Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Cinta Henk Ngantung, Mantan Gubernur DKI yang Dituduh PKI

5 Maret 2014   20:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_315293" align="aligncenter" width="583" caption="Alm. Henk Ngantung dan istri "][/caption]

"Kalau aku melihat sungaiCiliwung, aku teringat padamu, Eve". Kalimat ini masih terngiang-ngiang di telinga Hetty Evlyn Mamesah. Kalimat yang diucapkan oleh Henk Ngantung tahun 1962 saat ia menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.

"Dulu kami sering bertemu janjian di pinggir SungaiCiliwung," ujar wanita yang akrab disapa Eve, membuka cerita.

Tak ada yang menyangka jika pertemuan keduanya berujung pada ikatan cinta yang sakral. Eve bertutur, saat itu usianya baru 22 tahun. Bekerja pada sebuah perusahaan, PT Usindo namanya. Perusahaan tersebut kebagian tugas dalam seremoni pengguntingan pita acara pameran seperti Jakarta Fair.

Lantaran ia dinilai sebagai wanita tercantik di perusahaan, maka jadilah membawa nampan berisi gunting yang akan diberikan pada Henk Ngantung. Satu malam sebelumnya, Eve cerita pada sang ayah, Mamesah, perihal tugas tersebut. Ternyata ayahnya kenal baik dengan Henk karena sama-sama berada dalam organisasi khusus masyarakat Sulawesi Utara.

"Saat acara, saya bawa gunting untuk kasih dia (Henk), dia liat saya, kayaknya tertarik. Lalu tanya nama, saya sebut nama ayah saya, dia bilang, 'Oh, saya kenal sama ayahmu. Titip salam ya. Bilang saya mau datang ke rumah'," kata Eve.

Sejak saat itu, Henk hampir setiap hari datang. Jika tidak bisa, maka ia mengirimkan surat cinta satu hari tiga kali. Eve menunjukkan tumpukan surat-surat cinta itu kepada saya. Semuanya berisi kalimat puitis romantis. Kalau bahasa anak muda jaman sekarang istilahnya kalimat gombal.

[caption id="attachment_315294" align="aligncenter" width="200" caption="Eve Ngantung"]

1393999220207576944
1393999220207576944
[/caption]

"Ha-ha-ha. Ya, dia sangat romantis sekali. Selalu bilang, 'Kalau aku lihat bunga yang cantik, aku ingat kau, Eve'. Dia cinta banget sama saya," ujarnya.

Dikirimi berjuta kata puitis, hati wanita mana yang tak luluh. Namun, tidak hanya itu. Ibu empat anak ini tertarik pada Henk karena pribadinya yang sangat baik, penuh pengertian, dan sabar. Mereka akhirnya menikah pada 1962 setelah melewati masa pacaran satu tahun.

Ada cerita berkesan beberapa hari sebelum pernikahan dilangsungkan. Henk mengajak Eve bertemu dengan Bung Karno yang saat itu menjabat sebagai presiden. Maksudnya, dikenalkan sebagai calon istri. Bung Karno kemudian minta bicara empat mata dengan Eve. Satu pertanyaan yang terlontar hanyalah, "Eve, apakah kamu benar-benar cinta sama Henk Ngantung, karena beda usia kalian jauh sekali?".

"Itu tinggal berapa hari lagi mau nikah, lho, undangan sudah berjalan, ditanya begitu. Ya saya jawab, 'Iya, saya benar-benar cinta'," katanya.

Bung Karno hanya mengangguk dan menjawab, 'Baiklah. Syukur kalau begitu'. Namun, ada satu pesan yang sampai sekarang masih diingat oleh Eve, tentang cara berpakaian.

"Dia panggil saya hanya mau kasih tahu bagaimana cara memakai pakaian nasional (kebaya dan kain)yang benar," ujarnya.

[caption id="attachment_315295" align="aligncenter" width="200" caption="Keluarga Henk Ngantung"]

13939993191470994924
13939993191470994924
[/caption]

"Eve, kalau kamu pakai kain yang ada gambar garuda, jangan terbalik. Garuda terbang ke atas, jangan kepala garudanya terbalik di bawah. Begitu juga kalau mau pakai kain lereng garis, dari atas ke bawah. Begitu kata Bung Karno. Dia sangat nasionalis dan teliti memperhatikan detail, apalagi soal pakaian nasional,"

Kehidupan pasca menikah jauh lebih romantis lagi. Setiap pagi, sebelum berangkat bekerja, Henk membuatkan teh, kopi, dan air putih. Segala keperluan sang istri selalu disiapkan sehingga Eve merasa tersanjung.

"Mungkin karena beda usia kami sangat jauh, 18 tahun, makanya Pak Henk memanjakan saya seperti anaknya. Dulu belum ada air putih kemasan, jadi dia masak air dulu untuk saya minum sampai malam. Padahal, itu dia sudah pejabat. Hebat kan," katanya.

Kebiasaan saat pacaran pun masih tetap dilakukan. Seperti mengirimkan puisi, membuat lukisan, dan makan malam berdua. Henk, diakui Eve, hampir tidak pernah marah. Dia selalu bersikap lemah lembut, mau memanjakan, serta penuh kasih sayang.

Makanya, ketika sang suami meninggal akibat penyakit jantung, wanita asli Tomohon, Manado ini begitu kehilangan. Kesetiaannya teruji karena hampir 22 tahun setelah Henk pergi, Eve tetap memilih hidup menjanda.

"Banyak yang mengajak saya menikah. Tapi, saya pikir, untuk apa? Saya sudah tua, suami sudah tua. Nanti kalau dia sakit, saya urusin, cebokin, saya nggak mau begitu. Kecuali suami saya Henk Ngantung, saya pasti benar-benar urus," ujarnya.

"Jadi, bukan hanya Habibi dan Ainun yang punya cerita, Henk Ngantung dan Eve juga punya. He-he-he," kata Eve berkelakar.

[caption id="attachment_315297" align="aligncenter" width="480" caption="Surat cinta Henk untuk sang istri "]

13939994881166340152
13939994881166340152
[/caption]

Sebagai manusia biasa yang hidup sendiri, rasa sepi sering hinggap. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak bersyukur. Salah satu caranya, Eve melakukan semua hal yang disenangi. Mulai pergi jalan-jalan ke Pusat Grosir Cililitan (PGC) sampai mewajibkan diri berdandan.

Baginya, dandan adalah kebutuhan. Tidak perlu kosmetika mahal. Cukup bermodal bedak, lipstik, dan pensil alis. Banyak orang mengira, Eve adalah ibu-ibu pejabat heboh kaya raya karena selalu full make-up dan sanggul buatan. Tinggal satu yang kurang, dia tidak memakai perhiasan emas berlian sama sekali.

"Coba dari kemarin lihat saya, ada nggak saya pakai-pakai emas?Nggak. Saya memang suka dandan dari muda. Bedak lisptik juga saya beli murahan kok. Ketemu tukang sayur saja saya dandan dulu. Saya nggak mau ketemu orang dengan wajah lesu atau lemas. Dandan kan bagian dari menghargai orang juga," ujarnya.

Kalau sedang dilanda rindu dengan almarhum, tak jarang Eve pergi ke makamnya di TMP Menteng Pulo. Atau, membuka-buka kembali kenangan lewat surat cinta dan puisi sang suami yang masih tersimpan rapi.
Dalam hati ia berharap, jika suatu saat Tuhan memanggil, semoga bisa dimakamkan berdampingan dengan suaminya hingga kembali bersama di keabadian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun