[caption id="attachment_313908" align="aligncenter" width="300" caption="Kondisi atap sebelum renovasi "]
Yang menarik perhatian adalah lukisan-lukisan milik almarhum yang dibiarkan terpajang indah di sekeliling dinding ruangan. Saya bukan pecinta lukisan, juga tidak mengerti makna di baliknya. Hanya penikmat dan kagum dengan lukisan-lukisan tersebut.
"Pak Henk hobi sekali melukis. Semua karya dia. Bahkan, ada yang masih asli dan belum dipigura," ujar Eve sambil menunjukkan sebuah lukisan pemandangan.
Lalu, kami melangkah ke area dapur. Di sini pun tak jauh beda. Tempat pencucian piring sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Begitu juga kompor yang ketika ingin digunakan, harus memakai bantuan tang untuk memutar pemantik karena tutupnya sudah lepas. Keadaan dapur sendiri cukup bersih dengan perlengkapan sederhana.
[caption id="attachment_313910" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu bagian dapur"]
Satu-satunya area yang paling rapi dan bersih adalah kamar Eve sendiri. Â Lumayan luas. Ada satu tempat tidur berukuran king bed dan TV merek Sharp 21 inchi. Di dekat pintu masuk, lemari jati berisi koleksi pakaian aneka warna dan model. Wanita kelahiran Manado, 12 Agustus 1939 itu mengaku semua pakaian dibeli dengan harga murah meriah.
"Kalau jaman dulu iya ada yang mahal. Kalau sekarang mah beli di PGC (Pusat Grosir Cililitan) aja. Cari yang murah-murah, Rp 15 ribuan," ujarnya.
Eve bercerita, pasca Henk meninggal, dia hanya bergantung hidup pada uang kiriman anaknya yang di Belanda sebesar Rp 1 juta - Rp 1,5 juta dan pensiunan sebesar Rp 830 ribu per bulan serta tunjangan pejabat Rp 1 juta dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, tunjangan pejabat tersebut dihentikan pada 2004 sehingga hanya menerima Rp 830 ribu. Kehidupan dua anaknya yang lain bisa dibilang jauh dari mapan. Jadi, bisa dibayangkan, uang yang diterima hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak ada biaya untuk keperluan lain, apalagi merenovasi rumah yang begitu luas.