Menurut Prof. Romli Artasasmita seorang Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran pembenahan pada KPK diperlukan sebab banyak kejanggalan dalam tata kelola profesionalitas KPK dalam menjalankan tugas tugasnya. Hal ini cenderung mengacu kepada out of power dan rawan akan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power).
Penilaian Indonesian Corruption Watch misal, yang menemukan sekitar 19 dugaan kode etik yang dilakukan oleh internal KPK. Pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan atau pegawai KPK tentu akan berpengaruh langsung terhadap kerja utama lembaga antirasuah ini yaitu memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi. Baik pengerusakan barang bukti, membocorkan dokumen, penggelapan uang, hingga dugaan pertemuan dengan terdakwa menjadi hal yang seharusnya tak lazim dan melanggar kode etik pegawai KPK.
Begitu juga dengan Pansus Angket KPK yang menemukan 11 dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pansus yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan perundang-undangan dalam hal ini pengawasan terhadap institusi KPK, lembaga yang terbentuk melalui perundang-undangan. Hasil yang ditemukan diantaranya tata kelola kelembagaan, sumber daya manusia, proses peradilan pidana, dan pengelolaan anggaran.
Elemen Sipil Merespons
Andai saja Presiden Joko Widodo bersama Dewan Perwakilan Rakyat tidak sedang dalam upaya pelemahan KPK, mungkin masyarakat tidak perlu diperlihatkan drama memalukan diantara berbagai pihak yang berkepentingan. Meskipun tidak ada tanda tanda yang mencuat sebagai penanda awal kemunculan revisi ini, kesan yang ditampilkan dalam proses pengesahan seolah tergesa gesa. Tak ada kejadian khusus yang menyebabkan pembahasan dikejar walau hanya kurang dari 2 pekan.Â
Menjadi hal yang lumrah, apabila publik merasa curiga dengan hidden agenda  yang selama ini coba ditutup tutupi. Lebih lebih respon masyarakat yang diwakili oleh gerakan elemen sipil pelajar mahasiswa membuat mereka mau turun ke jalan. Bersamaan dengan tuntutan yang lain : seperti penundaan pengesahan RUU PKS dan RKUHP serta tragedi konflik di Wamena.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil, dalam konteks khusus pelajar mahasiswa dan jurnalis tak lain mendesak pemerintah membatalkan Revisi Undang-Undang KPK, menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dan menyegerakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, beserta tuntutan lainnya.Â
Keadaan politik inilah yang membuat beberapa elemen sipil dan lapisan masyarakat lain turun lagi ke jalan pasca 21 tahun Orde Baru berakhir. Kota kota seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, Semarang, Balikpapan diikuti dengan kota lain seperti Makassar, Riau, Kendari, Surabaya, Surakarta, Banjarmasin. Ibukota tidak ketinggalan menjadi target tuntutan dari metode gerakan sosial kali ini.
Menyikapi krisis politik seperti ini, media pers sebagai salah satu harapan (re : jembatan) masyarakat juga ikut serta menampilkan keberpihakannya. Memang begitu seharusnya, saat ini media pers yang berimbang tidak lagi menjadi acuan semata ketika di satu sisi mereka perlu menjadi salah satu garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi masyarakat. Majalah Tempo edisi 16 September 2019 misal, meski sempat memicu kontroversi akibat cover depan menampilkan karikatur Presiden Joko Widodo bersamaan dengan bayangan pinokio (tokoh kartun) dibelakangnya.Â
Dalam editorialnya yang berjudul "Saatnya Sama Sama Melawan" disebutkan bahwa "Tanpa perlawanan masif dari publik, rencana presiden Joko Widodo dan sebagian anggota DPR untuk mengibiri kemandirian dan kewenangan KPK akan berjalan tanpa hambatan ...... Puluhan juta penduduk yang mencoblos Jokowi dalam pemilihan presiden lalu harus ikut bersuara. Mereka punya andil dalam kemenangan Jokowi dan harus di dengar masukannya".Â
Sebuah pernyataan yang cukup keras disertai dengan ajakan terhadap masyarakat menandakan bahwa media bekerja dalam menjalankan fungsinya sebagai salah satu instrumen pengontrol penguasa.Â