Namun, ketika Lily menanyakan mata siapa yang diberikan padanya, suster tersebut enggan menjawabnya.
Hari demi hari dilalui Lily di rumah sakit. Tak sabar ia menanti apa yang diinginkannya. Dalam hatinya, apakah langit sama warnanya seperti saat dia bermimpi langit. Benarkah pohon seperti yang dipanjatnya saat mimpi. Lily benar-benar tak sabar menantikan itu.
***
Tiga hari telah usai. Saatnya pihak rumah sakit membuka perban mata Lily. Pada awalnya ia merasakan perih. Penglihatannya masih samar diawal. Matanya mengeluarkan air. Bukan tangisan melainkan rasa perih. Hingga beberapa saat kemudian penglihatannya mampu menangkap dunia.
"Aku bisa melihat..... aku bisa melihat, kau kah dokter yang memberiku penglihatan ini?" tanya Lily pada dokter yang berdiri dekat dengannya. Dokter itu  sumringah.
"Terimakasih tuhan, terimakasih dokter."
"Berterimakasihlah pada lelaki yang mendonorkan matanya untukmu," kata dokter itu.
"Siapakah lelaki itu dok?"
"Dia seorang pria tampan yang sering memberi makanan untukmu pagi dan petang."
"Oh.... matahari," ucap Lily pelan.
Lily berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Ia ingin mencari matahari. Namun, suster-suster di rumah sakit masih boleh memperbolehkannya pergi.
"Tunggu hingga besok nona," kata salah satu suster.
"Baiklah."
Esok hari, ia sudah berada di tempatnya berjualan bunga. Ia bertanya-tanya pada orang tentang matahari yang sering memberinya pada pagi dan petang. Dia berpesan pada orang-orang, jika matahari terlihat, maka beritahulah padanya.
Sei Rampah 28/12/2017