Mohon tunggu...
Fini RosyidatunNisa
Fini RosyidatunNisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Hobby saya adalah membaca, menulis, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Ajarkan Variasai Baru, Mengemis Online

15 Januari 2023   23:07 Diperbarui: 15 Januari 2023   23:11 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption: /m.brilio.net

            

           Keluargaku terdiri dari 3 anggota aku, ibu dan ayah. Kami tinggal di kecamatan Njaluk kota Nelangsa sudah kurang lebih 14 tahun, dari aku lahir sampai sekarang duduk di kelas 2 SMP. Mata pencaharian ayah dan ibu adalah pengemis. Keduanya sudah menjalankan peran itu saat masih remaja. Bahkan cerita dari keduanya mereka berdua bertemu ketika sama-sama sedang mengemis di alun-alun Medit. Kemudian ayah dan ibu saling berkenalan, jatuh cinta, dan memadu kasih dalam bahtera rumah tangga.

            Sejak kecil ayah dan ibu menanamkan padaku kalau mengemis adalah usaha untuk mendapatkan uang dengan mudah, karena tidak mengeluarkan modal apapun. Akan tetapi cukup berpenampilan dan bersikap layaknya seorang pengemis. Bahkan tak jarang ayahku menjelaskan tips-tips agar dapat menjalankan perannya dengan profesional. Tutur kata ayahku yang begitu melekat padaku, "Nanti kalau sudah lulus SMP kamu mulai ikut mengemis ya! Katanya mau minta dibelikan motor, ya harus nabung sendiri dulu!. Nanti kalau kamu pintar memelas (ekspresi yang membuat orang lain iba) pasti dapat uangnya tambah banyak"

            Aku sendiri beranggapan jika yang dilakukan ayah ibuku sudah baik dan benar. Sewajarnya bagi seorang anak saat semua kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi, pasti akan sangat menyayangi kedua orangtuanya. Dan ketika keadaan hati sudah membela, maka ragapun akan marah saat keduanya dihina?

            Kejadian sore kala itu merupakan gambaran dari tidak terimaku. Sepulang sekolah sambil menunggu angkot lewat, segerombolan teman berjalan di depanku. Dengan gayanya sok dan songong salah seorang mereka menghinaku dengan ucapan yang menyakitkan, "Hey anak orang kaya kok gak punya motor sih". "Iya rumah-rumah lagi pada ditutup ya" timpal yang lain. Aku pun masih cuek dan tidak peduli. "Eh atau tempat-tempat sudah ditulis larangan kalau gembel dilarang masuk!" saut yang lain. 

Dari sini tanganku mulai mengepal ingin rasanya memukul mereka, "Eh eh mulai marah ni ya! Apa bisa pengemis itu kasar kan harusnya terbiasa lemah lembut dan merintih kalau sedang melarat (keadaan ekonomi sulit)!" Ejek temanku dengan suara yang lebih lantang. Sampai-sampai siswa yang lain menoleh semua ke arahku. Maka wajahku menjadi merah padam, hati bergejolak, mulutku gatal, aku sangat emosi!, tanpa berpanjang kata ku lemparkan botol kaca ke arah mereka. Perjalanan masa pendidikan ku mulai berhenti saat peristiwa ini.

            "Wiu, wiu,wiu" suara ambulan yang membawa tubuh temanku. Darahnya bercucuran mengotori jalan dan mengundang keramaian. Warga sekolah yang belum pulang juga berlarian ikut melihat apa gerangan yang terjadi. Pemandangan ini seolah pisau yang menusuk perutku. Ingin berlari kencang menyadarkan diri kalau ini hanyalah mimpi. Namun tanganku digenggam teman laki-laki ku dengan kasar. Aku menunduk terdiam, teringat ayah ibuku tetaplah sosok yang sangat pantas untuk ku bela, bahkan jika taruhannya nyawa aku rela. Maka aku tidak peduli sama sekali kalau nanti nasib ku berujung di penjara.

            Setelah berlarunya peristiwa pahit satu persatu pasca insiden itu. Statusku kini bukan lagi pelajar, tapi narapidana yang masih belia. Tadinya hakim memutuskan seharusnya aku bisa saja dimaafkan karena masih dibawah umur, akan tetapi bertolak dengan papa temanku yang sangat tidak ingin aku lolos dengan mudah. Papanya si penghina orangtuaku sampai melakukan aksi penyogokan demi diriku agar bisa tinggal dalam jeruji besi.

            Sudah dua pekan waktuku berjalan dalam tahanan. Suatu hari ayah dan ibu datang menjenguk ku dengan membawa makanan favoritku pizza, burger, steak dan tentnya es boba. Snack yang dibawa oleh keduanya diangkut menggunakan mobil pick up, jumlahnya sangat banyak sekali! Ibuku mengatakan, "Itu makanannya dibagikan sama yang lain!". Dengan antusias aku memanggil ibu-ibu narapidana yang satu sel bersamaku. Kemudian kami membawanya ke setiap sel dan seluruhnya bersuka ria karena bisa menikmai hidangan yang lezat.

            Hanya penghuni penjara Mbeler ini yang faham kalau aslinya aku berasal dari keluarga yang berkecukupan. Karena setiap tiga hari sekali datang makanan atas namaku yang dikirim oleh ayah dan ibu hebatku. Mereka sangat tidak mengerti kalau aku anak dari pasangan pengemis. Aku pribadi menyembunyikannya sebab aku takut tangan ini akan kembali berulah ketika profesi ayah ibuku direndahkan.

            Selesai membagikan makanan, aku duduk berbincang dengan ayah ibu. Kali ini ibuku yang memulai pembicaraan, "Sekarang ayah ibu kalau kerja berangkat pagi sampai sore cuman dapatnya yaa mentok (maksima) 60 ribu!" "Iya geh ndis (panggilan sayang anak perempuan) sepi kerja nya aya ibu. Tapi alhamdulillah dulu penghasilan bisa sampai 300 setiap hari dan bisa nabung. Jadi tabungan itu cukup untuk kebutuhan kita semua ndis sampai nanti akhir taun." Terang ayahku. "Berdoa ya ndis kalau biar yang ayah ibu peroleh bisa banyak" pinta ibuku padaku.

            "Ya ayah ibu sabar kalau lagi sepi begini. Ini lho ayah ibu harusnya lebih punya variasa sekarang. Sudah jangan ngos-ngosan (berlelah) minta-minta keliling di jalan-jalan atau dari rumah ke rumah, tokoh ke toko, pasar ke pasar! Sudah bikin revolusi ibu ayah! Saat ini zaman sudah maju, manusianya makin pinter. Ya ayah ibu kalau ngemis juga harus lebih pinter lagi, di upgrade dong ayah ibu ma biar bisa ngikutin arus" Nasehat ku kepada keduanya. "Hah revolusi gimana ya ndis?" tanya ayah dengan penasaran. "Online yah! online ayah ibu! lagi viral temen-temen pengemis yang sama kayak ibu, ngemisnya lewat android." Jawabanku dengan menggebu-nggebu.

Diskusi kunjungan itu pun sangat seru, dan akhirnya ayah ibu pun pamit kembali pulang dengan ide-ide baru yang kami perbincangkan.

Sebenarnya ayah dan ibu adalah orang desa yang sudah bertumbuh kembang di kota dengan pekerjaannya mengemis. Tapi keduanya masih asing dengan hp, smartphone, android apalagi apple. Bagi mereka semua itu tidak perlu, yang penting keduanya bisa tetap bekerja untuk menghidupi sanak saudara. 

Selama mengemis ayah ibu berhasil membeli rumah, mobil, sampai tanah tak terhitung jumlahnya di desa tempat ibu dilahirkan. Ya sudah tentu juga peternakan sapi yang dirawat oleh kakek nenek sebagai sumber penghidupan mereka disana.

Meski kalian bertanya, apakah nenek kakek tidak mengetahui kalau anak kandung dan menantunya disini mengemis?. Jawabannya adalah tidak. Bagaimanapun masyarakat desa masih menjujung nilai-nilai moral atau unggah-ungguh kalau meminta-minta tidak lah dibenarkan selama masih mempunyai keadaan jasad yang sehat bugar.

Kemudian mengapa ayah dan ibu tidak membelikan ku motor? Kan keduanya menyimpan banyak uang?. Maka dengan tegas, sehina apapun ayah ibu ku di mata orang. Mereka mendidik ku untuk menjadi anak mandiri, yang tidak manja bergantung dengan kekayaan orang tua.

Singkat cerita aku si sulung dari pengemis profesional yang tetap menetap di lapas 5 tahun lamanya. Ayah ibu ku masih dengan ide-ide kreatifnya mengemis tidak sebatas offline, tapi juga mulai belajar dan melancarkan aksi meminta-minta online. Keluarga kami pun terpenuhi dari finansial tapi tidak secara moral, kami masih merasa manusia tidak memanusiakan kami sebab kami adalah peminta sejati.

5 tahun berlalu. Aku tumbuh semakin dewasa dengan pikiran-pikiran dahuku kala yang kini perlahan berubah. Tapi tetap aku tak akan menyalahkan ayah ibu. Justru aku layak berterimakasih kini aku belajar banyak pelajaran kehidupan. Tentang presepsi setiap orang berbeda tergantung dimana kaki berpijak, dan di bola mata yang mana mereka bisa bercermin.

Sekarang juga aku memahami, jika kita tidak boleh sembarang menghina oranglain karena bisa jadi mereka tidak sadar kala sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Maka layaknya memanusiakan manusia adalah bentuk kelapangan dan kebaikan hati, karena kita tau apa yang akan kita terima kalau keadaan kita sama dengan mereka.

Hanya rangkaian kalimat yang tidak nyata dan semoga bisa diambil hikmahnya.

Sukoharjo, malam senin /15 Januari 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun