Aku terbangun oleh suara gemericik air kamar mandi. Seperti biasa, suamiku pergi membasuh muka setelah beranjak dari ranjang. Sesaat pandanganku beralih kepada Naning, putri kecil kami yang berusia genap 12 bulan. Kulihat mata itu masih terpejam, namun saat meraba kulit wajahnya, kurasakan dingin menjalari ujung jari. Dengan gerakan hati-hati, aku mengangkat dan menimang-nimang Naning sambil kulantunkan tembang jawa  kesukaannya. Bola mata itu mengintip dan melebar perlahan, tetapi aku merasa tatapannya kali ini berbeda.
Aku duduk di tepi ranjang, membuka kancing daster dan menonjollah buah dada yang disambut isapan- isapan. Bibir kecil Naning merangkum semua nutrisi yang kucurahkan hanya demi kesehatannya. Air susu merambat memenuhi rongga mulut, tapi setelah itu matanya berpaling ke arah lain, kemudian ia melepaskan kulumannya dari putingku. Naning tidak berminat lagi kepada tembang yang kulantunkan atau kepada air susu yang kuhasilkan. Aku mengancingkan kembali daster dan menimang ia lebih rapat ke tempat irama jantung berdetak. Apa yang terjadi putri kecilku?
Suamiku kebetulan masuk kamar. Raut mukanya datar saja dan hanya bertanya kenapa. Kuceritakan keadaan Naning yang tak biasa. Kemudian, jemari Mas Eko menyingkap kain jarik kumal yang menutupi tubuh putri kecilnya dan mengusap sebentar kulit dingin itu. Â Ia menggigit bibir lantas pergi ke belakang sambil lalu. Dia melengang pergi sembari memanggul cangkul dan membawa sebilah sabit hendak memanen padi hari ini. Mas Eko berjanji akan mengantar aku dan Naning ke rumah Mbok Pur sekembalinya dari sawah. Mbok Pur si tukang pijit bayi langganan, wanita tua itu pasti tahu penyebab kondisi Naning yang tak lazim ini.Â
Sekian lama menunggu, akhirnya doa mohon diberi momongan baru terkabul saat menginjak tahun ke 3, tetapi ada setitik kekecewaan di balik sorot mata Mas Eko ketika mengetahui jabang bayi yang kukandung  bukan berjenis kelamin pria. Semenjak kehadiran Naning di minggu pertama, minggu kedua, satu bulan hingga menginjak bulan ke 11, suamiku hanya menyediakan uang untuk memenuhi kebutuhan jasmani bayi itu tapi enggan menyumbangkan kasih sayang untuk kebutuhan batinnya. Persis 12 bulan sudah putri kecil kami menyemarakkan suasana rumah dengan tangis minta asi atau celotehan-celotehan baru, namun sikap Mas Eko tetap begitu-begitu saja.
Dan sekarang Naning mulai meringik. Tembang jawa favoritnya tak lagi mempan mengurangi rasa gelisahnya. Selebihnya ia hanya meringkuk lebih rapat. Wajahnya  memucat seiring awan kelabu melingkupi langit. Aku tidak bisa diam saja di rumah, menunggu sampai Mas Eko pulang. Sambil menggendong Naning, tanganku menyambar tas berisi minyak telon, dompet lalu mengunci pintu rumah lantas pergi kepada Mbok Pur. Kupanggil becak  yang sedang mangkal di depan pos kamling terdekat untuk mengantar kami. Tiga puluh menit kemudian, sampailah aku di depan rumah hijau tua sederhana yang dikelilingi pepohonan randu. Di kediaman Mbok Pur, aku menceritakan keadaan putriku seraya menyerahkan ke pangkuannya. Dilihatnya wajah Naning dengan seksama untuk ditelusuri mengapa ia terus menangis. Mbok Pur mengayunnya beberapa kali tetapi tangisnya malah makin nyaring.Â
"Asih, kapan sawah suamimu panen?" tanya Mbok Pur sembari menenangkan Naning.
"Kira-kira hari ini Mbok Pur. Memangnya kenapa?"Â
"Kalau bayimu menangis terus, ini bukan pertanda baik bagi hasil panen kalian"
"Apa yang mbok maksud? " aku menjadi panik.
"Eko dan kau, Asih.  Kalian berdua harus memperhatikan anak ini lebih dari biasanya. Terutama suamimu. Aku merasa ikatan keluarga ini mulai kendur. Jika tidak, akan terjadi gagal panen yang berulang." ujar Mbok Pur bersungguh-sungguh menatapku. Aku tercekat. Apakah sejak tadi Naning telah memberi isyarat bahwa ayahnya akan  mengalami gagal panen?Â
Pada saat yang sama, muncul cahaya kilat dari luar jendela disertai gemuruh petir saling bersahutan. Angin berhembus kencang menggoyang-goyangkan rimbunan pohon randu. Awan mendung di cakrawala menurunkan tetesan-tetesan air, membasahi kebun dan tanaman-tanaman, dari sana menguar aroma tanah basah yang wangi. Rintik-rintik itu kian lebat. Hujan semakin deras menyiram seluruh wilayah kampung dari hilir sungai hingga ke sawah-sawah. Awan pekat menggelegar memancarkan kilat-kilat putih sekilas. Pintu dan jendela berderit-derit. Gemuruh ini bagai wujud perasaan putriku yang tertahan sekian lama. Apa dirimu begitu kecewa kepada ayah yang jarang memperhatikan kau sehingga terjadilah peristiwa badai seperti ini? Gumamku dalam hati.