Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... PNS -

Penulis Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu di Bawah Jok

14 Agustus 2016   19:26 Diperbarui: 14 Agustus 2016   20:00 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DIA turun lalu memeriksa barang bawaan. Mulai dari isi tas, saku jeans diperiksa berulang-ulang seperti ada barang yang hilang.

"Mas jam tanganku hilang," 

"Loh terakhir dimana sayank?" tanya Furqan.

Lalu dihidupkannya lampu dalam mobil. Mereka berdua berusaha mencari-cari jam tangan. Diperjalanan dari rumah Ibu Furqan, memang Okta tidur sepanjang jalan. Kondisi okta memang kurang fit, walau ada kegembiraan lantaran kandungannya yang memasuki usia dua bulan.

Okta terus mencari di bawah jok tempat duduknya tadi. Bukannya jam, malah sepasang sepatu high heel hitam ditemukannya. Okta tertegun, diam melihat sepasang sepatu tersebut. Namun tak dikeluarkannya dari bawah jok. Kebetulan juga jam tangannya telah ditemukan Furqan.

"Ini jam tangannya, ayo kita masuk," ajak Furqan. Okta diam, namun mengikuti ajakan Furqan. Furqan merangkul Okta, seperti biasa kehangatan selalu ada di rumah tangga mereka. Okta terus diam dan memikirkan soal sepatu di bawah jok. dalam hatinya apakah ada perempuan lain yang dibawa oleh Furqan.

"Mas kamu masih sayang aku. Apa ada perempuan lain?" cecar Okta dan di balas dengan senyum oleh Furqan.

"Kamu selalu nanya itu, kamu gak percaya sama mas?, sudahlah kita istirahat. Lelah ni jalan seharian," Furqan coba mengakhiri percakapan dengan memeluk Okta serta mengelus-elus perutnya hingga sampai di kasur.

Okta tidur membelakangi Furqan. Furqan pun langsung terlelap dalam kelelahannya. Di senyapnya malam itu, Okta meneteskan air mata. Hatinya gusar, apakah dia harus menanyakan tentang sepatu di bawah jok atau diam. Okta hanya tak ingin sepatu itu merusak rumah tangga mereka. Selama ini Okta selalu percaya akan kesetiaan sang suami.

Waktu terus membuang detik demi detik. Menit ke menit hingga berjam-jam. Okta hanya termenung dalam rebahannya tanpa tertidur dan masih memikirkan sepatu di bawah jok. Okta membebani dirinya sendiri malam itu. Malah sesekali dia menangis.

Pagi hari, Okta sudah duduk termenung di meja makan. Matanya sembab terdengar kernyit suara pintu. Furqan sudah bangun dan menenggak segelas air putih. Terlihatnya sembab kantung mata Okta.

"Kamu kenapa sayang?" tergesah Furqan menanyakan pada Okta.
"Gak ada mas, cuma susah tidur tadi malam,"
"Kok bisa, apa ada masalah?" tanya Furqan.
"Cuma mikiri kandungan mas" jawab Okta.
"Kalau mikir kandungan kamu jagalah kesehatan, jangan begadang. Sudah sekarang istirahat saja," seru Furqan.

Okta yang tetap taat pada suaminya pun merebahkam kembali tubuhnya dan memejamkan mata. Sehingga pagi itu, Furqan menyiapkan semuanya sendiri jelang berangkat ke kantor. Bahkan dia membuatkan sarapan untuk istrinya.

Furqan berangkat dan mengecup kening Okta yang dilihatnya tertidur. Diapun bergegas pergi. Tapi Okta tak benaran tidur. Waktu-waktunya dilewati dengan dilema dan sesekali meneteskan air mata. Gusar dia, bolak balik sebentar ke kamar sebentar ke dapur. Sarapan buatan Furqan dibuangnya di tempat sampah, menghilangkan jejak agar dikira sudah dihabiskannya.

Semakin sore, Okta semakin lemas. Ada sedikit chocochip di kulkas dikunyahnya setengah dan dilanjutkan dengan segelas air putih. Hatinya masih bertanya-tanya siapakah pemilik sepatu di bawah jok itum

Furqan pulang dengan membawa makanan, steam bawal kesukaan Okta.
"Kamu baik-baik sayang?"
Furqan bertanya sembaru mengelus rambut Okta. Furqan menyajikan buah tangannya. Tapi ditanggapi dingin oleh Okta.

"Aku gak selera mas," kata Okta.
"Aku mau istirahat saja mas,"
Furqan pun tak menghalanginya istirahat. Walaupun, Furqan takut akan kandungannya melihat kondisi Okta yang tak seperti biasa.

Okta hanya pura-pura tidur dalam baringan. Furqan juga tak berani mengganggu Okta dalam baringannya tersebut. Hingga pagi kembali datang. Kali Ini Furqan yang bangun terlebih dahulu. Furqan membiarkan Okta tetap di kasur. Pagi itu ia harus cepat ke kantor lantaran adanya pertemuan. Tak lupa sarapan buat Okta disajikannya dan berlalu pergi dengan sebuah kecupan pada kening Okta yang masih terbaring.

Okta terus bergelut pada kegusarannya. Pagi hingga siang kondisinya semakin memburuk, tanpa ada asupan sedikitpun. Entah bagaimana dia terpeleset di kamar mandi. Dia memegangi perutnya di tengah musibah itu. Pusing meliputi kepalanya. Tubuhnya tak kuat menahan beban hingga dirinya jatuh.

***

Entah mengapa hari itu Furqan memutuskan pulang pada setengah hari jam kerja. Dirinya berada di depan rumah. Pintu sedikit terbuka. Dia pun masuk ke dalam.

"Sayang- sayang," ucapnya sembari masuk ke dalam kamar.

Terkejutnya Furqan bukan main melihat si istri tergeletak di lantai. Digendongnya, lalu berlari keluar ke arah mobil. Terlihat tetesan air mata sang istri mengalir dalam pejaman.

"Oktaviani Putri,"
Suster memanggil, Furqan berdiri dan masuk ke UGD berjumpa seorang dokter perempuan.

"Bapak suaminya?" tanya dokter itu.

"Ya saya.

"Oktaviani mengalami gangguan pada perut dan sepertinya pada kandungannya juga mengalami masalah,"

"Sepertinya dia mengalami stres berat juga," kata bu dokter.

Okta yang telah sadar, meringis sakit dan memegang perutnya.

"ehhhh Aduh," erangan Okta memotong pembicaraan Furqan dan dokter.

Tak berapa lama Okta meminta ke toilet. Sakit perutnya tak tertahankannya. Menyusul ketakutan melintas begitu saja difikiran mereka calon orang tua.

Dan benar saja, setumpuk daging keluar dari selangkangan Okta. Seketika juga pecahnya raungan Okta dan Furqan.
"Anak kita mas, anak kita," Okta sambil memeluk Furqan. "Iya sayank yang sabar ya," ucap Furqan.

Kemudian Okta pun dikuret untuk membersihkan sisa-sisa kegagalan bayinya. Furqan terlihat menangis duduk di salah satu pilar rumah sakit tersebut. "Ya Allah kuatkanlah hamba," dalam hati Furqan.

Selanjutnya ia kembali menjumpai dokter mempertanyakan penyebab keguguran Okta.

"Okta seperti memikirkan sesuatu yang berat,membuat kondisi tubuhnya lemah. Ditambah diapun tak makan teratur," jelas dokter.

Namun, untuk hamil di lain waktu Okta masihlah bisa sebagaimana dijelaskan dokter sembari menenangkan Furqan yang menangis sejadi-jadinya.

Sakitnya Okta sudah tersiar kepada keluarga besar. Banyak saudara yang mengunjungi mereka yang kini telah berada di kamar pasien. Sepupu Furqan, Lia pun ikut mengunjungi.

"Sabar ya mbak, pasti nanti bisa lagi. Aku bantu doa," kata Lia sambil memegang tangan Okta. Dilihatnya Furqan berdiri.

"Oh iya mas, kemarin sepatuku ketinggalan loh di mobil, nanti kuambil ya," kata Lia pada Furqan.

"Ya Allah itu sepatumu Lia. Mbak fikir.......," omongannya malah dilanjutkan dengan tangisan. Begitupun Furqan menangis sejadi-jadinya.

"Jadi dalam fikiran kamu sepatu itu punya perempuan lain. Mas sendiri juga gak tahu sepatu Lia tinggal di bawah jok," jelas Furqan.

"Itulah yang membuat kandungan kamu melemah sayank," timpal Furqan dan meminta Okta agar berhusnuzan padanya.

Okta menangis di pelukan Furqan dan menyesali apa yang difikirkannya beberapa hari ini tentang sepatu di bawah jok.

 

Cerita Fiktif.

 

Penulis. PNS Kejaksaan Ri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun