Ini sekolah kami...
Tanpa seperangkat dinding kokoh,
yang dilapisi cat berwarna.
Tanpa ruang nyaman ber-AC,
berikut merk-merk ternama.
Tanpa birokrasi UKT, SPP, pun aneka unjuk harga.
Tanpa disuapi ajaran dosen dan guru agama.
Tapi kami belajar di sini...
Simpang tiga jalan jadi kelasnya.
Tukang parkir,
peracik es cendol,
perakit gulung telor,
dan pedagang kaki lima,
Adalah dosen-dosen,
Adalah guru-guru agama paling sedia.
Isu politik,
isu ekonomi,
isu budaya,
isu agama,
Kujamin mereka tahu semua.
Termasuk isu buku-buku yang ditarik dari peredarannya.
Hingga kawanku menangis tersendu-sendu sambil bertanya;
"Mengapa kau penjarakan guruku?
Aku memanglah murid gratis... tis... tis... tis!
Tapi paling tidak, aku bukanlah turis... ris... ris!
Aku hanya menimba ilmu,
Seusai ngamen di tempat-tempat dinamis.
Aku sungguh bukan pengemis!
Tapi mengapa kau bungkam pula duniaku?
Belumkah cukup derita sekolahku?"
Meski gelar tak kami gapai,
Meski mimpi tak kami capai,
Tapi jika hanya duduk santai,
Bagaimana ilmu-ilmu hendak sampai?
Ini sekolah kami...
Bukan segerombol otak yang mudah dipropokasi.
Di sini kami sekolah...
Tak mencetak orang-orang penjilat bokong pemerintah.
Kami bahagia di sini...
Kendati luka,
Kerap menyayat hati.
***
Cirebon, 07 Agustus 2019
Fingga Almatin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H