Mohon tunggu...
Firdaus Ferdiansyah
Firdaus Ferdiansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Lagi asyik ngampus di universitas nomor satu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pendidikan Tinggi atau Perusahaan Tinggi?

3 Juli 2019   23:58 Diperbarui: 4 Juli 2019   00:03 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pendidikan tak lagi menjadi hak bagi warga negara, melainkan sudah menjadi "barang dagangan". Barang siapa ingin mendapatkannya, maka bayarlah

Pendidikan menjadi faktor penting dalam mewujudkan bangsa yang kuat. Oleh karenanya, pendidikan menjadi tolak ukur generasi penerus bangsa agar tetap terus melanjutkan kehidupan bangsa ini. Pendidikan tidak hanya membuat kita menjadi cerdas. Ketika kita bisa mengamalkan kecerdasan sesuai dengan norma-norma yang berlaku maka tentu kehidupan menjadi lebih baik, teratur, dan rapi. 

Keinginan para pendahulu kita untuk mencerdaskan bangsa diwujudkan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Maka dengan jelas setiap warga negara baik laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya berhak mendapatkan pendidikan. Jutaaan manfaat dan kebaikan sejatinya akan terus membersamai orang orang yang berpendidikan. Apalagi pendidikan selama ini tidak hanya sebatas menuntut atas ilmu pengetahuan saja.

Tidak. Tidak hanya sebatas itu.

Melainkan di dalamnya juga membahas bagaimana cara membentuk karakter atau watak manusia menjadi lebih baik dan berkeadaban. Melalui pendidikan pula, kita sebagai manusia diarahkan, dibimbing, dicetak untuk menjadi pribadi yang luhur  Amat beruntung, seseorang mampu melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Orang tua mana yang tidak ingin anaknya bisa melanjutkan studinya hingga bangku perkuliahan. 

Tentu hal ini menjadi dambaan bagi siapapun yang ingin merasakan menjadi entitas masyarakat yang mengedepankan intelektual dan pengetahuan. Namun, ketika pendidikan dikenakan biaya yang memberatkan tentu masyarakat harus berputar otak, mencari cara guna mendapatkan pendidikan sesuai dengan keinginannya.

Tak tanggung tanggung, pemerintah menggelontorkan 20% APBN-nya hanya untuk dipergunakan pada sektor pendidikan. Kurang lebih sekitar 400 Triliyun di tiap tahunnya, pundi pundi uang itu dimanfaatkan untuk perbaikan perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan di tahun 2018 ini, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2017 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2018 pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp444,131 triliun untuk pendidikan. Lebih besar daripada tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp. Rp 416,09 triliun  Maka tak heran, berbagai program, berbagai kegiatan, berbagai gerakan, semata mata diperuntukkan untuk pendidikan yang merata, berkeadilan, dan berkualitas.

20% APBN? Lalu?

Tak bisa dipungkiri lagi masalah pendidikan seakan akan menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Banyak yang secara nyata merasakan manfaat dari pembelanjaan uang negara yang mencapai presentase 20%. Tak sedikit pula yang justru masih merasakan susahnya mendapatkan pendidikan di negeri yang "katanya" kaya raya. 

Pencapaian nilai Programme for Internasional Student Assessment (PISA) pada 2015 berada pada posisi 64 dari 72 negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).  Fasilitas belum merata, korupsi dana alokasi, kualitas guru masih rendah, suasana kelas yang kurang kondusif, dan berbagai macam masalah lainnya yang sampai saat ini belum terselesaikan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan adanya 425 kasus korupsi pada rentang waktu 2005 -2016. Dimana negara memiliki kerugian mencapai Rp 1,3 Triliun. Pelakunya pun tak tanggung tanggung, baik dari  kepala dinas, guru, kepala sekolah, anggota DPR/DPRD, pejabat kementerian, dosen, bahkan rector sekalipun. Tentu hal ini amat mencederai pendidikan, apalagi pelakunya merupakan sosok yang seharusnya menjadi suri tauladan untuk para generasi penerus bangsa.

Pemerataan Pendidikan atau Pengualitasan Pendidikan?

Guna mewujudkan bangsa yang cerdas, bangsa yang kuat, bangsa yang mandiri tentu berbagai macam cara melalui program program strategis demi mewujudkan keinginan pendahulu bangsa. Semua itu dilakukan agar anak-anak sebagai penerus bangsa sepatutnya mendapatkan pendidikan. Di tingkat SD, SMP, dan SMA sederajat saat ini sudah mulai diberlakukan sistem zonasi yang mana anak didik tak melulu melanjutkan studinya ke sekolah favorit melainkan disekolahkan sesuai dengan area/zona tempat tinggalnya. 

Program ini diberlakukan sejak PPDB 2017 lalu, dan akan diberlakukaan pada tahun 2018 ini. Tentu menimbulkan banyak pro-kontra baik di kalangan masyarakat, maupun di kalangan pendidik. Pasalnya tidak akan ada lagi yang namanya sekolah favorit, yang ada semua sekolah sama. Penyamarataan kualitas pendidikan sebutannya di kala itu.

Biaya pendidikan selalu saja dijadikan alasan yang berat bagi masyarakat untuk tidak melanjutkan studinya hingga ke perguruan tinggi. Biaya pendidikan di kuliah semakin menjadi jadi. Kenaikan biaya UKT, pemberlakuan uang pangkal, hingga isu yang sedang terhangat ialah Student Loan. Tentu jika kita telisik lebih jauh, cukup membuat kita mengelus dada. Seakan akan pihak kampus terus menerus menggerus pundi pundi uang mahasiswanya. Memberatkan tentunya, apalagi ketika biaya pendidikan kita pasrahkan kepada masyarakat yang kurang mampu. Aih. Terlalu berangan-angan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun