Mohon tunggu...
Firda Putri Astuti
Firda Putri Astuti Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Life-long learner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelangi Sehabis Hujan

20 Mei 2024   12:06 Diperbarui: 20 Mei 2024   12:17 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terbangun oleh suara gemericik air kamar mandi. Seperti biasa, suamiku pergi membasuh muka setelah beranjak dari ranjang. Sesaat pandanganku beralih kepada Naning, putri kecil kami yang berusia genap 12 bulan. Kulihat mata itu masih terpejam, namun saat meraba kulit wajahnya, kurasakan dingin menjalari ujung jari. Dengan gerakan hati-hati, aku mengangkat dan menimang-nimang Naning sambil kulantunkan tembang jawa  kesukaannya. Bola mata itu mengintip dan melebar perlahan, tetapi aku merasa tatapannya kali ini berbeda.

Aku duduk di tepi ranjang, membuka kancing daster dan menonjollah buah dada yang disambut isapan- isapan. Bibir kecil Naning merangkum semua nutrisi yang kucurahkan hanya demi kesehatannya. Air susu merambat memenuhi rongga mulut, tapi setelah itu matanya berpaling ke arah lain, kemudian ia melepaskan kulumannya dari putingku. Naning tidak berminat lagi kepada tembang yang kulantunkan atau kepada air susu yang kuhasilkan. Aku mengancingkan kembali daster dan menimang ia lebih rapat ke tempat irama jantung berdetak. Apa yang terjadi putri kecilku?

Suamiku kebetulan masuk kamar. Raut mukanya datar saja dan hanya bertanya kenapa. Kuceritakan keadaan Naning yang tak biasa. Kemudian, jemari Mas Eko menyingkap kain jarik kumal yang menutupi tubuh putri kecilnya dan mengusap sebentar kulit dingin itu.  Ia menggigit bibir lantas pergi ke belakang sambil lalu. Dia melengang pergi sembari memanggul cangkul dan membawa sebilah sabit hendak memanen padi hari ini. Mas Eko berjanji akan mengantar aku dan Naning ke rumah Mbok Pur sekembalinya dari sawah. Mbok Pur si tukang pijit bayi langganan, wanita tua itu pasti tahu penyebab kondisi Naning yang tak lazim ini. 

Sekian lama menunggu, akhirnya doa mohon diberi momongan baru terkabul saat menginjak tahun ke 3, tetapi ada setitik kekecewaan di balik sorot mata Mas Eko ketika mengetahui jabang bayi yang kukandung  bukan berjenis kelamin pria. Semenjak kehadiran Naning di minggu pertama, minggu kedua, satu bulan hingga menginjak bulan ke 11, suamiku hanya menyediakan uang untuk memenuhi kebutuhan jasmani bayi itu tapi enggan menyumbangkan kasih sayang untuk kebutuhan batinnya. Persis 12 bulan sudah putri kecil kami menyemarakkan suasana rumah dengan tangis minta asi atau celotehan-celotehan baru, namun sikap Mas Eko tetap begitu-begitu saja.

Dan sekarang Naning mulai meringik. Tembang jawa favoritnya tak lagi mempan mengurangi rasa gelisahnya. Selebihnya ia hanya meringkuk lebih rapat. Wajahnya  memucat seiring awan kelabu melingkupi langit. Aku tidak bisa diam saja di rumah, menunggu sampai Mas Eko pulang. Sambil menggendong Naning, tanganku menyambar tas berisi minyak telon, dompet lalu mengunci pintu rumah lantas pergi kepada Mbok Pur. Kupanggil becak  yang sedang mangkal di depan pos kamling terdekat untuk mengantar kami. Tiga puluh menit kemudian, sampailah aku di depan rumah hijau tua sederhana yang dikelilingi pepohonan randu. Di kediaman Mbok Pur, aku menceritakan keadaan putriku seraya menyerahkan ke pangkuannya. Dilihatnya wajah Naning dengan seksama untuk ditelusuri mengapa ia terus menangis. Mbok Pur mengayunnya beberapa kali tetapi tangisnya malah makin nyaring. 

"Asih, kapan sawah suamimu panen?" tanya Mbok Pur sembari menenangkan Naning.

"Kira-kira hari ini Mbok Pur. Memangnya kenapa?" 

"Kalau bayimu menangis terus, ini bukan pertanda baik bagi hasil panen kalian"

"Apa yang mbok maksud? " aku menjadi panik.

"Eko dan kau, Asih.  Kalian berdua harus memperhatikan anak ini lebih dari biasanya. Terutama suamimu. Aku merasa ikatan keluarga ini mulai kendur. Jika tidak, akan terjadi gagal panen yang berulang." ujar Mbok Pur bersungguh-sungguh menatapku. Aku tercekat. Apakah sejak tadi Naning telah memberi isyarat bahwa ayahnya akan  mengalami gagal panen? 

Pada saat yang sama, muncul cahaya kilat dari luar jendela disertai gemuruh petir saling bersahutan. Angin berhembus kencang menggoyang-goyangkan rimbunan pohon randu. Awan mendung di cakrawala menurunkan tetesan-tetesan air, membasahi kebun dan tanaman-tanaman, dari sana menguar aroma tanah basah yang wangi. Rintik-rintik itu kian lebat. Hujan semakin deras menyiram seluruh wilayah kampung dari hilir sungai hingga ke sawah-sawah. Awan pekat menggelegar memancarkan kilat-kilat putih sekilas. Pintu dan jendela berderit-derit. Gemuruh ini bagai wujud perasaan putriku yang tertahan sekian lama. Apa dirimu begitu kecewa kepada ayah yang jarang memperhatikan kau sehingga terjadilah peristiwa badai seperti ini? Gumamku dalam hati.

Sebelum padi dituai, panen di triwulan kali ini diprediksi gagal total, sebab cuaca menggila begitu dahsyat. Pikiranku langsung tertuju kepada Mas Eko. Mungkin saat ini ia hanya berdiri di pinggir sawah dengan ratapan susah. Panen gagal, tak ada pula pemasukan. 

Mbok Pur memindahkan tubuh Naning kepada gendonganku dan menyelimuti tubuh mungil itu dengan kain jarik kepunyaannya agar tak menggigil diterpa udara dari luar. Meski sudah kujulurkan putingku tetap saja mulut Naning menolak. Air susuku menetes sia-sia. Baiklah. Menangislah, nak. Utarakan segala sedu sedan. Begitu menyakitkan ketika mengetahui kelahiran seorang bayi justru tidak diinginkan oleh asal muasal darah dagingnya sendiri. 

Beberapa menit kemudian, angin yang sejak tadi ribut di halaman rumah Mbok Pur mulai mereda ketika tangis bayiku sampai di ujung. Suara rintik terdengar tidak sederas sebelumnya. Aku dan Mbok Pur masih berjaga hingga Naning tak sanggup menangis lagi, sampai mata yang lelah mulai terpejam. Kuraba lembut area wajahnya, tiada panas atau dingin yang terasa, hanya lendir lengket ingus dan air mata yang mengering. Mbok Pur benar. Bagaimanapun juga wujud batiniah anak akan terus terikat oleh pertalian batin ayah dan ibunya. Semoga Mas Eko mau mengerti kepada apa yang akan kusampaikan saat pulang nanti. 

****

Setelah membayar becak, aku melihat Mas Eko sedang duduk di teras rumah. Kepalanya mendongak seraya menatap kosong ke  langit-langit.  Cangkul dan sabitnya bersandar di pojok pot masih bersih belum berlumur tanah lumpur.  Itu tandanya tidak ada satupun batang padi yang berhasil dipanen. Ia tampak terkejut karena kemunculanku yang tiba-tiba. Aku bilang kepadanya tentang kondisi Naning yang gawat lantas pergi begitu saja ke rumah Mbok Pur. Kini, mata Mas Eko justru memandang Naning lekat-lekat. Ia merentangkan tangannya hendak meraih Naning dari gendonganku. Satu kakiku melangkah mundur dan sikapku berubah menjadi waspada atas perilakunya yang mendadak ini.

Giliranku sekarang yang terkejut saat melihat Mas Eko mulai menangis. Cara menangisnya mirip Naning, air matanya juga, mengalir dari mata kiri kemudian dari mata kanannya, bergantian. Selama hidup berumahtangga, baru kali ini aku melihat suamiku menangis. Bahkan hari ketika Naning keluar dari rahimku ia tidak menangis sama sekali. Sebelum aku sempat bertanya, ia masuk ke rumah lebih dulu, buru-buru menyampir handuk kemudian menghilang dari bilik kamar mandi. 

Usai bersih-bersih dan berganti pakaian Mas Eko ikut bergabung bersama di kamar. Gelagatnya aneh. Ia menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung seakan ingin memberikan sesuatu. Tangan kanannya keluar menyodorkan bungkusan kresek hitam

kepadaku. Ia tidak berkata apa-apa hanya tersenyum saja menunggu aku membuka kresek  itu. Mataku terperanjat melihat daster batik bercorak bunga didominasi warna merah dan sebuah selimut bayi berwarna pink masih terbungkus rapi di dalam plastik.  Aku menatap mata Mas Eko, lalu ke baju daster, kembali menatapnya lagi, terus bergantian seperti orang linglung.

"Tadi waktu berangkat, kebetulan aku lewat toko bajunya Bu Ning, tapi aku lihat awannya mendung lalu hujan turun. Karena makin deras akhirnya numpang  berteduh di sana. Tidak jadi berangkat ke sawah. Sambil nunggu, aku belikan kau daster ini dan juga selimut untuk Naning biar dia tidak kedinginan seperti tadi pagi. Kebetulan juga lagi diskon."

Belum habis kekagetanku, Mas Eko masih melanjutkan.

"Tapi, begitu sampai di rumah, tidak ada siapapun. Aku mencari-cari kalian ke tetangga, mereka bilang tidak tahu. Bagaimana kalau istri dan anakku pergi. Setelah menuai hasil panen selanjutnya, akan kubelikan sesuatu yang lebih elok"

Seketika aku meraih tangannya dan menciumi punggung jemari yang telah bekerja keras itu untuk beberapa detik. Mas Eko menangkup pipiku. Kemudian ia mengambil Naning dari gendonganku. Menimang putri kecilnya penuh kasih. Betapa erat tangan suamiku menggendong Naning seakan tak ingin melepasnya meski sebentar. Dia mulai melantunkan tembang jawa yang biasa kunyanyikan untuk Naning. Wajah bayi perempuanku kian teduh dalam gendongan hangat ayahnya. Kupandang langit dari jendela kamar. Langit yang semula kelabu berubah menjadi sebiru laut. Tampak semburat pelangi sedang bersinar. Akhirnya pelangi muncul setelah hujan turun demikian derasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun