[caption caption="Ilustrasi | Foto: health.kompas.com"][/caption]Saya pernah membaca Celestine Prophecy karya James Redfield yang salah satu buah pikirnya mengungkapkan bahwa kebetulan-kebetulan yang kita alami sepanjang hidup bukanlah sebuah kebetulan; melainkan telah terencana dan akan berimbas pada momen-momen berikutnya dalam hidup kita. Saya pribadi tidak meragukan pendapat tersebut. Namun tidak terlalu serius pula memikirkannya; hingga beberapa tempo kemaren saya dipaksa untuk menyikapinya.
Saat itu saya tengah mengantarkan istri ke sebuah RSIA untuk menjalani persalinan. Kejadian pertama diawali di meja resepsionis saat saya harus mengurus tetek-bengek administrasi perawatan pasca persalinan. Ketika saya tengah mengisi formulir-formulir yang diperlukan, saya mendengar percakapan seorang petugas RS dengan seorang bapak muda terkait pendaftaran persalinan istrinya:
"Bapak PNS?" tanya resepsionis.
"Iya."
"Bapak di formulir ini memilih untuk tidak menggunakan BPJS."
"Betul, Mas."
"Mengapa, Pak? Sayang lho.."
"Ga papa, Mas."
Saya tidak terlalu memperhatikan kejadian tersebut hingga keesokan harinya ketika saya hendak membayar biaya persalinan di kasir, dalam antrean di depan saya telah berdiri bapak-bapak muda yang sama, yang kemaren sempat bersua di meja resepsionis. Dan di loket kasir ini kembali saya manjadi saksi percakapan antara bapak muda itu dengan sang kasir:
"Persalinan normal tanpa BPJS, ya, Pak?" tanya Kasir.
"Iya, Bu.."
"Empat juta lima ratus, Pak."
...
"Bapak PNS?"
"Betul, Bu."
"Kok, ga pake BPJS, Pak? Sayang, lho.."
"Ga papa, Bu."
Saat itu saya kembali hanya berlaku sebagai pendengar, dan segera berlalu setelah urusan saya selesai. Namun ketika sambil menunggu waktu check-out, saya mampir ke lobby dan mendapati bapak muda yang sama berada di situ juga, sementara satu-satunya tempat duduk yang memungkinkan untuk saya singgahi adalah kursi di sebelahnya, ingatan tentang ide James Redfield dalam Celestine Prophecy sempat mengusik saya. Dus, ketika saya kemudian menetapkan niat untuk duduk di sebelahnya dan di latar belakang mendengar obrolan tentang BPJS-Kesehatan dari segerumbulan orang di ujung lobby, dengan sedikit gundah saya berpikir bahwa 3 kejadian dalam kurun 24 jam ini, dengan orang yang sama, tentang obrolan yang serupa, tidakkah ini penanda adanya sesuatu yang harus dituntaskan?
Pada akhirnya, ketika ada dua orang yang benar-benar asing harus ngobrol, pun saya bukanlah pembasa-basi ulung, maka apalah yang harus saya lakukan untuk membuka percakapan--dalam waktu yang terbatas, kecuali dengan cara berterus-terang dan apa adanya. Dan didukung fakta bahwa penampilan bapak muda tersebut jauh dari kesan mengintimidasi, bahkan terlihat sederhana, membuat saya lebih mampu menekan gengsi saya untuk 'negur duluan'.
"Permisi, Pak.. maaf sebelumnya saya ingin bertanya tentang sesuatu." Dan demi mendapatkan sambutan yang menentramkan dari lawan bicara, maka lancarlah aliran cerita saya tentang keterikatan tiga peristiwa dengan manusia dan bahan obrolan yang sama. "Jadi sekiranya Bapak tidak keberatan, boleh saya tahu menggapa Bapak memutuskan tidak menggunakan BPJS njenengan?"
Sambil tersenyum, bapak muda itu mengatakan bahwa dia kasihan kepada pemerintah, khususnya BPJS-Kesehatan. Dalam penjelasannya, banyak berita di media yang mengabarkan bahwa selama usianya yang belum genap 1 tahun saja BPJS telah membukukan puluhan milyar kerugian operasional. Sehingga akhirnya dia memutuskan untuk menahan dirinya sendiri dari menambahi beban pemerintah yang telah banyak berhutang demi memenuhi tuntutan kesejahteraan rakyatnya, termasuk demi membayari upah bulanan yang diterimanya selaku PNS.
Merasa kurang 'sreg' dengan jawaban yang terkesan terlalu generik tersebut, saya pun dengan lancang nyerocos, "Kalo menurut perkiraan saya bisa jadi kerugian terjadi itu hanya karena BPJS masih baru saja beroperasi. Mestinya, nanti ketika BPJS telah lebih mengenali tantangan dan peluang sehingga makin berpengalaman menghadapi segala perubahan yang terjadi maka keseimbangan baru pun akan didapat sehingga kerugian pun tidak akan terjadi lagi."
"Lagipula, banyak banget PNS yang memanfaatkan BPJS ini. Gaji kita tiap bulannya kan juga sudah otomatis dipotong preminya to, Pak? Mulai kita menerima gaji awal kita dulu, hingga saat nanti kita sudah pensiun pun masih akan tetap dipotong premi BPJS. Jadi saya kira wajar saja jika kita memanfaatkan fasilitas BPJS yang memang diperuntukkan bagi kita."
Bapak muda itu hanya tersenyum tipis saja mendengar argumen yang saya utarakan. Kelihatannya alasan yang saya kemukakan itu sudah bukan barang baru lagi baginya. Beberapa saat lamanya dia tidak menanggapi argumen saya. Mungkin dia tengah menimbang-nimbang 'kepantasan' saya; akankah saya akan mampu memahami alasan asli yang telah berusaha ditutupinya, ataukah saya malah hanya bakal menjadi pencemoohnya. Tebakan saya, alasan yang sebenarnya pastilah bersifat subyektif sekali sehingga dia merasa orang lain akan kesulitan menanggungnya.
Ketika bapak muda itu akhirnya memutuskan saya bukan orang yang beresiko tinggi, maka dia mulai menguraikan bahwa sesungguhnya dia bukannya tidak mau menggunakan BPJS-Kesehatannya; setidaknya belum. Dia masih menunggu. Kalaupun sekarang dia menundanya, itu karena dia bersyukur masih diberi kemampuan untuk melunasi biaya persalinan yang harus dia bayar. Dan seperti yang telah saya duga sebelumnya, sambil memohon maaf dia mengatakan bahwa dalam keyakinannya sebagai seorang muslim, dia percaya bahwa kita semua akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh bagian dunia yang kita ambil. Maka berpijak dari keyakinan tersebut, dia berpendapat bahwa jika dengan kurang dari separo penghasilannya sebagai PNS saja dia masih mampu membayar biaya persalinan itu, mengapa kini dia harus meminta lebih? Dengan suara sedikit tergetar dia menyitir ayat Quran dari surat Ar-Rahman yang artinya: "Maka nikmat mana lagi dari Tuhanmu yang engkau dustakan?". Maka begitulah, dengan dua landasan pertimbangan tersebut maka dia memutuskan untuk tidak mengambil bagian lebih dari dunia yang ditawarkan kepadanya saat itu.
Sambil tersenyum (getir?) dia pun menambahkan bahwa bukan berarti kemudian dia tidak akan menggunakan BPJS-Kesehatannya. Dia hanya memutuskan untuk menunda memanfaatkannya selama dia masih bisa memenuhi kebutuhan kesehatannya dari jatah rejekinya. Lalu dia menyitir pemberitaan media tentang persaksian beberapa selebritis tenar yang merasa sangat terbantu dengan keberadaan BPJS-Kesehatan saat mereka harus melakukan terapi/perawatan untuk mengobati sakitnya. Dari situ dia berfikir, jika sosok selebritis, yang notabene akrab dengan kelimpahan dunia beserta kemilaunya, ternyata masih bisa mengalami ujian sakit sehingga memaksanya untuk memanfaatkan layanan BPJS-Kesehatan, bagaimana pula dengan dirinya, yang hanya seorang PNS biasa, akan dengan pongahnya mengatakan tidak butuh BPJS? Sambil beristighfar dan memuji asma Alloh, dia hanya bisa berdoa agar dihindarkan dari keadaan yang memaksanya untuk membutuhkan layanan BPJS-Kesehatan.
"Tapi, Pak, kita kan tidak bisa mengontrol apa yang akan terjadi pada kita kelak?" kilah saya, yang langsung menyesali kelancangan ini demi melihat senyum kikuknya. Saya tahu jawaban atas kilahan ini pun sebenarnya tidak ingin diungkapkannya. Namun untunglah, mungkin dengan pertimbangan bahwa dia telanjur menjelaskan sepanjang dan selebar ini maka nanggung jika tidak dituntaskan sekalian, maka dia meneruskan penjelasannya.
Dan ikhtiar yang bisa dilakukannya saat ini atas doanya itu adalah dia berusaha untuk meningkatkan porsi sedekahnya. Sepanjang pengetahuannya sebagai seorang muslim, penjagaan yang utama adalah penjagaan Alloh dan bahwa sedekah itu akan mampu meringankan atau bahkan menolak musibah. Maka melalui sedekah sebagai preminya, dia berharap agar dirinya digolongkan sebagai peserta dalam program asuransi elit yang penjamin tertingginya adalah Tuhan seru sekalian alam langsung.
Maka begitulah, mungkin James Redfield ada benarnya juga. Kebetulan yang terjadi antara dia dengan saya hari itu, ternyata bukan sebuah kebetulan belaka: saya telah mendapatkan sesuatu darinya. Sejak hari itu dia telah menjadi sebuah inspirasi, seorang guru bagi saya. Maka demi membebaskan diri dari beban moral akibat membiarkan sebuah ilmu pudar, tersia-sia di tangan saya, semoga di kompasiana ini inspirasi itu dapat terkristalisasi dan memberi bermanfaat bagi kita semua.
NB: Saya belum sempat berkenalan maupun mengorek informasi lebih lanjut tentang bapak muda itu karena tak lama kemudian ada telepon dari keluarga yang memberitahu bahwa saya sudah ditunggu untuk angkut-angkut barang karena proses check-out telah beres. Dan sejak saat itu saya belum pernah berjumpa dengan inspirator tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H