Terlebih diskusi mandiri yang biasa dijalankan hanya meminta bukti foto dan notulensi daftar penanya, tentunya mahasiswa sudah cukup puas dengan berjalannya diskusi yang tersebut demikian. Nahh dari sini kita bias tahu bahwasanya saat ini memang budaya akademik mahasiswa berupa membaca, diskusi dan menulis telah mengalami erosi yang seakan-akan memunculkan budaya baru. Budaya di mana hobi membaca dianggap kolot.
Laluapakah Hal Tersebut Murni Kesalahan Mahasiswa?
Menilik kurikulum Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim dengan banyak episodenya, Â sekarang tak asing dengan istilah Guru Penggerak. Mereka adalah orang-orang yang dipersiapkan untuk memimpin proses belajar-mengajar dan membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa secara aktif dan proaktif. Mereka terdiri dari Kepala Sekolah, Guru / Pendidik dan Pengawas Sekolah yang dilatih melalui diklat --diklat dengan bimbingan Pelatih Ahli Sekolah Penggerak.Â
Dalam hal ini mentri Pendidikan Indonesia Nadiem Makarim mengajak para akademisi, praktisi Pendidikan, widyaiswara dan pengawas sekolah di 111 kabupaten / kota untuk turut berpartisipasi dalam transformasi Pendidikan di Indonesia ini dengan menjadi Pelatih Ahli Sekolah Penggerak. Tentu saja untuk bergabung menjadi PASP tidak mudah dan terdapat recruitment besar-besaran dengan pendaftar ribuan ahli Pendidikan, tak terkecuali dosen-dosen perguruan tinggi. Banyak dosen yang bergabung ke dalam Pelatih Ahli Sekolah Penggerak dan mendampingi diklat-diklat calon guru penggerak.Â
Diibaratkan seperti wajarnya manusia yang hanya memiliki dua tangan, terpaksa jam-jam kelas harus ditinggalkan untuk menjalankan tugas tersebut. Mahasiswa terus diberikan tugas dan diarahkan untuk diskusi mandiri. Beberapa dosen ada yang meminta notulensi hasil diskusi dan ada beberapa yang hanya meminta presensi daftar hadir diskusi dibuktikan dengan foto saat berdiskusi. Keadaan yang demikian tidak terjadi hanya satu dua minggu saja, bahkan hamper satu semester pembelajaran, mengingat program dari guru penggerak juga tidak sebentar.Â
Nahh dari beberapa pernyataan yang sudah saya paparkan, Â kiranya cukup menjawab atas pertanyaan yang menjadi judul sub bab ini. Â Walaupun perlu digarisbawahi bahwa keadaan apapun tak mutlak menjadi alasan munculnya suatu permasalahan, tetapi perlu dipahami lagi bahwasanya mahasiswa masih butuh fasilitator yang menggerakkan arah belajar mereka.Â
Mahasiswa butuh seseorang yang berperan meluruskan ketika salah, menunjukkan jalan ketika hilang arah dan megobarkan semangat meraih keadilan. Wallahua'lam bis showab...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H