Oleh :
Firda Ardita Subandi
Penulis Adalah Kader Klinik Etik dan Advokasi 2022 Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Â
Indonesia sebagai Negara hukum menjamin warga negaranya untuk mendapatkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku memalui kekuasaan kehakiman dengan perantara peradilan. Dalam proses penagakan hukum di pengadilan, orang atau individu dilibatkan didalamnya.
Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya dan hanya merupakan pasal-pasal mati yang terdapat dalam suatu perundang-undangan jika tidak ada aparat penegak hukum yang menegakkannya. Dalam penegakan hukum maka orang-orang yang bekerja dilingkungan tersebut akan bekerja dalam sebuah kultur kolektif, kultur kolektif tersebut terdiri dari Hakim, Penuntut Umum dan Advokat.
Upaya menegakkan hukum tidaklah semudah membalik telapak tangan. Sejauh adanya penegakan hukum dalam pengadilan, upaya menggangu putusan hakim dengan tindakan-tindakan menggadaikan integritas seperti perbuatan untuk mempengaruhi proses peradilan yang tidak memihak, ancaman-ancaman yang tidak perlu dan tindakan tercela lainnya, dapat terjadi pada jalannya peradilan.Â
Hal ini tentu saja menghilangkan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan, serta menjatuhkan harkat martabat Hakim dan mencoreng dunia peradilan.Â
Maka dari itu para penegak hukum dalam mewujudkan  tugas utama hukum harus benar-benar memahami pedoman berperilaku  yang benar agar keadilan  dapat ditegakkan.
Salah satu contoh kasus mencela kehormatan hakim oleh pihak yang berperkara yaitu tindak pidana pada kasus yang terjadi pada Juli 2019 dimana penyerangan hakim oleh seorang Penasihat Hukum berinisial D di dalam ruang persidangan Pengadilan Negeri Jakarta.Â
Mirisnya etika perilaku pengadilan yang sampai kini masih bisa kita temukan.
Untuk menumbuhkan kesadaran penegak hukum dan masyarakat akan pentingnya etika dalam persidangan, maka diperlukannya Judical Education untuk mensosialisasikan Advokasi Hakim, demi pencegahan Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim atau disingkat PMKH.Â
Jika kesadaran akan pentingnya menjaga marwah dan martabat hakim telah dilaksanakan oleh penegak hukum, maka dapat dipastikan terwujudnya keluhuran nama baik para hakim dan dunia peradilan Indonesia akan terlaksana dengan baik.
Bagaimana praktiknya selama ini?Â
Selama ini dilakukan pengawasan terhadap hakim oleh Komisi Yudisial. Namun pengawasan tidaklah mudah. Karena pengawasan bukan hanya bersifat peraaturan perundang-undangan yang bersifat tertulis, melainkan pengawasan yang bersifat pribadi dan tersirat. Oleh karena jaminan keamanan bagi hakim merupakan aspek yang sangat penting bagi independensi kekuasaan kehakiman.Â
Komisi Yudisal melaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana telah diamanahkan oleh Undang -- Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 24B (1) dan Undang -- Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang -- Undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pasal 20 ayat 1 huruf (a) yang berbunyi :Â
"Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim"[1]
Komisi Yudisial dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang -- Undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan bahwa Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim salah satunya bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Dengan adanya independensi yang melekat pada hakim, penegakan etika pada dasarnya harus  dilakukan dengan perlindungan.Â
Perlindungan merupakan kebutuhan untuk menjamin kemerdekaan hakim dan kebebasan dalam memutus perkara sesuai dengan prinsip kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Oleh sebab itu peran pengawasan terhadap hakim menjadi salah satu faktor penting didalam menjaga perilaku hakim dalam bertugas.
Sejalan dengan pengawasan dan perlindungan oleh Komisi Yudisial, hakim sendiri dituntut untuk menjunjung tinggi keluhuran martabat, kehormatan dan perilaku dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.Â
Tidak hanya hakim, penegak hukum yang bekerja dalam kultur kolektif peradilan diharapkan mampu memberikan pelayanan keadilan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Karena seringkali masyarakat melihat perilaku penegak hukum sebagai "hukum".Â
Maka diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep mengenai hukum, yaitu tidak hanya sebagai peraturan, melainkan juga sebagai perilaku.
Kepatuhan hukum landasan pencegahan PMKH Â Â Â Â
PMKH nyatanya adalah aksi atau sebuah perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang bertujuan untuk merendahkan wibawa peradilan. Kejadian PMKH dapat dicegah jika seluruh lapisan masyarakat dan penegak hukum sadar akan kepatuhan hukum.Â
Kepatuhan hukum berkaitan dengan kesadaran hukum. Kesadaran bagi berlakunya hukum adalah dasar bagi dilaksanakannya hukum itu sendiri. Dengan berjalannya kesadaran hukum di masyarakat dan penegak hukum, maka hukum tidak perlu menjatuhkan sanksi.Â
Tegaknya suatu peraturan hukum baru akan menjadi kenyataan bilamana didukung oleh adanya kesadaran hukum dari segenap warga masyarakat. Kesadaran hukum bukanlah merupakan proses yang instan, melainkan sebuah rangkaian proses tahap demi tahap.
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Maka kelompok atau warga masyarakat sedikit banyaknya harus mempunyai kesadaran hukum akan proses peradilan yang baik.Â
Terlepas dari semuanya, kita harus menyadari bahwa kesadaran hukum berawal dari hati nurani individu, hal ini dibuktikan dengan pola masyarakat yang dapat dikatakan sebagai pemegang peran menunjukkan tingkah laku hukum sesuai dengan kesadaran hukum masing-masing.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa efektivitas hukum dalam masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor yaitu faktor hukumnya sendiri, Faktor penegak hukum, faktor fasilitas, faktor kesadaran hukum masyarakat, dan faktor budaya hukum.[2] Â Maka perilaku patuh itu dibutuhkan untuk memastikan hak-hak asasi masyarakat yang hendak dilindungi oleh aturan-aturan tersebut tidak terancam, apalagi dicederai.Â
Perilaku patuh pastinya akan melindungi marwah martabat, kehormatan Hakim dan melindungi dari tindakan PMKH. Penegak hukum, pihak yang berperkara dan masyarakat umum pun harus turut andil menjaga rasa hormat terhadap lembaga peradilan. Hakim juga memiliki kode etik yang harus mereka jaga serta sumpah jabatan yang tidak boleh mereka ingkari bahkan hingga akhir masa tugas hakim.
Dan benar bahwa oknum yang mengindahkan kepatuhan hukum itu hanyalah segelintir saja, sementara jumlah Hakim dan penegak hukum di Indonesia ada ribuan. Masih banyak hakim dan para pihak yang berintegritas dan berdedikasi tinggi dalam melaksanakan tugasnya memutus perkara berdasarkan fakta yang objektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H