Tidak ada kata paling indah selain bersyukur, bersyukur dikelilingi orang-orang baik, bersyukur tanpa henti atas doa yang bergema di langit.Â
Disudut kota, dibawah pijakan bumu Gayatri, aku belajar kerasnya hidup tinggal dikota orang.
Kisah seorang anak perempuan pertama yang memberanikan diri berjuang ditengah arus pikuk kota Tulungagung. sebuah kota yang jauh dari rumah. Dia berjuang tanpa sanak saudara, tanpa orang dalam.Â
Bermodalkan tekad yang kuat diiringi doa ibu dia mampu melewati semuanya. Mungkin tanpa kedua orang tua dia bukan siapa-siapa. Tidak mungkin berada di titik ini. Titik dimana perjuangan sesungguhnya dimulai.
Ternyata benar, modal tekad mampu membawa seseorang untuk berjuang, anak mana yang tega meninggalkan kedua orang tua jika bukan menggapai cita-cita yang lebih tinggi.
Setiap hari dia bermimpi untuk hidup yang lebih layak, karena direndahkan oleh saudara lebih sakit daripada direndahkan orang lain.
Jika ditanya, capek gak terus berjuang ??
Jawabannya tentu saja "capek lah". Tapi kalau kita berhenti dan menyerah berati perjuangan kita selesai.
Ingat setiap orang punya versi capeknya sendiri, tetapi menyerah bukan pilihan utama.Â
Perjalanan 4 (empat) tahun bukanlah hal yang mudah bagi anak perempuan pertama yang memeluk lukanya sendiri. Dia harus terlihat kuat dihadapan keluarga, meskipun masalah datang bertubi-tubi. Seperti badai tanpa henti, tetapi percayalah akan ada pelangi yang muncul.Â
Jika ditanya, masalah apa yang biasa sering dilanda, jawabannya banyak. Sulit dijelaskan satu persatu. Mulai dari permasalah keluarga, pertemanan, percintaan, hingga ekonomi keluarga.Â
Semua seolah menjadi satu kesatuan yang utuh dalam kehidupan, sulit dihindari mangkanya kita harus siap menghadapi.Â
Sejak menginjakkan kaki di bumi Gayatri aku percaya prinsip bahwa "Siapa yang berjuang, dia yang akan mendapatkan".Â
Tetapi manusia sering lupa, perjuangan kita tidak seberapa tetapi mintanya luar biasa.
Hampir setiap hari aku dihantui dengan kata "BERJUANG" yang berkedok kata "SEMANGAT". Sampai aku muak mendengar kata tersebut. Seolah penuh di telinga ini.Â
Saking dari muaknya aku tidak ingin lagi mendengarnya dari ucapan temanku.Â
Tdak dapat dipungkiri, mahasiswa akhir rawan dengan kata "STRES & MUMET". Setiap hari harus dipaksa membuka laptop yang kadang kita sendiri tidak tahu untuk menulis apa.
Kalian bayangkan saja, duduk dihadapan laptop selama berjam-jam dan tidak mendapatkan hasil apa-apa. Mengulang-ulang kalimat di skripsi nyatanya bikin kita bingung sendiri. Akhirnya menutup laptop dengan perasaan sia-sia menjadi kebiasaanya.
Ada yang mengatakan bahwa " bukalah laptop, dan tulislah kalimat minimal satu paragraf setiap hari lebih bermanfaat daripada tidak ada menulis".
Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika menulis tetapi kita tidak tahu arah ujungnya dan pada akhirnya kita menghapusnya. Â Sungguh kata yang membuat diri kita capek lahir batin.
Nmaun, setelah perjuangan ku menuntaskan skripsi ini berakhir aku baru sadar bahwa moment seperti inilah yang nanti aku rindukan.Â
Berjuang sendiri membawa tas dan map ke kampus, muka malas yang sering di PHP dosen, hingga pulang dengan lembar revisi seolah menghantui mahasiswa akhir.
Jika kalian bertanya apa sih ciri-ciri mahasiswa akhir. Jawabannya hanya satu, yaitu dia yang ke kampus membawa map dengan wajah penuh beban".
Pergi kekampus seolah tidak mempunyai semangat, tetapi perlu dipaksakan.
Rasa ingin menyerah selalu menghantui, tetapi orang rumah menunggu kecerian di wisuda kita.Â
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa "Kuliah adalah pengangguran dengan gaya selama empat tahun".
Ingin sekali aku mengajak orang yang berbicara tersebut untuk berdiskusi bareng, gimana rasanya jadi anak kuliahan. Kuliah bukan hanya tentang duduk di bangku kuliah lalu pulang. Mereka sebenarnya juga memikirkan masa depan dan ekspetasi orang tua.
Kuliah itu berat jika kita menjalani hari-harinya tanpa tujuan yang jelas, tetapi kuliah akan terasa enjoy jika kita sudah tau arah dan tujuan kita.
Hal ini yang aku rasakan pas awal-awal kuliah, rasa hambar diawal kuliah terasa sangat nyata, mengingat kami angkatan Covid waktu itu. Seiring berjalan waktuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H