Tegang dan mengerikan. Kriminalitas dan tindak kekerasan yang sering terjadi di masyarakat, seperti pembunuhan, adalah salah satu masalah sosial yang sering terjadi. Setiap orang, termasuk mereka yang menderita gangguan mental, dapat melakukan kriminalitas dan pembunuhan.
Menurut pandangan ilmiah psikologi, pembunuhan berulang atau serial killing bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti masalah psikologis, trauma masa lalu, kegagalan dalam hubungan sosial, dan kurangnya pengendalian diri. Para ahli psikologi juga menyebutkan bahwa banyak pelaku pembunuhan serial mengalami gangguan mental seperti skizofrenia, psikopati, dan kelainan kepribadian.
Salah satu kasus pembunuhan berulang di Indonesia adalah kasus pembunuhan berantai oleh Ahmad Suradji, yang terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara pada tahun 1986 hingga 1997. Suradji dikenal sebagai pembunuh berantai yang telah membunuh sebanyak 42 orang. Para korban tersebut dibunuh dengan cara di cekik menggunakan kabel, kemudian dikuburkan di sekitar perkebunan tebu dengan kepala korban menghadap ke rumahnya, hal tersebut diyakini sebagai ritual untuk mendapatkan kesaktian tambahan. Menurut laporan polisi, motif pembunuhan Suradji adalah untuk memperoleh kekuatan supranatural. Suradji diyakini telah mengonsumsi jantung korban untuk memperoleh kekuatan tersebut.
Kasus lainnya adalah kasus pembunuhan berulang oleh Very Idham Henansyah atau biasa dikenal sebagai “Ryan Jombang”. Sebanyak 10 korban teridentifikasi dan 1 korban belum teridentifikasi ditemukan setelah dilakukan penggalian pada 21 Juli 2008. Empat korban ditemukan pada penggalian pertama dan enam korban lainnya ditemukan seminggu kemudian.
Motif dari pembunuhan yang dilakukannya adalah karena cinta dan ekonomi. Dalam kasus pembunuhan terakhirnya, Ryan diduga membunuh korban karena kecemburuan cinta sesama jenis. Sedangkan, dalam kasus pembunuhan sebelumnya, ditemukan sejumlah barang berharga milik korban. Hal ini diyakini Ryan lakukan untuk menopang gaya hidupnya yang cukup hedonis, padahal ia sering menganggur dan tidak memiliki pekerjaan. Dalam kasus ini, Ryan diduga mengalami gejala psikopat klasik, antisosial, serta obsesif komplusif. Ia juga diketahui sebagai pribadi yang manipulatif, egosentris dan sulit ditebak.
Dalam salah satu pengakuan Ryan, ia melakukan tindak pembunuhan di dorong oleh rasa dendam serta trauma mendapatkan kekrasan dari ibunya. Ryan menyampaikan bahwa kebencian terhadap ibunya kemudian disalurkan dalam berbagai aksi pembunuhan.
Dalam kasus-kasus tersebut, para pelaku telah melakukan pembunuhan berulang dan terbukti memiliki masalah psikologis yang cukup serius. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua orang yang memiliki masalah psikologis akan menjadi pelaku kekerasan atau pembunuh serial.
Salah satu teori psikologis yang sering digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan adalah teori psikoanalitik. Teori ini mengemukakan bahwa perilaku kejahatan dipengaruhi oleh konflik internal yang tidak terselesaikan, terutama yang berhubungan dengan hubungan anak dan orang tua. Pelaku kejahatan seringkali mengalami trauma psikologis yang belum terselesaikan dan berusaha untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan cara yang salah. Individu yang mengalami gangguan mental seperti gangguan kepribadian antisosial atau narsistik cenderung berisiko tinggi untuk kembali terlibat dalam kegiatan kriminal. Gangguan ini mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengendalikan perilaku impulsif, empati, dan menyesuaikan diri dengan norma sosial.
Pendekatan psikologis lain yang dapat digunakan untuk memahami perilaku kejahatan adalah pendekatan biologis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara genetika dan perilaku kejahatan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki mutasi pada gen MAOA memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk melakukan tindakan kejahatan.
Namun, faktor psikologis bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi perilaku kejahatan. Faktor sosial juga dapat memainkan peran penting. Salah satu contoh faktor sosial yang seringkali menjadi penyebab perilaku kejahatan adalah ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Orang yang tinggal di daerah yang miskin dan tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk melakukan tindakan kejahatan.
Terdapat juga beberapa faktor lain yang dapat memengaruhi seseorang menjadi pelaku kekerasan, seperti kurangnya pengendalian emosi, pengaruh lingkungan yang buruk, dan pola asuh yang kurang tepat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dengan mengembangkan kebijakan yang efektif, meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang kekerasan, serta memberikan dukungan dan perawatan bagi mereka yang memiliki masalah psikologis.
Dalam hal ini, pemerintah dapat berperan penting dalam memberikan dukungan dan fasilitas untuk mengatasi masalah psikologis dan kekerasan, seperti menyediakan layanan konseling dan terapi, meningkatkan kualitas pendidikan, serta memberikan pelatihan dan bantuan bagi mereka yang memiliki masalah psikologis atau mengalami trauma masa lalu.
Pendapat Para Ahli tentang Kriminalitas dan Murder
Banyak ahli telah mengkaji kriminalitas dan murder dari sudut pandang psikologi dan sosiologi. Menurut Dr. Adrian Raine, seorang profesor psikologi di University of Pennsylvania, beberapa orang cenderung lebih cenderung untuk melakukan tindakan kriminal karena faktor biologis dan genetik.
Dalam bukunya yang berjudul "The Anatomy of Violence: The Biological Roots of Crime", Dr. Raine mengatakan bahwa individu yang memiliki aktivitas di daerah otak yang berhubungan dengan emosi dan impuls yang lebih rendah, cenderung lebih rentan terhadap perilaku kriminal. Ia juga mengungkapkan bahwa faktor genetik dapat memainkan peran dalam mempengaruhi perilaku criminal.
Dr. Sinta, seorang psikolog terkenal di Indonesia, menyatakan, "Residivis sering kali memiliki pola pikir yang distorsi dan emosi yang tidak stabil. Mereka mungkin merasa tidak memiliki harapan untuk perubahan, dan kejahatan menjadi satu-satunya cara mereka meraih kepuasan atau memenuhi kebutuhan mereka. Penting untuk menggali dan menangani akar masalah psikologis yang mendasari perilaku kriminal mereka."
Profesor Hadi, seorang ahli kriminologi di Universitas Indonesia, menjelaskan, "Ketika residivis dibebaskan dari penjara, penting untuk memberikan dukungan dan fasilitas yang tepat untuk membantu mereka menyesuaikan diri kembali ke masyarakat. Rehabilitasi yang efektif melibatkan pendekatan holistik yang mencakup bimbingan psikologis, pelatihan keterampilan, dan peluang pekerjaan."
Menurut penelitian, banyak pelaku kriminalitas yang menderita masalah kesehatan mental, seperti gangguan bipolar, depresi, skizofrenia, dan gangguan kepribadian. Masalah kesehatan mental yang tidak terdiagnosis dan tidak ditangani dengan benar dapat meningkatkan risiko tindakan kriminal.
Faktor lingkungan juga dapat memengaruhi perilaku kriminal. Lingkungan yang buruk, seperti lingkungan yang penuh dengan kekerasan, kemiskinan, dan gangguan sosial dapat meningkatkan risiko perilaku kriminal. Selain itu, pengaruh keluarga dan teman juga dapat memengaruhi perilaku kriminal. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang mendorong perilaku kriminal, mereka cenderung lebih mudah terpengaruh dan mengikuti perilaku tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H