Mohon tunggu...
Fionna Marsa Belinda
Fionna Marsa Belinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi

love to finding new things and pursuing interesting theories or facts

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hikikomori: Saat Tekanan Sosial Mendorong Seseorang ke Dalam Keterasingan

19 Juli 2024   13:55 Diperbarui: 19 Juli 2024   14:18 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/71VBjkmPa

Jakarta, 19 Juli 2024—Fenomena hikikomori ini masih menjadi hal yang jarang sekali dibahas di kalangan Masyarakat Indonesia. Namun, di beberapa negara seperti negara yang dijuluki sebagai 'Negeri Sakura' yang indah dan 'Negeri Ginseng' sangat ramai dipenuhi dengan fenomena hikikomori ini. Kata hikikomori sendiri mungkin masih sangat asing di telinga Masyarakat pribumi, hanya sebagian individu saja yang mengetahuinya terutama para penggemar anime, band jepang, dan beberapa individu yang 'addicted' dengan hal-hal mengenai Jepang.

Hikikomori (引き篭もり) sendiri berasal dari Bahasa Jepang yaitu hiku (引く) yang berarti "menarik" dan komoru (篭もる) yang berarti "menutup diri." Menurut psikiater Tamaki Sait, istilah hikikomori merupakan sebuah fenomena yang menjadi perhatian serius di Jepang, terutama para generasi muda yang menarik atau mengurung diri dan tidak ikut serta di dalam kehidupan sosialnya dalam jangka waktu enam bulan atau lebih. Akan tetapi, masalah kejiwaan bukanlah masalah utamanya dalam isu ini. Fenomena ini menjadi lebih terkenal Ketika psikiater Tamaki Sait menerbitkan bukunya yang memiliki nama "Social Withdrawal (shakaiteki hikikomori): A Neverending Adolescence" sekitar tahun 1998.

Survei epidemiologi Organisasi Kesehatan Dunia di Jepang antara tahun 2002 dan 2006 menemukan bahwa 1,2% populasi pernah mengalami penarikan diri dari lingkungan sosial (hikikomori) untuk jangka waktu lebih dari 6 bulan, survei menyatakan bahwa individu yang mengalami hikikomori berusia 15 hingga 49 tahun. Namun, angka ini mungkin hanya sebagian dari angka keseluruhan populasi yang terdeteksi hikikomori. Dari data survei yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa fenomena ini menjadi masalah yang cukup serius terhadap kehidupan sosial masyarakat penduduk Jepang. Dari seluruh data epidemiologi yang dikumpulkan, setelah diamati jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan selisih 3:1 atau lebih. Isu tersebut menunjukkan adanya perbedaan gender yang signifikan.

Kita perlu mengetahui bahwa fenomena ini berawal dari tekanan sosial yang mengakibatkan seseorang menarik dirinya dari pergaulan sosial. Merasa ingin bersembunyi sesaat merupakan hal yang lazim karena dapat mengurangi stres dan membantu mengatasi penyakit, rasa lelah, dan tekanan tertentu. Isolasi sementara juga mendukung adanya perkembangan pribadi, tetapi isolasi yang berkepanjangan dapat berubah menjadi sikap menarik diri yang ekstrem sehingga akhirnya menyulitkan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Hal tersebut tentu sangat perlu untuk diwaspadai dan dihindari. Sebenarnya mengapa fenomena isolasi diri berdampak buruk bagi kesehatan dan menjadi salah satu masalah sosial? Apa yang membuat individu akhirnya memutuskan untuk mengisolasi diri dari kehidupan sosialnya? Mari kita Simak beberapa penyebab dan cara pengatasan fenomena hikikomori ini.


Penyebab Isolasi Sosial (Hikikomori)

Setelah mengetahui seberapa mengganggunya fenomena hikikomori bagi diri sendiri dan masyarakat, tentunya kita perlu mengetahui apa saja faktor penyebab seseorang mengalami fenomena hikikomori. Untuk mengetahui apa alasan seseorang menjadi pelaku hikikomori, beberapa peneliti menggunakan teori fenomenologi. Fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia (Hajaroh, 2013:09). Umumnya, hikikomori disebabkan oleh 'toxic shame' atau rasa malu yang berlebih akibat ekspektasi atau tujuan yang tidak dapat dipenuhi. tekanan sosial, seperti tekanan akademis dan karir. Terdapat 4 kategori yang dapat menjelaskan faktor penyebab terjadinya perilaku hikikomori:

1. Faktor lingkungan sekolah, yakni Ijime (苛め) atau bullying, sistem pendidikan yang terlalu kompetitif, dan kegagalan dalam menempuh ujian,

2. Faktor keluarga, menjadi anak tunggal yang terus diperhatikan sehingga memiliki kekurangan waktu dalam bersosialisasi, tuntutan dari orang tua, kurangnya kesejahteraan keluarga, dan the child's room.

3. Faktor lingkungan sosial, media massa atau audio visual, tradisi, dan hubungan interpersonal dengan tetangga.

4. Faktor individu, menurut para ahli pengaruh dalam diri memiliki korelasi dengan penyakit mental, autisme, depresi, kecemasan sosial, dan agorafobia (rasa takut berlebihan).

Fakta lain yang merujuk pada orang dewasa hikikomori, faktor otak (biologis) menjadi sorotan utama. Psikiater Jepang menganggap faktor psikosis, suasana hati, dan kepribadian sebagai penyebab yang memiliki kedudukan setara, sementara psikiater di negara lain menganggap faktor suasana hati dan kepribadian sebagai faktor yang lebih signifikan, terutama pada remaja hikikomori. Faktor psikosis diangkat khususnya pada remaja hikikomori oleh psikiater di India, Iran, Korea, Amerika Serikat, dan Jepang.

"Frightened of my futureless life, scared by my foolish anxieties, unable to see ahead and aiming nowhere, I continued ceaselessly living my ridiculously idiotic life." — Tatsuhiko Takimoto, Welcome to the N.H.K.

Pandangan Hikikomori dari Kacamata Interaksionisme 

Pendekatan interaksionisme dalam mengatasi fenomena hikikomori menekankan pentingnya interaksi sosial dan makna yang diciptakan melalui hubungan interpersonal. Konsistensi, sebagian darinya, disebabkan oleh usaha-usaha kita yang aktif dan sadar. Sebuah rangkaian studi yang menarik meneliti tentang pengaruh konsep diri terhadap tipe umpan balik yang mereka perlihatkan dari proses interaksi sosial (Swann & Read, 1981).

Rasa malu yang berlebihan akibat tidak tercapainya suatu tujuan yang diinginkan sehingga terjadinya fenomena hikikomori dapat dijelaskan dari kacamata interaksionisme. Pendekatan ini menyoroti kecenderungan mereka untuk mengisolasi diri dari Masyarakat.

"how individuals come to be identified as deviants" (Thomas, 1995)

Teori pelabelan (labeling theory) pertama kali dikemukakan oleh Howard Bercker. Teori pelabelan merupakan pendekatan sosiologis berupa pemberian label pada seseorang berdasarkan perilaku menyimpang dapat menyebabkan mereka melakukan tindakan yang tergolong criminal (orang berperilaku sesuai dengan label yang diberikan kepada mereka). Dalam kasus ini, seseorang dilabeli sebagai "orang yang gagal" atau "antisosial," mereka mungkin mulai menerima label ini sebagai bagian dari identitas mereka dan bertindak sesuai dengan label tersebut. Hal ini dapat memperkuat isolasi sosialnya.

A self-fulfilling prophecy

Self-fulfilling prophecy adalah suatu ekspektasi atau keyakinan yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang, sehingga menyebabkan keyakinan tersebut menjadi kenyataan. Ketika seseorang percaya bahwa mereka tidak diinginkan atau tidak cocok dalam lingkungan sosial. Pada akhirnya mereka menghindari interaksi sosial karena takut ditolak, yang pada gilirannya mengurangi peluang mereka untuk membentuk hubungan sosial yang positif dan memperkuat isolasi sosial.

Human assumptions in shaping meaning through the process of communication

Sebuah interaksi yang negatif atau menyakitkan dapat memicu terjadinya Isolasi sosial, yang kemudian mereka asosiasikan dengan makna negatif terhadap interaksi sosial secara umum. Pengalaman ini dapat membuat mereka enggan untuk terlibat dalam interaksi lebih lanjut, yang memperkuat isolasi mereka. Contoh tersebut merupakan bentuk dari Symbolic Interactionism.

Contoh Kasus

Fenomena ini terjadi pada salah satu pemuda berinisial YO yang berusia 18 tahun, YO telah mengalami hikikomori hampir 3 tahun. Dia selalu tidur pada siang hari dan beraktivitas pada malam hari. Kegiatan yang ia lakukan selama mengurung diri tidak jauh dari berselancar internet dan membaca manga (komik Jepang). YO menolak menjalin interaksi dengan teman-temannya, bahkan keluarganya. Dia hanya keluar pada tengah malam untuk makan, itu pun dengan cara menyelinap. YO angkat bicara terkait masalahnya, bahwa ia tahu perilakunya ini abnormal, tapi ia tak bisa mengubahnya karena perilakunya membuat dirinya merasa nyaman.

Setelah diusut ke belakang, YO gagal menjadi pemimpin kelas semasa SMP. Untuk mengatasi rasa malu dan penilaian orang lain, dia akhirnya memilih mengurung diri. Nah, dari kejadian tersebut dapat kita simpulkan bahwa mereka yang mengalami hikikomori memiliki pengalaman mendapat tekanan dari keluarga dan masyarakat yang terlalu berat untuk ditanggung.


Pendekatan Terapeutik terhadap Hikikomori

Waktunya untuk beralih dan lebih aware terhadap fenomena hikikomori ini, seperti yang sudah dijelaskan pada awal pembahasan bahwa fenomena hikikomori memberikan dampak positif berupa pembentukan identitas diri yang mantap dan membentuk perkembangan diri. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dampak negatif yang di dapat lebih mendominasi. Mari kita selami lebih dalam terkait solusi pengobatan pada individu yang mengidap hikikomori.

Dalam mengatasi pengobatan yang paling dasar, peran keluarga dan individu di sekitarnya sangat penting dan dibutuhkan, mengingat seseorang yang mengalami kondisi ini mungkin merasa tidak membutuhkan bantuan medis. Akan tetapi, jika dibutuhkan bantuan medis, maka langkah pertama diimbau untuk menjumpai psikolog, setelah tahap pengevaluasian individu akan diarahkan untuk menjalani sesi psikoterapi dan konsumsi obat-obatan. Setiap orang mungkin memerlukan jenis pengobatan yang berbeda, disesuaikan dengan gejala dan tingkat keparahan kondisi yang dialaminya.

Berikutnya terdapat Intervensi empat langkah oleh MHLW 2010:

  • Dukungan keluarga, kontak pertama dengan individu dan evaluasinya
  • Memulai dukungan individu
  • Pelatihan dengan situasi kelompok sementara-menengah (seperti terapi kelompok)
  • Uji coba partisipasi sosial.

Hikikomori juga dapat dikomunikasikan melalui terapi psikologis, yaitu terapi Kognitif-Perilaku (CBT) yang dapat membantu mengatasi kecemasan sosial dan meningkatkan keterampilan sosial serta terapi Psikodinamik yang fokus pada pengidentifikasi, pemahaman konflik internal dan pengalaman masa lalu yang mungkin berkontribusi pada hikikomori yang dialami individu.

https://pin.it/2AzIKspkQ
https://pin.it/2AzIKspkQ

"You may encounter many defeats, but you must not be defeated. In fact, it may be necessary to encounter the defeats, so you can know who you are, what you can rise from, how you can still come out of it." — Maya Angelou

Dari beberapa data yang di dapat, hikikomori tidak lagi hanya tumbuh dan menyebar di Jepang saja, fenomena ini sudah semakin tersebar luas mulai dari Indonesia, India, bahkan sudah sampai ke Portugal. Sampai saat ini hikikomori belum juga dapat dipastikan apakah isu tersebut termasuk penyakit mental yang tetap, tetapi perilaku yang ditunjukkan cukup mengkhawatirkan dan merupakan dampak jangka panjang dari gangguan mental secara tidak langsung. Misalnya saja rasa malu yang berlebih akibat kehilangan pekerjaan dapat menimbulkan stress yang cukup berat sehingga menyebabkan emosional seseorang tidak stabil dan menarik dirinya dari lingkungan sosial.

Walaupun masalah hikikomori di Indonesia maupun di negara lain belum cukup booming, penting untuk kita meningkatkan kesadaran akan masalah ini dan beberapa langkah harus diambil untuk mencegah maupun mengatasi dampak hikikomori di tanah air kita. Dalam rangka mengatasi fenomena ini, pendekatan yang melibatkan dukungan keluarga, sosialisasi kesehatan mental, dan peningkatan akses ke perawatan perlu diperlukan sesekali. Nah, kesadaran semua orang akan hal ini juga sangat perlu untuk di-boost, pengurangan stigma untuk yang sedang mengalami hikikomori agar mereka dapat pertolongan, dan memperjuangkan terbentuknya lingkungan yang nyaman untuk semua orang.

References

Azzulfa, M. I. (2021). Mengenal Teori Pelabelan dalam Perspektif Sosiologi. Retrieved from Tirti.id: https://tirto.id/mengenal-teori-pelabelan-dalam-perspektif-sosiologi-f87C

Hikikomori. (2023, June 8). Retrieved from Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Hikikomori

Rahmawati, A. (2023, November 14). Fenomena Hikikomori, Isolasi Diri Secara Ekstrem hingga Menimbun Gunung Sampah dalam Rumah. Retrieved from Liputan6.com: https://www.liputan6.com/citizen6/read/5452923/fenomena-hikikomori-isolasi-diri-secara-ekstrem-hingga-menimbun-gunung-sampah-dalam-rumah?page=12

Schustack, H. S. (2006). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Takahiro A. Kato MD, P. S. (2019). Hikikomori: Multidimensional understanding, assessment, and future international perspectives. Psychiatry and Clinical Neurosciences.

Takahiro A. Kato, M. T.-N.-C. (2011). Does the 'hikikomori' syndrome of social withdrawal exist outside Japan? A preliminary international investigation. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, Vol. 47, Pages 1061--1075.

Tosepu, Y. A. (n.d.). Retrieved from wixsite: https://yusrintosepu.wixsite.com/yoes/post/apa-itu-self-fulfilling-prophecy-simak-penjelasannya

Wahyuningsih, A. (2015, July 26). Mereka yang mengalami hikikomori memiliki pengalaman mendapat tekanan dari keluarga dan masyarakat yang terlalu berat ditanggung. Retrieved from Brilio.net: https://www.brilio.net/life/perilaku-abnormal-ini-jangkiti-generasi-muda-jepang-jangan-ketularan-150725k.html

Yuli, E. (2016). INTERAKSI SIMBOLIK PENDERITA HIKIKOMORI DENGAN KELUARGA DAN TEMAN DI SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA . Retrieved from http://eprints.upnyk.ac.id/4649/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun