Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... Lainnya - PNS

Seorang suami yang sangat mencintai istrinya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kembalinya Peran Cawapres dalam Mendulang Suara Pilpres 2024

4 Mei 2023   00:25 Diperbarui: 4 Mei 2023   00:38 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu kita masuk pada Pilpres 2014 yang menduelkan Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta. Romantisme kerakyatan Joko Widodo memunculkan Jokowi Effect. Menang di era sosial media yang memiliki penyebaran cepat, membuat segala romantisme kerakyatan Joko Widodo dari Walikota Solo hingga Gubernur DKI Jakarta modal kemenangan yang mencapai hampir 71 juta suara atau 53,15 persen diikuti PDIP yang menerima manfaat meraih 109 kursi DPR RI atau 18,95 persen suara rakyat nasional. Peran JK dan Hatta sebagai pendamping tetap ada, namun tidak menentukan.

Kemudian, masuklah kita pada Pilpres 2019. Sebagai incumbent, Jokowi tak perlu mencari pasangan yang mendongkrak elektabilitas. Cukup hanya menggandeng tokoh Islam sebagai jawaban pemerintahan yang anti Islam pada 2014-2019 yakni Wakil Presiden saat ini KH.Ma'ruf Amin.

Masih ingat kala itu, kemeja putih yang dikenakan Mahfud MD dalam menunggu penentuan Cawapres pasangan Jokowi. Seketika saja berubah menjadi KH. Ma'ruf Amin, mengisyaratkan siapapun pasangan Joko Widodo kala itu pastilah menang (Pasangan yang  dengan syarat, tidak pernah melakukan tindak kriminal atau pun korupsi).

Cawapres 2024

Saat ini, salah memilih Cawapres sama dengan kalah. Pentingnya kematangan SWOT dalam pemilihan pasangan. Menutupi kelemahan dan ancaman dengan kekuatan dan peluang dengan unsur utama elektabilitas. 

Prabowo sebagai Capres yang bakal diusung Gerindra dan PKB, tepat menggandeng basis NU dari PKB, namun perlu difikirkan pecahnya suara NU, sehingga harus benar-benar kader NU yang memiliki elektabilitas dan masa, semisal Khofifah Gubernur Jawa Timur. Apalagi Jawa Timur merupakan miniatur suara politik nasional. Terlebih Khofifah dapat meraup suara perempuan nasional.

Ganjar Pranowo, secara isu tak bisa dipungkiri memerlukan sosok yang cenderung mengarah ke basis masa Islam. Karena penting untuk menggabungkan suara basis liberal dan Islam untuk kemenangan. Mungkin agak sulit bagi PDIP, namun bagi PPP partai Islam hal ini bisa terwujud, apakah itu Menteri Pariwisata Sandiaga Uno yang telah banyak mendapatkan suara basis Islam pada Pilpres 2019 lalu. 

Lalu Anies Baswedan hanya perlu tokoh politik nasional. Basis Islam Non NU telah dikuasi oleh Anies, kini harus mencari tokoh nasional yang cenderung human interest. Misal sosok yang sejak kecil hidup susah, namun mampu sukses menjadi tokoh nasional. Pasangan untuk Anies memang sulit. Mungkin ada Chairul Tanjung, tapi perlu kampanye maupun promosi yang intens dan efektif, bahkan kalau bisa membuat drama agar menarik pemilih. 

Menduetkan Prabowo-Anies?

Hal ini akan mengembalikan suara Prabowo di 2019. Jika menyisakan dua pasangan, maka hasil akan sama pada 2019. Karena pemilih Anies cenderung cloningan dari pemilih Prabowo-Anies. Kita akan melihat kemenangan mutlak Anies Baswedan di Aceh dan Sumatera Barat pada 2024 nanti sebagaimana Prabowo-Sandi pada 2019. Maka duet ini sebaik mungkin untuk dihindari. Meskipun akan membuat perlawanan sulit bagi aviliasi Capres Jokowi-PDIP.

Pada intinya, Pilpres kali ini akan ditentukan oleh Cawapres untuk menjadi pemenang.

Penulis: Alumni IMM Aceh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun