Emaknya tengah menukul-mukul padi, agar biji beras berjatuhan. Pada umumnya masyarakat disitu adalah petani.
“Merdeka mak,” teriak Hotber dari kejauhan. Banyak mata menyorot padanya. Emaknya pun menoleh dan tampak gembira. Begitupun adiknya Tiodor, langsung memeluknya ketika sampai di pelukan emaknya. Para jiran tetangga juga tampak senang dengan kepulangan Hotber. Satu orang yang tak tersenyum pada langkah-langkah Hobert, yakni Pak Purdo seorang Tengkulak dan salah satu orang terpandang dan ditakuti disana. Hasil panen masyarakat disana dijual ke Purdo dengan harga yang tak pantas.
“Apalah yang kau bilang nak “merdeka itu,” Tanya Emaknya.
“Ya mak kita sudah merdeka semalam, nanti Ober jelaskan,” kata Ober yang masuk ke rumah panggung. “Mak ini ada uang, belanjalah nanti malam kita adakan kenduri. Ober juga mau ngomong dengan warga disini,” ucap Ober sembari memberikan uang Rupiah Hindia Belanda pada emaknya.
***
Gelagat Purdo mencurigakan. Bergegas dia memanggil para anak buahnya dan berjalan ke arah sawah. Ada belasan orang, mereka duduk di pondok tengah sawah.
“Bahaya ini, si Hotber pulang bakal menjelaskan soal Indonesia sama masyarakat,” kata Purdo.
“Kenapa bos?” Tanya salah satu anggotanya.
“Soal harga jual panen warga nanti. Kalau dijelaskannya dengan masyarakat tentang kemerdekaan, masyarakat akan cerdas, standar harga jual nantinya diteapkan pemerintah Indonesia. Tidak mau lagi mereka dengan harga rendah yang kita beri selama ini,” jelas Purdo.
“Bah, tumpurlah kita bos,” kata anggota lainnya,”
“La iya,”