Sebelum padi dituai, panen di triwulan kali ini diprediksi gagal total, sebab cuaca menggila begitu dahsyat. Pikiranku langsung tertuju kepada Mas Eko. Mungkin saat ini ia hanya berdiri di pinggir sawah dengan ratapan susah. Panen gagal, tak ada pula pemasukan.Â
Mbok Pur memindahkan tubuh Naning kepada gendonganku dan menyelimuti tubuh mungil itu dengan kain jarik kepunyaannya agar tak menggigil diterpa udara dari luar. Meski sudah kujulurkan putingku tetap saja mulut Naning menolak. Air susuku menetes sia-sia. Baiklah. Menangislah, nak. Utarakan segala sedu sedan. Begitu menyakitkan ketika mengetahui kelahiran seorang bayi justru tidak diinginkan oleh asal muasal darah dagingnya sendiri.Â
Beberapa menit kemudian, angin yang sejak tadi ribut di halaman rumah Mbok Pur mulai mereda ketika tangis bayiku sampai di ujung. Suara rintik terdengar tidak sederas sebelumnya. Aku dan Mbok Pur masih berjaga hingga Naning tak sanggup menangis lagi, sampai mata yang lelah mulai terpejam. Kuraba lembut area wajahnya, tiada panas atau dingin yang terasa, hanya lendir lengket ingus dan air mata yang mengering. Mbok Pur benar. Bagaimanapun juga wujud batiniah anak akan terus terikat oleh pertalian batin ayah dan ibunya. Semoga Mas Eko mau mengerti kepada apa yang akan kusampaikan saat pulang nanti.Â
****
Setelah membayar becak, aku melihat Mas Eko sedang duduk di teras rumah. Kepalanya mendongak seraya menatap kosong ke  langit-langit.  Cangkul dan sabitnya bersandar di pojok pot masih bersih belum berlumur tanah lumpur.  Itu tandanya tidak ada satupun batang padi yang berhasil dipanen. Ia tampak terkejut karena kemunculanku yang tiba-tiba. Aku bilang kepadanya tentang kondisi Naning yang gawat lantas pergi begitu saja ke rumah Mbok Pur. Kini, mata Mas Eko justru memandang Naning lekat-lekat. Ia merentangkan tangannya hendak meraih Naning dari gendonganku. Satu kakiku melangkah mundur dan sikapku berubah menjadi waspada atas perilakunya yang mendadak ini.
Giliranku sekarang yang terkejut saat melihat Mas Eko mulai menangis. Cara menangisnya mirip Naning, air matanya juga, mengalir dari mata kiri kemudian dari mata kanannya, bergantian. Selama hidup berumahtangga, baru kali ini aku melihat suamiku menangis. Bahkan hari ketika Naning keluar dari rahimku ia tidak menangis sama sekali. Sebelum aku sempat bertanya, ia masuk ke rumah lebih dulu, buru-buru menyampir handuk kemudian menghilang dari bilik kamar mandi.Â
Usai bersih-bersih dan berganti pakaian Mas Eko ikut bergabung bersama di kamar. Gelagatnya aneh. Ia menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung seakan ingin memberikan sesuatu. Tangan kanannya keluar menyodorkan bungkusan kresek hitam
kepadaku. Ia tidak berkata apa-apa hanya tersenyum saja menunggu aku membuka kresek  itu. Mataku terperanjat melihat daster batik bercorak bunga didominasi warna merah dan sebuah selimut bayi berwarna pink masih terbungkus rapi di dalam plastik.  Aku menatap mata Mas Eko, lalu ke baju daster, kembali menatapnya lagi, terus bergantian seperti orang linglung.
"Tadi waktu berangkat, kebetulan aku lewat toko bajunya Bu Ning, tapi aku lihat awannya mendung lalu hujan turun. Karena makin deras akhirnya numpang  berteduh di sana. Tidak jadi berangkat ke sawah. Sambil nunggu, aku belikan kau daster ini dan juga selimut untuk Naning biar dia tidak kedinginan seperti tadi pagi. Kebetulan juga lagi diskon."
Belum habis kekagetanku, Mas Eko masih melanjutkan.
"Tapi, begitu sampai di rumah, tidak ada siapapun. Aku mencari-cari kalian ke tetangga, mereka bilang tidak tahu. Bagaimana kalau istri dan anakku pergi. Setelah menuai hasil panen selanjutnya, akan kubelikan sesuatu yang lebih elok"