Mohon tunggu...
Fingga Martin
Fingga Martin Mohon Tunggu... Penulis - Penyair Jalan

CP: fingga.martin86@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Kepastian

27 Mei 2019   09:26 Diperbarui: 27 Mei 2019   09:32 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Manusia selalu mendambakan sebuah kepastian. Jika tidak, maka selamanya terkurung dalam hidup yang rancu dan penuh keraguan. Mungkin semesta turut berhenti untuk memaki setiap jiwa yang sadar akan ketergelinciran dirinya, usai dilema kesadaran palsu. Atau bisa saja membiarkan mereka larut dan terperosok masuk ke dalam jurang, tanpa sepenggal peringatan, serta pengampunan." Celoteh seorang pria tua beralis puti, sambil memutarkan biji-biji tasbih yang biasa ia gunakan selepas menunaikan ibadahnya. Sementara dibiarkan kitab suci Al-Qur'an tergeletak di atas papan penyangga, terkatup rapat.

Pria tua itu tampak seperti sudah sepuh.

"Tapi kek, bagaimana dengan Tuhan-ku..." celetuk seorang lelaki, "Allah?" Imbuhnya, yang terlihat seperti seorang pemuda berumur belasan Tahun.

 "Maka berpegang teguhlah pada setiap ajaran yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an. Segeralah meminta kepada-Nya akan kesiapan ruhani, sebelum menghadapi malam kepastian nanti."

"Malam kepastian? Apa itu artinya, kek?" Pemuda berambut gondrong itu kembali bertanya dengun penuh rasa keingintahuan, sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepala yang tak terasa gatal. Sedang pria tua itu lekas berdiri, sejurus menghadapkan wajahnya ke arah jalanan yang berlubang---dari balik jendela ber-teralis besi, ia menyaksikan pemandangan hilir mudik orang-orang melintas di depan rumahnya. Dihelanya nafas dalam-dalam, sebelum sesaat menjawab pertanyaan pemuda itu.

  "Siapa saja yang beribadah pada malam tersebut, maka ia akan mendapatkan nilai yang sama dengan ibadah seribu bulan... bagi yang mendapatkannya." Lirih kakek, "jika saja kamu mau menghitungnya, seribu bulan itu kurang lebih sama dengan delapan puluh Tahun umur manusia."

Bagi yang mendapatkannya?

Pemuda itu tercenung mendengar jawaban seorang pria tua, yang dipanggilnya kakek. Merasa belum puas akan jawaban yang terlontar darinya, lalu ia kembali bertanya. "Memangnya ada apa dengan malam kepastian itu, kek?"

"Sebuah peristiwa perang badar. Kali pertamanya terjadi dalam sejarah agama Islam, yang kemudian Al-Qur'an memberi nama lainnya sebagai perang pembeda, Al-Furqan. Antara kekuatan al-haqq, dengan kekuatan bathil. Dan pada kemudian hari, perang badar pun dinamakan sebagai hari bertemunya dua kekuatan, yaum altaqal jam'an. Sebagaimana Al-Qur'an melukiskannya dalam surat Ali Imran, ayat seratus lima puluh lima. Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemunya dua pasukan itu, hanya saja mereka yang digelincirkan setan..."

"Oh..." pemuda itu mengangguk, seolah memahami betul apa yang dibicarakan oleh kakeknya.

"Apakah aku bisa mendapatkan malam kepastian itu, kek?" Sejenak kakek itu pun terkikih.

"Kenapa kek? Serius nih... apa aku bisa mendapatkannya?" Sedikit geram karena ditertawai kakeknya, pemuda itu pun terus mengulang pertanyaannya.

"Bisa saja." Sahut kakek, menggiring pemuda itu untuk berpindah tempat---duduk ke depan teras rumah.

Di depan teras rumah, matahari mulai terlihat condong ke arah Barat. Kemilau cahaya keemasan membaur dengan awan-awan yang berarak, bertumpuk, tampak seperti membentuk lafadz Allah. Tentu bukanlah suatu hal yang sama sekali kebetulan.

Cakrawala itu senantiasa memotret gunung-gunung dan hamparan pesawahan. Tak luput juga gubuk-gubuk kecil di sebrang rumah pria tua itu, yang diapit oleh satu jalur sungai yang mengalir deras dari bendungan. Orang-orang setempat biasa menyambut tibanya adzan magrib berkumandang, dengan bermain-main di sana. Bahkan mungkin ketika bulan Ramadhan beranjak pergi, pun mereka masih tetap mengunjunginya.

Bagi sebagian maniak foto, bendungan itu satu-satunya tempat terdekat untuk dapat mereka singgahi sejenak, dalam rangka melepas penat. Pasalnya, tempat itu tidak harus menguras isi dompet atau pun rekening. Cukup membawa kamera dan berpakaian layak, bendungan itu senantiasa menjadi tempat yang keramat.

Hilir mudik orang-orang menyebrang bersahut-sahutan. Melintas di depan gubuk-gubuk kecil. Ada yang berjalan beriringan, juga tidak kalah ramainya para pengendara sepeda motor memainkan klakson. Yang jelas, masing-masing darinya menebarkan raut wajah kebahagiaan. Sambil menenteng kantong-kantong plastik berisi makanan dan minuman ringan.

Dua orang lelaki di depan teras rumah, di sebrang deretan gubuk-gubuk pesawahan, menyambut tiba kumandang adzan magrib dengan cara yang berbeda.

"Untuk mendapatkan malam kepastian itu, kamu harus memiliki kesiapan ruhani yang matang. Artinya harus memulai dengan niat yang bersungguh-sungguh. Dengan cara berkorban. Seperti pengorbanan para mujahid ketika perang badar." Kakek itu tersenyum, mengedarkan pandangannya pada orang-orang yang bersliweran di muka jalan.

"Lantas, kenapa kamu tidak pergi ke bendungan, seperti mereka?" Imbuh kakek, balik bertanya.

"A-aku biasanya pergi, kek." Sahut pemuda, gugup. "Mungkin untuk sekedar mendapatkan takjil gratis."

"Dulu, ketika kakek masih seusia kamu, kakek juga sering bermain ke bendungan sana. Tapi untuk sekadar tadabur alam. Bukan untuk takjil gratis, hehehe... tapi saat kemudian bulan Ramadhan tiba, kakek tak pernah lagi bermain ke sana. Kakek khawatir akan lebih banyak madhorotnya ketimbang maslahat."

"Oh begitu... " sahut pemuda, menahan malu.

Keduanya bergeming, dipandanginya matahari itu yang semakin surut perlahan.

Tidak lama kemudian, kakek itu kembali bertanya, "eh... tadi, sudah sampai di mana?" Seakan keindahan matahari itu membuat kakek lupa dengan apa yang sebelumnya tengah dibicarakan.

"Hhhh... soal kesiapan ruhani, kek." Celetuk pemuda itu, usai menerka-nerka.

"Oh iya... jadi, untuk memenuhi segala kesiapan ruhani, kamu harus tulus berkorban."

"Berkorban yang bagaimana, kek, maksudnya?"

"Berkorban itu berasal dari akar kata qurban. Qa-ra-ba. Yaitu berarti dekat. Maksudnya dengan berkorban, maka jiwa atau ruhani seorang hamba menjadi dekat dengan Tuhan. Adapun beberapa cara untuk mendekatkan jiwa kita dengan Tuhan, yaitu senantiasa menjalankan ibadah puasa secara benar. Kemudian memperbanyak qiyam-u 'l-layl dan berdzikir, perenungan, serta ihtisab."[1] Jelas kakek, seraya berdiri. Kemudian masuk ke dalam rumah, hendak membenahi sajian makanan dan minuman untuk membatalkan puasanya.

Pemuda itu celingukan, setelah ditinggalkan sendirian di teras rumah oleh kakeknya. Sesaat ia tersadar, arloji di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 17:19 waktu setempat.

"Kek... tunggu! Terus kalo ihtisab, itu artinya apa, kek?" Teriaknya, sekilas beringsut ke dalam rumah. Menyusul kakeknya.

Sementara dari arah Timur, terdengar beberapa suara kumandang adzan berlanggam variatif.

"Ihtisab itu artinya buka puasa dulu yang terutama," sahut kakek, "nih... minum." Ia menyodorkan segelas air tawar hangat ke pemuda tersebut.

Belum sempat pemuda itu mengetahui makna dari ihtisab, ternyata adzan magrib lebih awal mengingatkannya untuk menyegerakan waktu berbuka dan ibadah solat magrib.

'Mungkin aku bisa mencari makna ihtisab itu di google. Supaya esok hari kakek terkejut akan jawabanku tentang pernyataan terakhirnya.'Pemuda itu setengah membatin.

Matahari telah sempurna tenggelam. Hanya tersisa cahaya merah yang membentang di ufuk Barat. Nyaris gelap. Jalanan di sebrang rumah kakek itu pun mulai menghening. Tak ada suara bising knalpot. Tak ada suara hentak kaki para pejalan. Tak ada anak-anak kecil yang berkeliaran. Daerah yang layak untuk seorang hamba yang hendak melakukan ihtisab.

 

   

[1] Hal. 202/ vol. IV/ 30 Sajian Ruhani/ Renungan di Bulan Ramadhan/ Nurcholish Madjid  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun