Dana Bagi Hasil atau bisa disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH SDA, dengan rincian sebagai berikut:
- DBH pajak meliputi DBH PPh Pasal 25 WPOPDN dan PPh Pasal 21, DBH Pajak Bumi dan Bangunan (DBH PBB), dan DBH Cukai Hasil Tembakau.
- DBH SDA meliputi DBH Pertambang Minyak Bumi, DBH Pertambangan Umum, DBH Pertambangan Gas Bumi, DBH Kehutanan, DBH Pertambangan Panas Bumi, dan DBH Perikanan.
Pendapatan Lain-Lain Daerah yang Sah
Dikutip dari laman Kementerian Keuangan, pendapatan lain-lain daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan Daerah selain pendapatan asli daerah dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Komposisi Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah secara nasional dapat dibagi ke dalam empat bagian utama yaitu Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus, Pendapatan Lain-Lain, Pendapatan Hibah (berupa uang, barang dan jasa dari pemerintah pusat maupun daerah), Pendapatan Dana Darurat (berasal dari APBN yang diberikan kepada daerah pasca bencana akibat APBD yang tidak mampu menanggulanginya), Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemda lainnya, dan Bantuan Keuangan dari Provinsi dan Pemda lainnya.
~ Selanjutnya setelah kalian mengetahui apa itu sumber penerimaan, dan darimana sajakah jenis jenis dari sumber penerimaan atau pendapatan pemerintahan pusat dan daerah, maka apa saja ya permasalahan permasalahan pada sumber penerimaan atau pendapatan pemerintah pusat dan daerah?
Pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, telah dijelaskan bahwa fungsi alokasi dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yakni anggaran negara harus diarahkan guna mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan juga efektivitas perekonomian. Dengan ini dapat dilihat bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki keterikatan dari perekonomian secara agregat. Namun kenyataannya saat ini masih banyak permasalahan terkait penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tindakan ini dapat mencakup penggelapan dana, penyelewengan, nepotisme, kolusi, dan bentuk korupsi lainnya yang mengakibatkan kerugian pada keuangan negara. Korupsi APBN ini bertujuan untuk kepentingan pribadi guna memperkaya diri dengan menyalahgunakan dana APBN tersebut. Bentuk dan Modus dari korupsi dana APBN sendiri berupa :
- Penyelewengan Dana
Tindakan ini merupakan tindakan berupa pengalihan dana APBN oleh oknum yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu guna memperkaya diri.
- Pengadaan Barang dan Jasa
Pada Pengadaan Barang dan Jasa pemerintah ini merupakan suatu proses manipulasi yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan.
- Proyek Fiktif
Proyek Fiktif ini merupakan pembuatan proyek yang tidak dikenal atau tidak eksis yang bertujuan guna mengalirkan dana APBN.
- Mark Up Anggaran
Tindakan ini merupakan suatu penggelembungan nilai proyek maupun anggaran yang mana tindakan ini berupa peninggian anggaran atau penggelapan anggaran secara tidak normal dengan perencanaan anggaran demi kepentingan pribadi/kelompok dengan cara melawan hukum.
Pada kenyataannya kasus korupsi hingga saat ini kian bertambah. Contoh kasus nyata mengenai korupsi dana APBN oleh pemerintah Indonesia yakni Korupsi e-KTP. Kasus korupsi e-KTP merupakan salah satu kasus korupsi dana APBN yang melibatkan pejabat penting seperti Setya Novanto, mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung serta pejabat lain yang ikut terlibat. Akibat dari korupsi e-KTP ini, Indonesia mengalami kerugian sebesar 2,3 triliun rupiah. Pada mulanya rincian anggaran dana yang digunakan sebagai proyek e-KTP yaitu sebesar 5,9 triliun rupiah. Kemudian sebanyak 51% dari total anggaran yaitu Rp2,662 triliun akan digunakan untuk belanja modal proyek dan sisanya 49% yakni Rp2,5 triliun akan menjadi syukuran. Namun dana anggaran tersebut disalahgunakan oleh para pejabat dengan rincian dana korupsi yakni pejabat Kemendagri sebesar 7% (Rp365,4 miliar), anggota Komisi II DPR 5% (Rp261 miliar), Setya Novanto dan Andi Narogong 11% (Rp574,2 miliar), Anas dan Nazaruddin 11% (Rp574,2 miliar), serta sisa 15% (Rp783 miliar akan diberikan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan).
~ Setelah kita mempelajari darimana sajakah sumber sumber penerimaan pusat dan daerah, kita perlu adanya berpikir kritis pada daerah dan negara, sebagaimana kita juga ingin dan perlu tahu bagaimana pajak dari kita warga Negara Indonesia masuk dan dikelola oleh pemerintahan daerah dan Negara kita dengan adanya transparansi, sehingga dapat meminimalisir adanya kasus korupsi seperti diatas. Kurang lebihnya mohon maaf dan terima kasih telah membaca dan jangan lupa untuk membaca artikel saya lainnya.