"Dulu, ketika kakek masih seusia kamu, kakek juga sering bermain ke bendungan sana. Tapi untuk sekadar tadabur alam. Bukan untuk takjil gratis, hehehe... tapi saat kemudian bulan Ramadhan tiba, kakek tak pernah lagi bermain ke sana. Kakek khawatir akan lebih banyak madhorotnya ketimbang maslahat."
"Oh begitu... " sahut pemuda, menahan malu.
Keduanya bergeming, dipandanginya matahari itu yang semakin surut perlahan.
Tidak lama kemudian, kakek itu kembali bertanya, "eh... tadi, sudah sampai di mana?" Seakan keindahan matahari itu membuat kakek lupa dengan apa yang sebelumnya tengah dibicarakan.
"Hhhh... soal kesiapan ruhani, kek." Celetuk pemuda itu, usai menerka-nerka.
"Oh iya... jadi, untuk memenuhi segala kesiapan ruhani, kamu harus tulus berkorban."
"Berkorban yang bagaimana, kek, maksudnya?"
"Berkorban itu berasal dari akar kata qurban. Qa-ra-ba. Yaitu berarti dekat. Maksudnya dengan berkorban, maka jiwa atau ruhani seorang hamba menjadi dekat dengan Tuhan. Adapun beberapa cara untuk mendekatkan jiwa kita dengan Tuhan, yaitu senantiasa menjalankan ibadah puasa secara benar. Kemudian memperbanyak qiyam-u 'l-layl dan berdzikir, perenungan, serta ihtisab."[1] Jelas kakek, seraya berdiri. Kemudian masuk ke dalam rumah, hendak membenahi sajian makanan dan minuman untuk membatalkan puasanya.
Pemuda itu celingukan, setelah ditinggalkan sendirian di teras rumah oleh kakeknya. Sesaat ia tersadar, arloji di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 17:19 waktu setempat.
"Kek... tunggu! Terus kalo ihtisab, itu artinya apa, kek?" Teriaknya, sekilas beringsut ke dalam rumah. Menyusul kakeknya.
Sementara dari arah Timur, terdengar beberapa suara kumandang adzan berlanggam variatif.