Mohon tunggu...
Fina alif Laila
Fina alif Laila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Santriwati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskusi Mandiri Hanya Bermodal Foto; Budaya Baru atau Erosi Budaya Lama?

6 Juli 2023   15:10 Diperbarui: 6 Juli 2023   15:32 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Teman-temanhariinimatakuliahdiisidengandiskusimandiriya..". Begitu pesan dari dosen yang berhalangan hadir pada jam mata kuliah. Pernyataan dari pertanyaan daring atau luring tersebutmenjadianginsegar yang menambahjiwa-jiwa malas beranjak dan keluardari zona nyaman mahasiswa semakin terpupuk. Bagaimana tidak, diskusi mandiri yang hanya dijalankan sebagai formalitas pemenuhan tugas presentasi tak membuahkan hasil bagi tambahnya wawasan mahasiswa. Budaya demikian kini kian terpupuk ditambah kurang tegasnya fasilitator yang hanya meminta bukti foto sebagai syarat ketuntasan diskusi. Aighh... mahasiswa yang cerdas tentunya memilih foto berkali-kali dan dikirim setiap kali mata kuliah tanpa harus berdiskusi. Lantas apa sebabnya hal demikian dapat terjadi?

Menelisik masalah yang sudah lama dibicarakan di dunia perkuliahan, kurangnya literasi mahasiswa menjadi penyakit yang belum juga bisa terobati. Budaya literasi mahasiswa berupa membaca, berdiskusi dan menulis sudah beberapa tahun ini mengalami kemerosotan. Banyak mahasiwa yang balum mampu memahami makna belajar di dunia perkuliahan. 

Mahasiswa sebagai kaum akademisi harusnya memiliki peranan sebagai pelaku yang mampu memahami seluk beluk ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya serta mampu menjadi pembaharu atas teori yang sudah tidak relevan digunakan sekarang. Gelar mahasiswa yang dibebani tanggung jawab sebagai Agent of Change, Agent of Control dan Agent Social Control tentunya tidak bisahanya didapat di dalam kelas saja. Belajar di dalam kelas setidaknya hanya memberikan pemahaman 25% hingga 30% dan selebihnya bias didapat melaui pengalaman membaca, berdiskusi dan berorganisasi. Lantas bagaimana mahasiswa yang hanya kuliah pulang kuliah pulang saja?

Mahasiswasulitmencaritemandiskusi, benarkah?

Pandemi covid-19 menyisakan kultur budaya yang masih sulit dihapuskan. Sistem daring yang diterapkan di dunia pendidikan menyisakan mental-mental siswa mageran dan lebih memilih duduk di rumah. Mereka masih suka dininabobokan dengan sistem-sistem yang seharusnya sudah tidak relevan digunakan pasca pandemi. Hal ini tentunya tidak terjadi pada seluruh pelajar atau khususnya mahasiswa. Mahasiswa yang tetap produktif di masa pendemi tetap meiliki semangat layaknya mahsiswa dahulu. 

Alhasil beberapa mahasiswa yang sadar akan  ketimpangan ini kesulitan mencari teman berdiskusi dan mengembangkan literasi. Bahkan hobi membaca dan menulis dianggap kolot dan kurang bergengsi di kalanganmahasiswa. Banyak ruang diskusi digelar baik secara off line maupun online guna meningkatkan minat  mahasiswa dalam  berdiskusi. Namun jiwa pragmatis yang selalu ingin instan dan mengharap imbalan menjadi jargon kebanyakan mahasiswa yang juga menjadi masalah baru. 

Mereka tidak berangkat diskusi karena tidak ada imbalan seftifikat atau materi lainnya yang dianggap menguntungkan. Mindset kebanyakan mahasiswa akan feed back dari ruang diskusi hanya terikat pada bukti materialis dan belum sampai kepada pemahaman bahwa feed back terbesar ialah ilmu yang mereka dapatkan. 

Dari sini bias kita pahami bahwa mahasiswa saat ini belum selesai pada urusan mereka sendiri dan akan sangat sulit untuk mencapai gelar Agent Off Social Control terlebih Agent off Change. Mahasiswa yang mampu menjadi Agent of Change harus memiliki jiwa kritis diimbangi dengan knowlage yang mereka dapat dari membaca dan berdiskusi. Namun yang terjadi saat ini justru budaya membaca dianggap kolot kurang bergengsi.

Bertanya agar dianggap aktif dalam berdiskusi

Berdiskusi dengan presentasi menyampaikan makalah dengan tema yang didapat dari RPS menjadi hal yang lazim dilakukan oleh setiap mahasiswa. Hampir semua dosen menerapkan metode demikian dalam menjalankan pembelajaran di kelas. Penilaian tidak hanya ditujukan untuk pemakalah, tetapi juga respon dari audiens yang menggapi presentasi dari pemakalah. Mahasiswa yang banyak bertanya dan memberikan tanggapan dinilai mahasiswa aktif dan tentunya ada nilai tersendiri untuk mahasiswa demikian. 

Fenomena yang terjadi, banyak mahasiswa yang bertanya mengenai sesuatu yang sudah tertera di makalah atau bahkan sesuatu yang sudah diketahuinya. Hal ini tidaklah pantas dikatakan aktif, tetapi justru menandakan ketidak mampuan dalam merespon suatu masalah dan mengembangkan pola pokir mereka. 

Terlebih diskusi mandiri yang biasa dijalankan hanya meminta bukti foto dan notulensi daftar penanya, tentunya mahasiswa sudah cukup puas dengan berjalannya diskusi yang tersebut demikian. Nahh dari sini kita bias tahu bahwasanya saat ini memang budaya akademik mahasiswa berupa membaca, diskusi dan menulis telah mengalami erosi yang seakan-akan memunculkan budaya baru. Budaya di mana hobi membaca dianggap kolot.
Laluapakah Hal Tersebut Murni Kesalahan Mahasiswa?

Menilik kurikulum Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim dengan banyak episodenya,  sekarang tak asing dengan istilah Guru Penggerak. Mereka adalah orang-orang yang dipersiapkan untuk memimpin proses belajar-mengajar dan membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa secara aktif dan proaktif. Mereka terdiri dari Kepala Sekolah, Guru / Pendidik dan Pengawas Sekolah yang dilatih melalui diklat --diklat dengan bimbingan Pelatih Ahli Sekolah Penggerak. 

Dalam hal ini mentri Pendidikan Indonesia Nadiem Makarim mengajak para akademisi, praktisi Pendidikan, widyaiswara dan pengawas sekolah di 111 kabupaten / kota untuk turut berpartisipasi dalam transformasi Pendidikan di Indonesia ini dengan menjadi Pelatih Ahli Sekolah Penggerak. Tentu saja untuk bergabung menjadi PASP tidak mudah dan terdapat recruitment besar-besaran dengan pendaftar ribuan ahli Pendidikan, tak terkecuali dosen-dosen perguruan tinggi. Banyak dosen yang bergabung ke dalam Pelatih Ahli Sekolah Penggerak dan mendampingi diklat-diklat calon guru penggerak. 

Diibaratkan seperti wajarnya manusia yang hanya memiliki dua tangan, terpaksa jam-jam kelas harus ditinggalkan untuk menjalankan tugas tersebut. Mahasiswa terus diberikan tugas dan diarahkan untuk diskusi mandiri. Beberapa dosen ada yang meminta notulensi hasil diskusi dan ada beberapa yang hanya meminta presensi daftar hadir diskusi dibuktikan dengan foto saat berdiskusi. Keadaan yang demikian tidak terjadi hanya satu dua minggu saja, bahkan hamper satu semester pembelajaran, mengingat program dari guru penggerak juga tidak sebentar. 

Nahh dari beberapa pernyataan yang sudah saya paparkan,  kiranya cukup menjawab atas pertanyaan yang menjadi judul sub bab ini.  Walaupun perlu digarisbawahi bahwa keadaan apapun tak mutlak menjadi alasan munculnya suatu permasalahan, tetapi perlu dipahami lagi bahwasanya mahasiswa masih butuh fasilitator yang menggerakkan arah belajar mereka. 

Mahasiswa butuh seseorang yang berperan meluruskan ketika salah, menunjukkan jalan ketika hilang arah dan megobarkan semangat meraih keadilan. Wallahua'lam bis showab...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun