyarakat hingga mampu disebarkan maupun disampaikan kepada penguasa. Media menjadi sepakat dan setuju atas apa yang dilakukan oleh masyarakat sipil pelajar mahasiswa yang tak lain adanya problema dari beragam kebijakan yang dikeluarkan oleh negara sehingga memicu kegaduhan kehidupan politik Indonesia.

Fenomena solidaritas ini tidak menjadi dominansi media yang hanya dilakukan oleh satu dua media saja melainkan solidaritas juga muncul dalam bentuk lain seperti yang keluarkan oleh Vice Indonesia yang berjudul "Mengecam Serangan Aparat pada Solidaritas Sosial dan Agenda Mahasiswa" dengan tegas menyebutkan bahwa Indonesia sedang dalam keadaan tidak baik baik saja bagi banyak pihak dimana muncul gerakan sosial yang diinisiasi oleh anak muda, mahasiswa pelajar yang di dukung elemen sipil yang mayoritas tidak secara langsung mengalami penindasan Orde Baru. 

Belakangan diketahui Vice Indonesia menampilkan sikapnya atas kejadian penjemputan oleh kepolisian yang menimpa aktivis sekaligus jurnalis Dandhy Dwi Laksono berkat cuitannya soal Papua di salah satu media sosial dan juga Ananda Badudu yang sempat menggalang dana untuk mendukung kegiatan aksi mahasiswa. Menyusul kabar buruk pada aksi demontrasi yang menggugurkan 2 mahasiswa di Kendari.

Hal yang serupa juga muncul di media koran Republika di tanggal 25 September 2019, atau sehari setelah aksi demontrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa yang berjudul "Menanti Ketegasan dan Keberpihakan". 

Dalam editorialnya, Republika menyimpulkan bahwa  harus ada ketegasan terhadap yang salah dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Koran Republika mencontohkan soal isu Papua dan KPK adalah soal keberpihakan pada rakyat dan ketegasan hukum yang dibutuhkan untuk kasus kebakaran lahan dan hutan "...... kita akan melihat bagaimana pemerintahan ini memulai periode kedua-nya dengan start yang mengecewakan. Ini jelas bukan yang diinginkan oleh seluruh elemen bangsa"

2 OTT hasil revisi

Awal Tahun 2020 menjadi hal yang cukup rumit bagi bangsa Indonesia. Selain kejadian bencana yang melanda di sejumlah daerah, Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK juga terjadi untuk 2 kasus. Ini menjadi kabar yang mengejutkan bagi sebagian pihak. Sebab diluar dari kepiawaian pegawai KPK dalam menangani kasus perkara korupsi, masa transisi dalam peralihan UU tak membuat Pimpinan KPK berfikir panjang untuk melaksanakan OTT. 

Belum lagi "tupoksi" KPK setelah revisi undang undang yang harapannya berfokus terhadap pencegahan bukan penindakan. Meskipun, sempat ada rasa gundah bagi sejumlah pihak, terkhusus pegawai maupun pimpinan lama KPK terhadap pimpinan baru yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemilihan Pimpinan KPK yang dilakukan oleh DPR. Dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan baru KPK seolah membuat profil yang cukup buruk bagi institusi KPK.

Pertama soal dugaan korupsi yang menyeret Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, dan kedua dugaan suap yang menjerat salah seorang komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Tentu akan menjadi persoalan tersendiri bagi publik mempertanyakan kredibilitas dan integritas lembaga penyelenggara pemilihan umum. Justru, di tahun 2020 ini lah pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan umum di berbagai daerah. Suatu saat nanti akan menjadi boomerang tersendiri bagi KPU dalam menjalankan tugasnya.

Namun, OTT yang berhasil dilakukan tak meninggalkan jejak yang baik dalam prosesnya. Rentetan prosesinya dianggap masih menyisakan celah hukum. Terlebih ketika menyesuaikan dengan UU baru yang menyebutkan perlu adanya izin dari Dewan Pengawas. Wajar apabila sampai saat ini belum ada regulasi yang jelas tentang mekanisme kerja KPK untuk menyesuaikan RUU KPK 19/19. Lemahnya koridor hukum seperti ini berpotensi adanya gugatan terhadap KPK melalui jalur praperadilan.

Lemahnya RUU KPK saat ini bahkan bisa terlihat dengan ketidakmampuan KPK dalam prosesi penggeledahan di salah satu gedung partai yang tidak lain merupakan partai penguasa rezim saat ini. Terseretnya salah satu partai penguasa juga imbas dari kepiawaian kadernya yang merasa aman dalam mengulik tata kelola negara. Belum lagi drama yang diperlihatkan ketika beberapa penyidik KPK yang dikabarkan sempat "ditahan" oleh oknum kepolisian di perguruan tinggi. 

Permainan demi permaian terus digulirkan untuk menyampaikan kepada publik, seolah KPK sedang dalam masa masa bahaya. Apalagi ketika publik mengetahui seolah ada yang sedang ditutupi oleh sebagian pihak, buntut dari bebasnya salah satu tersangka dalam OTT KPK kali ini. Lagi lagi ini memperlihatkan digdaya KPK yang selama ini dibesarkan menjadi ciut ketika berhadapan dengan penguasa. Kejadian seperti ini tentunya menjadi konsekuensi tersendiri ketika RUU KPK 19/19 disahkan dan berlaku saat ini.

Semoga saja, kejadian demi kejadian tidak menyurut niat baik lembaga antirasuah ini dalam menjalankan tugasnya. Pemberantasan korupsi bisa dilihat dari komitmen pemerintah dalam mengupayakan jalan jalan terbaiknya untuk melanggengkan pihak pihak yang bermaksud untuk meringkus para koruptor.

Boleh saja pemerintahan dan parlemen dikuasai oleh sebagian orang, sebut saja penguasa dan kaum Oligark. Bermaksud mempermainkan oposisi dari sifat kritis, melenyapkan publik dari sifat skeptis, bahkan tega memaksakan dukungan dari umat beragama dan mantan aktivis. Menyuntikkan bius terhadap akademisi maupun elemen sipil dengan beragam proyek dan fasilitas, atau menjanjikan kemudahan regulasi bagi media. Kontrol sana, kontrol sini. Tapi mengapa mereka terus kewalahan menghadapi rakyat yang doyan skeptis, atau sekadar masih waras dan kritis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun