Deru air terdengar deras paska hujan panjang. Mengaliri parit desa menuju sungai. Malam yang gelap tanpa aliran listrik membuat desa semakin mencekam. Bukan tak mensukuri datanganya hujan. Mereka hanya takut kalau nikmat itu bukan ditujukan pada mereka.
Angin berhembus dengan ritme abstrak. Ketika kencang suara dedaunan yang berlaga terdengar seram bagai nafas raksasa. Dilema antara tinggal atau segera pergi. Seperti biasa pada penghujan-penghujan sebelumnya.
Para lelaki tak tidur, berjaga daan memantau. Wanita dewasa ikut tak tidur meski hanya di dalam rumah. Bukit disebelah utara mengindikasikan longsor. Hujan biasanya mengundang bencana. Pengalaman yang memberitahu. Tapi warga desa memilih menetap.
Sulaiman berjaga sendiri di depan rumah, menunggu jatah memantau desa secara bergantian. Istri di dalam bersama si anak bergumul mengejar hangat.
"Bu tambah kopinya," pinta Sulaiman pada si Istri.
"Itu tadi bubuk kopi terakhir pak, sudah tidak ada lagi."
"Kalau begitu bapak pergi dulu ya cari bubuk kopi," jawab Sulaiman.
"Tapi pak..."
Belum istrinya mengeluarkan kata larangan, Sulaiman pergi bersenjata sebuah senter. Tak berapa lama Sulaiman pergi, suara gemuruh terdengar. Tampaknya longsor benar terjadi. Tanah seperti bergerak. Sulaiman yang baru mendapat bubuk kopi langsung kembali.
Tapi beruntung, tanah yang longsor tak merenggut keluarga kecilnya. Sulaiman mengungsikan istri dan anaknya. Jalan desa basah dan licin. Mereka menuju tanah lapang tempat pengungsian. Perjalanan itu butuh waktu limabelas menit.
Itupun tetap mereka tempuh. Namun, dalam perjalanan Sulaiman dijegat oleh Danung. Musuh Sulaiman yang telah lama menghilang. Dendam Danung pada Sulaiman tak pernah padam, meski Danung telah diusir warga desa.
Sebenarnya mereka bersahabat. Tapi, karena Lastri yang lebih memilih Sulaiman, Danung pun mendendam.
"Mau apalagi kau Nung....?
"Aku ingin membunuh kalian sekeluarga," jawab Danung dengan gilanya. Mata keris yang dipegang Danung telah mengarah pada Sulaiman. Danung benar-benar gila. Sulaiman mencoba melindungi keluarganya.
Pertarungan terjadi. Sulaiman hanya bisa menghindari serangan-serangan keris Danung. Hingga ia tersungkur.
"Sabar Nung, sabar, sabar dulu. Kau tidak bisa selamanya seperti ini," ucap Sulaiman.
"Tak ada keuntunganmu membunuhku Nung... percayalah padaku. Kau akan semakin menyesal nanti," ujar Sulaiman.
"AHh.. sudahlah. Kau telah menghancurkan harapku untuk bersama Lastri. Kau tahu aku mencintainya, tapi kau tega merebutnya dariku. Persetan kau," teriak Danung.
"Jangan kang Danung!" Lastri berteriak dan bersujud di kaki Danung.
"Kumohon jangan kang. Hentikanlah ini, permusuhan ini. Akhirilah kang," ucap Lastri.
Danung tertegun dengan permohonan Lastri. Namun, kerisnya tetap saja menantang Sulaiman. Kemudian Sulaiman mengeluarkan seplastik bubuk kopi yang didapatnya tadi.
"Nung, lihatlah bubuk kopi ini Nung. Tidakkah kau ingat, dulu kita selalu menyeduh bubuk kopi bersama. Hampir setiap malam Nung. Ya hanya kita berdua," kenang Sulaiman.
"Kita bercanda. Tidakkah kau ingat, saat bubuk kopi terakhir kita dulu. Membuat kita minum kopi segelas berdua. Tidakkah kau ingat Nung. Ayolah, kembalilah pada pertemanan kita Nung. Soal Lastri, ia tidak memilihmu Nung,"
Danung menjatuhkan kerisnya. Menangis dan bertekut lutut di tanah. Lalu Sulaiman ikut bertekuk memeluk Danung. Mereka kembali dalam pelukan persahabatan. Namun beberapa saat kemudian, Lastri dari belakang menusuk tubuh Danung dengan keris.
"Lastri, apa yang kau lakukan?" tanya Sulaiman.
"Sudah ayo pak. Kita lari saja. Orang ini sudah banya menyusahkan rumah tangga kita selama ini. Kita segera ketempat pengungsian saja Pak," jelas Lastri.
Akhirnya merekapun meninggalkan Danung yang telah bersimbah darah tergeletak diguyur hujan.
Sei Rampah 4/11/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H