Baru-baru ini, seorang seniman bernama I Gede Ari Astina, atau yang akrab disapa Jerinx, ramai menjadi buah pembicaraan publik. Tampaknya, hal ini adalah akibat dari obrolan Jerinx dan Aiman dalam acara Sapa Indonesia Malam, Rabu 6 Mei 2020 di Kompas TV.
Hal yang menarik bagi saya sebetulnya bukan tentang siapa yang benar dari obrolan Jerinx dan Aiman. Yang menarik bagi saya adalah persoalan krisis kepercayaan yang sebetulnya terpapar dalam narasi-narasi yang dilantunkan oleh salah satu personil Superman is Dead ini, dan para pendukungnya (jika kita melihat respons para pendukung Jerinx).
Singkat cerita, saya mendapatkan berita tentang obrolan kedua pribadi yang sering tampil di depan layar kaca tersebut dari akun instagram @politicaljokesid. Dalam unggahannya, akun Political Jokes Indonesia tampak memberikan semacam ejekan kepada Jerinx dan memberikan semacam pujian kepada Aiman. Sewaktu saya membaca komentar-komentar yang diberikan para followers, saya tidak menemukan (mungkin ada, tetapi sangat sedikit) orang yang  membela Jerinx. Semuanya tampak satu suara dengan berbagai nada ejekan. Melihat video yang diunggah oleh @politicaljokesid hanya sepenggal, maka saya memutuskan untuk melihat keseluruhan video obrolan Jerinx dan Aiman, yang juga melibatkan sosok Hermawan Saputra di kanal YouTube milik Kompas TV.  Menariknya, dalam komentar-komentar di akun YouTube milik Kompas TV ini, ternyata banyak sekali netizen yang justru membela Jerinx dan mengejek Aiman. Tidak hanya itu. Banyak pula yang menyatakan ketidakpercayaannya kepada media-media arus utama.
Saya tidak memungkiri bahwa media arus utama tidak lepas dari salah. Akan tetapi, jika media arus utama tidak dapat dipercayai, lalu apa yang dapat kita percaya? Persoalan ini menunjukan bahwa kita sedang memasuki dunia yang krisis akan kepercayaan. Di dalam krisis kepercayaan, tentu terdapat kebutuhan untuk percaya. Mungkin saja, teori konspirasi adalah jalan lain untuk menyalurkan kebutuhan untuk percaya tersebut dan ketidaksiapan melihat realitas yang dipaparkan media arus utama.Â
Dalam pandangannya, seorang Filsuf ternama yang mengantarkan dunia ke dalam era post-modern, yaitu Nietzsche pernah melemparkan kritiknya kepada masyarakat Eropa saat itu. Nietzsche yang kerapkali disebut sebagai "pembunuh Tuhan" ini, mengkritik bagaimana orang-orang saat itu menjadikan Tuhan sebagai sandaran dari ketidaksiapan mereka dalam menghadapi realitas. Bagi Nietzsche, kebutuhan untuk percaya ini adalah kelemahan manusia yang tidak dapat menerima kerapuhannya (Saya memparafrasekan perkataan Nietzsche).
Saya kira, ini juga berlaku sama dengan konteks kita saat ini. Tidak hanya tentang Tuhan, kebutuhan manusia untuk percaya ini juga nyata terhadap hal-hal lain, yang dianggap dapat menjelaskan absurditas yang harus dihadapi (dalam konteks ini adalah teori-teori konspirasi).
Sepertinya, orang-orang yang mungkin tidak siap menghadapi absurditas ini mencoba merumuskan penyebab terjadinya pandemi Covid-19 ini, sekalipun mereka harus melakukan semacam upaya cocok-mencocokan tanpa ada validasi data yang akurat. Dalam konteks kekristenan, misalnya. Banyak pihak, bahkan pendeta-pendeta (sebagian kecil saja) yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 ini adalah konspirasi iluminati untuk menjual microchip 666, agar manusia menjadi tunduk kepada antikris. Jika kita teropong lebih jauh (terlepas dari persoalan hermeneutis teks suci), semua teori ini tampak berusaha menjelaskan alasan yang "jelas" untuk membuat yang absurd ini menjadi tidak absurd lagi.
Manusia perlu untuk percaya. Teori-teori konspirasi semacam ini tampak memberikan secercah penjelasan di tengah ketakutan dan krisis kepercayaan kepada pemberitaan media-media arus utama. Saya kira, ini realitas yang harus kita hadapi bersama.Â
Sebagai seorang manusia, sebetulnya kita tidak perlu mengambil jalan pintas untuk mengatasi absurditas ini.
Gagasan Nietzsche dalam Zarathustra tampak dapat diandalkan dalam masalah ini. Nietzsche menandaskan bahwa manusia harus mencintai kehidupan, karena cinta kehidupan berarti sanggup menanggung kenyataan. Inilah yang disebut Nietzsche, Ubermensch (manusia super). Dengan kata lain, kita tidak perlu mencari jalan lain untuk dipercaya, seperti teori konspirasi dan apapun itu (dalam konteks tulisan ini). Kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan. Menjadi kuat bukan berarti mencari kepercayaan alternatif, bukan pula melawan kenyataan, tetapi menerima kenyataan itu apa adanya, sembari menyadari bahwa kita rapuh. Sungguh sangat paradoks. Oleh karena itu, mari kita isi hidup yang sementara ini dengan kebaikan-kebaikan. Mari berdamai dengan kerapuhan, dan jadikanlah kerapuhan ini milik bersama sebagai manusia yang kuat dan bersatu menerima kenyataan.
Catatan: Tulisan ini tidak sama sekali mengajak publik untuk berhenti percaya kepada yang Transenden (Tuhan). Yang dikritisi di sini adalah kebutuhan untuk percaya kepada Tuhan ataupun hal lain, seperti teori konspirasi yang hanya merupakan buah atau pelarian dari manusia yang tidak dapat menerima kerapuhannya. Bagi saya, percaya kepada Tuhan harus dibarengi dengan penerimaan bahwa diri kita rapuh; tanpa perlu melarikan diri dari kerapuhan itu, melainkan berdamai dengan kerapuhan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H