Siang itu suasana begitu tenang, sama dengan hari-hari sebelumnya. Hanya saja ada satu hal yang membuat hari ini menjadi sebuah moment yang takkan terlupakan dalam sejarah hidupku.
Namaku haura. Aku adalah salah satu santriwati di pondok pesantren di jawa tengah. Siang itu saat matahari masih mengambang tenang di atas kepala. Saat aku masih disibukkan dengan aktivitas harianku, aku dikejutkan dengan sebuah i'lan yang memecahkan konsentrasi.
"Nidaan ila ukhtina Haura, alaiha bil hudhur ila hujrotil ustadzah 'ajilan."
Ya, panggilan itu tertuju padaku. Bergegas aku tinggalkan kesibukanku untuk memenuhi panggilan itu. Belum sampai di kamar ustadzah, ada seseorang yg memanggilku, "Haura..kemari!" serunya. Aku mempercepat langkahku untuk menghampirinya. Beliau langsung bicara padaku bahwa beliau mendapat amanah dari abi untuk mengantarkanku pulang. Tanpa kutanyakan alasannya, aku langsung bersiap untuk pulang. Meski rasa penasaran terus menghantuiku.
Singkat cerita,ternyata abi sudah menungguku di depan rumah. Segera kuhampiri abi, lalu kucium tangannya dengan takzim.
"Abi, kenapa abi ingin Haura pulang?"tanyaku.
"Umi mau bicara sama Haura." Jawab abi datar, dengan senyum tipisnya. Seperti dari raut wajahnya menyimpan sesuatu yang sangat berat. Ya Allah, apa yang terjadi? Ada apa dengan abi? Apa yang ingin umi bicarakan padaku? Batinku terus bertanya dan berharap ini semua akan baik-baik saja.
Aku melangkahkan kaki menuju kamar umi. Betapa terkejutnya aku, melihat umi tersungkur lemas dengan tangisan yang semakin menderas. Ya Allah, siapakah yang tega melihat malaikat pelindungnya menangis? Hatiku sungguh pedih melihat air mata umi yang terus mengalir.
Aku merengkuhnya, kutanyakan apa yang membuatnya menangis. Namun tak sepatah katapun yang terucap dari bibirnya. Hanya ada isak tangis yang membuatnya kelu untuk mengungkapkan sesuatu. Dengan sabar aku menunggu jawaban itu. Hingga terucap darinya sebuah nama yang membuatku semakin tenggelam dalam tanya, kak Zhie.
Kak Zhi adalah kakak laki-lakiku yang berada jauh di negeri sebrang. Kutanyakan pada umi, apa yang terjadi dengan kak Zhie? Namun lagi-lagi hanya isak tangis yang kuterima. Tak lama abi datang, mengelus lembut kepalaku dan menjelaskan semuanya.
"Sabar ya nduk, kak Zie telah mendapatkan kemuliaan tertinggi di sisi Allah.." jelas abi lembut.
Subhanallah, Maha Besar Allah atas takdir yang Dia tetapkan untukku dan keluargaku. Seketika tangisku pecah, deras tiada henti. Kutanyakan pada abi, apa yang terjadi di mesir, sehingga menyebabkanku harus kehilangan sosok kakak yang begitu ku sayang dan ku rindu. Tetapi jawaban abi sungguh membuatku terkejut, ternyata mesir hanya menjadi alibinya saja.
Aku sempat marah. Mengapa abi tidak mengatakan padaku dari dulu? Mengapa abi tidak pernah cerita tentang itu? Mengapa kak Zhie pergi dengan kebohongan? Mengapa harus jadikan mesir sebagai alibi? Mengapa? Apa salah jika abi memberitahuku? Apa abi tidak tahu jika aku sangat merindukan kak Zhie?. Hingga pada suatu hari pertanyaan itu terjawab sudah.
Sebelum kak Zhie pergi, ia berpesan pada abi dan umi, untuk tidak memberitahukan hal yang sebenarnya padaku. Ia tak ingin aku mencemaskan keadaannya. Ia tak ingin kepergiannya menjadi beban pikiran buatku.
Saat itu pikiranku kalut terbawa derasnya air mata yang mengalir. Betapa saat itu aku hanya akan menyalahkan keadaan. Tapi apalah daya dan upaya, Ketika takdir telah ditetapkan oleh-Nya, Rabb pencipta alam. Tiada satu makhluk pun yang dapat melawan, karna kita hanya dituntut untuk bertahan dan bersabar dari setiap cobaan yang datang, untuk mengukur kualitas keimanan kita sebagi seorang hamba.
Aku tahu, ditinggalkan oleh seseorang yang ku sayang memang sangatlah berat. Tapi apalah daya? Karena kita semua hanyalah titipan, yang suatu saat nanti pasti akan diambil Kembali oleh pemiliknya.
Teruntuk kakakku Zhie, berbahagialah engkau di sana dengan kenikmatan yang telah Allah janjikan padamu. Kak, karenamu aku terinspirasi oleh sosok 'khonsa'. Kau tahu kenapa? Karna aku tidak sepertimu yang mampu memperjuangkan jiwa dan ragaku untuk Allah.
Tapi aku berharap dapat menegakkan Din ini lewat generasi-generasi setelahku. Ya, aku ingin, selain menjadi adik dari seorang martyr juga menjadi ibu dari mujahid-mujahid yang tangguh. Aku pun ingin mendapat kemuliaan sepertimu. Bukan hanya di sisi manusia. Namun juga di sisi Allah.
Kak, aku tau kini kau dan aku berbeda. Namun di sini aku akan tetap yakin bahwa kau selalu ada, terbang layaknya burung di kehidupan abadi di bawah kedamaian. Hadirmu selalu kurasa, dan rinduku selalu ada. Peluklah aku dalam syafaatmu, dekaplah aku dalam damaimu. Aku di sini akan selalu menyimpanmu dalam setiap do'aku.
Salam rindu untukmu, kak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H