Di sebuah kedai kopi yang terletak di sudut kota, aroma biji kopi yang baru digiling menyebar ke seluruh ruangan, menggugah indera penciuman. Setiap kali pintu kedai itu terbuka, udara segar yang penuh dengan bau harum kopi dan kue-kue khas membuat orang yang lewat tak bisa menahan diri untuk masuk. ada seorang lelaki muda bernama Ardi, yang biasa datang ke kedai itu setiap pagi.
Ardi duduk di sudut meja, memandang pemandangan luar yang mulai sibuk dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Di hadapannya, secangkir kopi hitam pekat diletakkan, asap tipis yang mengepul menari-nari di udara. pagi ini. Ardi merasakan ketenangan dalam dirinya, Entah karena rasa kopi yang luar biasa enak atau mungkin karena sudah lama ia tidak merasakan kedamaian dalam hidupnya.
Ia teringat kembali perkataan seorang teman lama yang pernah mengajaknya untuk mengunjungi kedai kopi ini. Temannya mengatakan bahwa kopi di sini bukan hanya sekadar minuman, tetapi juga memiliki sebuah kisah. Katanya, ada sebuah hadist yang berbunyi, “Selama aroma biji kopi ini tercium di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat beristighfar untukmu.” Teman itu menambahkan bahwa kata-kata itu sudah menjadi semacam keyakinan yang diterima dengan lapang dada oleh orang-orang yang datang ke kedai kopi ini.
Ardi tak tahu mengapa, namun perkataan itu menancap dalam hatinya. Ia bukan orang yang religius, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ingin lebih memahami kalimat itu. Ia tak pernah benar-benar memikirkan keabsahan hadist tersebut. Namun, aroma kopi yang tercium pagi itu seolah memberi kedamaian tersendiri baginya, seakan malaikat-malaikat yang ia tak pernah lihat itu sedang beristighfar untuknya.
Kedai kopi itu bukan hanya tempat untuk menikmati kopi, tetapi juga tempat di mana orang-orang berbagi cerita dan merenung. Setiap sudutnya dipenuhi dengan rasa damai yang mungkin tak bisa ditemukan di tempat lain. Ardi tahu, tempat ini memiliki daya tarik yang tak terjelaskan, lebih dari sekadar secangkir kopi yang disajikan dengan sempurna. Sesuatu yang lebih dalam, yang melibatkan hati dan jiwa.
Beberapa minggu berlalu, Ardi terus datang ke kedai kopi ini. Setiap pagi, ia selalu duduk di meja yang sama, memesan kopi hitam yang sama, dan menikmati setiap teguknya dengan khidmat. Tak jarang, ia juga mendengar percakapan ringan dari orang-orang di sekitarnya tentang kehidupan, tentang harapan, dan juga tentang penyesalan. Terkadang mereka bicara tentang hadist-hadist, tentang bagaimana setiap tindakan kecil bisa mendapat pahala, atau bagaimana doa-doa yang tidak terucap di dalam hati pun didengar oleh Tuhan.
Namun, ada satu hal yang selalu menggelitik pikirannya—benarkah malaikat beristighfar untuknya setiap kali ia menghirup aroma kopi ini? Benarkah setiap biji kopi yang digiling itu menjadi sebuah doa yang tak tampak, yang membantu dia dalam perjalanan hidupnya yang penuh dengan keraguan? Ardi tak pernah tahu jawabannya. Yang ia tahu adalah bahwa kopi itu memberi ketenangan, dan ketenangan itulah yang menjadi bagian dari hidupnya.
Suatu pagi, saat Ardi sedang duduk seperti biasa, seorang pria tua datang dan duduk di meja sebelahnya. Wajahnya penuh dengan kerutan, namun mata yang tajam seolah menyimpan sejuta cerita. Tanpa sengaja, mereka mulai berbicara. Pria tua itu menceritakan kisah hidupnya, tentang perjalanan panjangnya yang penuh liku. Ardi mendengarkan dengan seksama, merasa tersentuh oleh cerita hidupnya.
"Apa kamu percaya dengan hadist itu?" tanya pria tua itu, tiba-tiba.
Ardi terkejut. Ia tak pernah mengungkapkan keraguannya tentang hadist tersebut kepada siapapun, namun entah mengapa pria tua ini seolah bisa membaca pikirannya.
"Saya tidak tahu. Tapi setiap kali saya datang ke sini, saya merasa ada yang berbeda. Ada rasa damai yang sulit dijelaskan. Mungkin itu yang disebut malaikat beristighfar untuk kita," jawab Ardi, dengan suara yang sedikit ragu.