‘Ya tentu,” jelas Kirman dengan semangat.
“Nanti malam rencananya saya mengumpulkan masyarakat di depan rumah pak. Saya ingin menjelaskan tentang kemerdekaan Indonesia,” ucap Hotber.
“Ah kalau itu kita harus berhadapan dengan si Purdo Ber. Susah, nyawamu taruhannya,” jelas Kirman.
“Ya pak, kalau tidak berani, kampong kita akan lambat berkembang paska kemerdekaan ini pak,” kata Hotber.
“Bener juga Ber…,”
“Jadi kita harus bagaimana,” Tanya Kirman. Hotber tersenyum.
“Saya merasakan firasat buruk pak. Tadi saya lihat Purdo dan anggotanya masuk ke rumah Purdo. Sepertinya mereka memiliki rencana buruk untuk saya pak,” keluh Hotber.
“:Iya Ber, Purdo itu takut sekali kalau kamu pulang ke kampong Ber. Saya sering mendengar itu. Lalu apa kau tidak takut Ber?” tanya Kirman lagi.
“Pak, sekarang sayalah yang ingin berjuang. Ini merupakan bagian untuk mengisi kemerdekaan kita ini pak. Membantu Jakarta untuk menata nusantara, mulai dari kampung,” jelasnya.
Perbincangan mereka semakin panjang. Bercerita tentang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan Hotber juga menjelaskan bagaimana proses kemerdekaan Republik Indonesia pada Kirman. Hingga akhirnya Hotber memberi sepucuk surat pada Kirman.
“Ini pak, kalau saya tak ada di depan rumah habis petang nanti. Bapaklah yang kabarkan pada warga, bacakan surat ini ya pak,” seru Hotber disambut pelukan Kirman yang kuat hingga meneteskan air mata mereka berdua.