Para pakar sosiologi telah banyak merumuskan macam-macam teori terkait mobilitas sosial. Diantaranya yaitu, pemikiran Ralph Turner, Martin Lipset dan Hans Zetterberg, dan Pitirim Sorikin.
Teori Ralph Turner: Teori mobilitas sosial Turner mengaitkan sistem pendidikan di Amerika Serikat dan Inggris dengan mobilitas vertikal. Asumsi yang mendasari teorinya adalah bahwa sistem kelas yang terbuka, yang ditandai dengan pembukaan sekolah umum, memberikan kesempatan terhadap mobilitas sosial vertikal untuk muncul. Turner menemukan bahwa terdapat dua bentuk mobilitas yang tergantung pada aturan sosial masyarakat yang terstruktur, yaitu mobilitas yang disponsori (sponsored mobility) dan mobilitas yang dikompetisikan (contest mobility). Menurut Turner, mobilitas kontes adalah "a system in which elite status is the prize in an open contest and is taken by the aspirants own efforts". Dengan kata lain, ia adalah sebuah sistem di mana posisi tertinggi dicapai melalui hadiah atau imbalan yang diterima seseorang atas upayanya dalam kompetisi terbuka.
Peserta dalam kontes atau persaingan menunjukkan kemampuan, strategi, dan determinasi mereka melalui pertandingan. Mereka berkompetisi dalam lingkungan yang adil. Dalam hal sponsor, kelompok elit dipilih dan status mereka ditentukan berdasarkan standar yang jelas berdasarkan kualifikasi; pilihan ini tidak dapat diubah oleh upaya atau pendekatan apapun. Turner juga mengungkapkan bahwa kedua bentuk mobilitas sosial ini adalah bentuk yang ideal, yang ia gunakan untuk menjelaskan dengan lebih jelas analisis penelitiannya tentang sistem stratifikasi dan pendidikan. Pada kenyataannya, mobilitas sosial vertikal yang terjadi di masyarakat mencakup kedua bentuk mobilitas ini, tetapi dengan tingkat variasi yang berbeda.
Teori Martin Lipset dan Hans Zetterberg: Fokus teori Lipset dan Zetterberg tentang mobilitas sosial adalah meneliti faktor-faktor yang mendorong mobilitas sosial dan bagaimana mereka terjadi. Mereka berpendapat bahwa penyebab utama mobilitas sosial adalah ketersediaan posisi status yang tidak terisi. Perubahan peringkat adalah penyebab kedua. Kita dapat membayangkan dengan pemikiran yang sederhana bahwa setiap pergerakan ke atas dalam suatu masyarakat, pergerakan ke bawah pasti akan terjadi. Jika orang-orang dari posisi sosial bawah diberi cara atau saluran untuk bersaing untuk menaikkan posisi mereka, maka Interchange mobility dapat terjadi secara luas. Menurut Lipset dan Zetterberg, mobilitas sosial terdiri dari empat dimensi, peringkat okupasi adalah dimensi pertama.
Dalam studi stratifikasi sosial, okupasi adalah indikator yang umum. Menurut para peneliti, pekerjaan adalah salah satu faktor krusial yang memisahkan keyakinan, nilai, norma, kebiasaan, dan bahkan ekspresi emosional individu. Peringkat konsumsi, yang mencakup aspek gaya hidup, merupakan dimensi kedua. Orang-orang yang memiliki gaya hidup dan prestise yang setara dapat dianggap berada dalam kelas konsumsi yang serupa. Untuk menghitung indeks konsumsi kelas, lebih baik menggunakan uang yang dihabiskan untuk hal-hal yang prestisius dan kultural daripada total penghasilan. Kelas sosial merupakan dimensi ketiga yang melibatkan kesetaraan individu dalam menerima individu lain yang termasuk dalam kelas yang sama dan memelihara hubungan yang erat. Aspek terakhir adalah peringkat kekuasaan. Dimensi ini mengacu pada hubungan peran yang berupa hubungan kekuasaan atau wewenang, yang di satu sisi mencakup jabatan bawahan dan di sisi lain mencakup jabatan atasan. Mereka percaya bahwa kekuasaan adalah kendaraan mobilitas sosial
Teori Pitirim Sorikin: Sorokin mengartikan mobilitas sosial dalam arti luas sebagai pergerakan orang dalam ruang sosial (social space). Saat belajar mobilitas sosial, kita tidak hanya memusatkan perhatian pada perubahan posisi sosial individu, tetapi juga pada dampak-dampak mobilitas ini terhadap kelompok sosial dan struktur sosial keseluruhan di tempat individu tersebut berpindah. Sorokin membedakan mobilitas sosial menjadi dua kategori: mobilitas horizontal (horizontal mobility) dan mobilitas vertikal (vertical mobility). Mobilitas vertikal adalah ketika seseorang pindah dari satu tingkatan sosial ke tingkatan sosial lainnya, sementara mobilitas horizontal adalah ketika seseorang berpindah dari satu posisi sosial ke posisi sosial lain yang sejajar. Seseorang mengalami mobilitas naik atau upward mobility, jika mereka berpindah dari strata sosial yang lebih rendah ke strata sosial yang lebih tinggi. Begitu juga sebaliknya, mobilitas turun (downward mobility) jika mereka berpindah dari strata sosial yang lebih tinggi ke strata sosial yang lebih rendah.
C. Konsekuensi dan Dampak Mobilitas Sosial Pendidikan Islam
Mobilitas memiliki efek positif maupun negatif. Mobilitas sosial juga memungkinkan seseorang menempati posisi yang sesuai dengan keinginan mereka. Karena impian tidak selalu tercapai dengan mudah, seseorang kadang-kadang merasa tidak puas dan tidak bahagia. Horton dan Hunt menyatakan bahwa konsekuensi negatif dari mobilitas termasuk peningkatan kecemasan tentang jabatan dan keretakan antara anggota kelompok.
Dampak Positif: Mobilitas sosial memiliki keuntungan dalam mengembangkan seseorang secara pribadi. Peluang untuk bergerak dari strata sosial yang rendah ke yang lebih tinggi mendorong seseorang untuk bertumbuh dan berprestasi agar dapat mencapai status sosial yang lebih tinggi. Mobilitas sosial juga dapat mempercepat perubahan sosial dalam masyarakat. Di dalam suatu komunitas, mobilitas sosial dapat meningkatkan integrasi sosial. Misalnya, individu akan menyesuaikan diri dengan kebiasaan, prinsip, dan norma yang berlaku di dalam komunitas, sehingga tercipta integrasi sosial di antara anggota baru yang bergabung dengan komunitas tersebut.
Dampak negatife: Mobilitas sosial menimbulkan dampak negatif yaitu konflik, konflik dibedakan menjadi 3 bagian antara lain: 1) Konflik antarkelas, Apabila seseorang masuk ke dalam kelas sosial tertentu, tetapi ditolak oleh masyarakat sekitarnya, itu menunjukkan konflik antarkelas sosial dalam mobilitas sosial.Ada tiga jenis konflik yang dapat muncul. Pertama, penduduk lama memiliki tanggapan negatif terhadap penduduk baru yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah. Seorang karyawan perusahaan dapat diangkat menjadi kepala bagian, misalnya. Para kepala bagian yang lebih tua akan sulit menerima kehadiran seorang kepala bagian baru karena mereka terbiasa memperlakukannya sebagai staf. Sebaliknya, seorang kepala bagian yang diturunkan jabatannya menjadi karyawan biasa adalah hal yang sama.
Dia akan sulit untuk menerima kenyataan tersebut, terutama bagi sesama karyawan yang selama ini menghormatinya dengan baik. Individu menunjukkan reaksi negatif terhadap perlakuan masyarakat terkait kelas sosialnya baru, hal ini merupakan bentuk konflik kedua. Ketiga, reaksi negatif masyarakat terhadap kelas sosial baru. Salah satu contohnya adalah pembangunan kompleks apartemen mewah di perkampungan kumuh, yang menyebabkan kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial di kalangan penduduk perkampungan kumuh. 2) Konflik antar kelompok sosial, Setiap kelompok sosial dalam masyarakat mengalami perpindahan status atau kedudukan. Dalam persaingan untuk kekuasaan, seperti dalam kemenangan dalam pemilihan umum, partai politik tertentu tidak segan-segan menekan, menyingkirkan, dan menghantam partai politik lain, yang menunjukkan mobilitas sosial yang terjadi dalam kelompok sosial tertentu. Bagaimana seorang penguasa memperlakukan rakyatnya juga dapat menyebabkan konflik antarkelompok. Contohnya adalah politik apartheid Afrika Selatan.