“Tapi aku kan harus hubungi mama. Entar mama curiga, hanphone ku enggak aktif,” jawab Ine.
Ine dalam kekesalan yang berkecamuk pada Farid. Farid mencoba membujuk Ine untuk tetap mengikuti kemping berjam-jam lamanya. “Gini aja deh, antar aku sampai jalan raya aja. Kalian lanjutkan kempingnya,” kata Ine mencoba mengalah.
“... yahhh, ini udah sore yank. Nganter kamu ke bawah, bisa-bisa aku kembali malam,” jelas Farid.
“Ayo dong, kita naik motor bertiga, minta kawani kek,” pinta Ine.
Akhirnya disepakati kau ikut turun bersama Farid dan Ine lantaran tubuhmu yang kurus. Kau mengiyakan mencoba mengambil kesempatan bisa berdua dengan Farid. Kau di belakang Ine yang memeluk erat Farid di atas sepeda motor meninggalkan Zul, Eris, Nasrah, Gina dan Nurul.
Kalian berjalan menuruni gunung. Matahari mulai menutup tirai. Baru lima belas menit kalian berjalan gelap sudah datang. Kau hanya pura-pura perempuan yang berani. Padahal sebenarnya duduk di belakang membuatmu bergidik.
Satu jam perjalanan, kau yang memegang senter tak sedikitpun tanda akan jalan malam itu. Bahkan jalan raya pun tak ada tanda-tanda. Farid terus mengendarai sepeda motor. Memang menuruni gunung tidaklah terlalu sulit meski harus tarik tiga.
Perjalanan hanya kau dan Farid yang sebenarnya mengetahui. Kau mulai merasakan keanehan. Sudah lima kali kau melihat beberapa pohon bambu yang sama persis. Kau mulai mencoba meminta Farid menghentikan lajunya.
“Kufikir kita melewati tempat ini terus Rid,” katamu.
“Iya aku juga bingung, tapi kurasa ini jalannya benar. Ayo kita coba sekali lagi,” kata Farid.
”Aduh gimana niih...,” Ine menimpal percapakan, ia mulai kalut.