Mohon tunggu...
Fiqih P
Fiqih P Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Semarakkan literasi negeri

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan di Akhir November

28 November 2017   21:44 Diperbarui: 29 November 2017   06:44 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hujan: www.tribunnews.com

Mereka melintas lorong becek berdua. Terkadang langkah tertahan eratan lumpur pada kaki yang bersandal jepit. Tapi malam itu mereka tertawa jika eratan lumpur itu berulang-ulang menghambat laju mereka.

Fadli kerap mengelus-elus perut istrinya yang tinggal menunggu hari menyinari mata si jabang bayi. Uang seadanya kala itu mereka bawa untuk makan malam di warung depan. Takut si mungil kelaparan di dalam perut.

Sepiring berdua, oh mungkin bertiga jika si mungil dihitung. Tanpa rasa malu mereka menikmatinya. Nasi dengan lauk terong dan telur dadar didampingi air putih menambah rasa kenyang mereka. Bagaimana untuk makan esok?

Fadli yakin esok hari ia dapat pundi, lantaran Bang Iwan memintanya membantu menukangi sebuah rumah di lorong sebelah. Mereka bergegas pulang agar tenaga Fadli pulih untuk bekerja keras di hari esok. Canda tawa di ranjang menjadi makanan penutup mereka mengakhiri hari.

***

Pagi yang ditunggupun telah tiba. Namun mentari tak mampu mengeringkan lumpur di Lorong rumah mereka. Awan menutup surya dan harapan. Tak hanya itu tingkah laku sang awan, iapun menurunkan hujan.

"Hujan bun..." Fadli mengeluh pada istrinya.

"Iya, kita tunggu saja yah," jawab si Istri sambil mengelus perutnya.

Tapi hujan di akhir November itu tak memberi ampun pada tanah liat. Siang hingga sore air terus membasah. Hingga wajah si istri pun ikut membasah pada lapar yang sudah melewati detik demi detik.

"Lapar yah," keluh istrinya yang sudah memastikan pekerjaan dari Bang Iwan batal.

"Iya bunda, sabar ya. Nanti ayah akan keluar cari makanan,"

Tekad Fadli pun bulat. Ia menembus peluru-peluru air dari maha kuasa, meninggalkan istri sendiri di rumah yang berusaha tidur mengelus-elus perutnya.

Tapi keluar rumah, Fadli tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Meminjam uang kesana kemari tak berhasil ia dapat. Apalagi warung nasi depan yang ingin dihutanginya kebetulan tutup. Naas benar nasib keluarga kecil itu.

Dari kejauhan rombongan Bang Marco tampak. Biasalah rombongan bajing loncat. Fadli pun mendatangi Bang Marco yang sedang bersama dua orang bajing loncat lainnya.

"Bang istriku belum makan bang dari pagi, pinjam uang abang dulu," harap Fadli pada Bang Marco yang masih saudara sepupunya itu.

"Nih buat kau cepek," Bang Marco memberi uang Rp100 ribu kepada Fadli.

"Eit tapi siap makan, kamu harus bantu kami Fad... biasa..," ucap Bang Marco pada Fadli.

Fadli pun mengerti kalau yang dimaksud Bang Marco. Yaitu membantunya mencuri barang muatan dari truk-truk yang lewat. Mau tak mau Fadli mengiyakannya. Uang yang telah diterimanya cukup untuk makan mereka dua hari.

Hujan masih berlanjut. Fadli pulang membawa makan dan belanja keperluan rumah lainnya. Disambut istri yang tersenyum lemas.

"Ayah dapat uang dari mana?"

"Ada sedikit kerjaan bantu orang depan lorong tadi bun, habis ini ayah mau kerja lagi," jelas Fadli berbohong pada istrinya. Kalau saja istrinya tahu uang itu dari Marco, pasti ia tak mengizinkan. Karena Marco selalu ada maunya jika menolong orang.

"Oh, yasudah hati-hati ya yah," ucap Istrinya.

***

Usai memenuhi kebutuhan istrinya, Fadli kembali keluar rumah. Tiga jam lagi menunjukkan tengah malam. Fadli sudah bersama Bang Marco dan dua orang lainnya.

"Tenang Kau Fad, hasil kita malam ini kita bagi rata.... ok," Marco meyakinkan Fadli.

Saat itu juga mereka memulai aksinya. Bukan aksi yang mudah, para bajing loncat didikan Marco itu harus kejar-kejaran di belakang truk dan memanjat bak truk melalui sepeda motor. Fadli hanya ditugaskan untuk mengendarai sepeda motor.

Tujuh truk berhasil mereka jarah dengan menjatuhkan barang-barang muatan di jalanan. Fadli mulai senang. Tapi mereka berempat masih saja serakah. Rintikan hujan masih terus berlanjut. Tak adalagi rasa dingin, truk ke delapan melewati jalan. Mereka kembali pada aksinya.

Namun kini naas. Rombongan lelaki berbaju preman mengepung mereka. Truk dihentikan, dua anggota Marco yang berada di dalam bak truk ditangkap. Fadli tak ingin hukuman padanya semakin berat, iapun menyerah. Namun Marco Sang Raja Bajing Loncat terus mengendarai sepedamotornya di tengah hujan yang semakin deras.

Tak lama, Marco harus laga kambing dengan truk yang berlawanan arah. Pada akhirnya iapun tewas. Fadli hanya bisa menangis dan memohon ampunan pada aparat kepolisian. Fadli harus menerima kenyataan tak dapat melihat kelahiran anaknya lantaran harus mendekam di balik penjara.

Sei Rampah 28/11/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun