Aku meninggalkan jejak-jejak sajak di jalanan
Desa ke kota dilingkupinya aksara dalam kerumunan.
Mungkin ramai,
Mungkin pula sepi.
Namun aku tidak peduli,
Kendatipun tidak abadi.
Di bawah ketiak kerbau yang dicucuk hidung,
Di atas cinta yang berdimensi politis,
Dan segala serapahnya yang mengungkung,
Aku bukanlah makhluk yang kau anggap romantis.
Meski tidak ada jarum,
Mungkin pena ini masih bisa menyulam.
Setidaknya harapan itu nyata.
Lekas mengantarmu memungut sajak-sajak yang berjatuhan.
Dan meski tidak ada istana yang megah,
Mungkin rumah gubuk itu lebar terbuka pintunya.
Setidaknya apabila hujan deras tiba,
Kau tidak akan kuyup basah kehujanan.
Dan apabila panas matahari kian terik,
Kau pun tidak akan penat kepanasan.
//
Tanpa berkacak pinggang di teras gubuk itu,
Sembari menanti jawaban teka-teki,
Aku masih menyimpan seperempat sajaknya.
Hingga tatkala nanti puan datang,
Sajak-sajak itu senantiasa rentan untuk sumbang.
Sebab geloranya kian bersemi,
Dan tajam kasihnya pun mencuat ke dalam nadi.
Andai saja kau tahu,
Aku tidak ingin kau berdansa bersama dua ekor keledai itu.
Menikmati jamuan aroma pesing dari jas hitamnya,
Atau mungkin karet kondom dalam dompetnya.
Coba saja kau lihat!
Sungguh,
Aku menuntunmu dengan sajak-sajak.
Tidak dari rayuan iblis yang mengerubung dalam jubah nabi Yusuf.
Sementara cahaya,
Kentara jaraknya.
***
Cirebon, 12 Juni 2019.
(Sajak kepada Caca)
FinggaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H