Di balik geliat pembangunan, ada statistik yang jarang mendapat perhatian: populasi lansia Indonesia terus melonjak. Pada 2035, jumlah  diproyeksikan mencapai 48 juta jiwa, hampir dua kali lipat dari 2019. Angka ini bukan sekadar data ini adalah wajah orang tua kita, kakek-nenek kita, dan mungkin suatu hari, diri kita sendiri.
Namun, apakah kita benar-benar siap menghadapi konsekuensi dari masyarakat yang menua? Jawabannya, hingga saat ini, masih samar.
Demensia: Penyakit yang Merenggut Kenangan dan Dignitas
"Di mana syalku?" tanya seorang pria tua kepada cucunya, tangannya sibuk meraba-raba bahunya. Padahal, syal itu melingkar di lehernya. Adegan kecil ini, meski terlihat sederhana, adalah salah satu potret kejamnya demensia. Penyakit ini tidak hanya mencuri memori, tetapi juga martabat dan rasa identitas seseorang.
Di Indonesia, penderita demensia diproyeksikan meningkat dari 1,2 juta jiwa pada 2016 menjadi 4 juta jiwa pada 2050. Ironisnya, sebagian besar keluarga menganggap demensia hanyalah "pikun biasa" bagian wajar dari proses penuaan. Kesalahpahaman ini memperburuk keadaan, membuat diagnosis terlambat dan perawatan tidak memadai. Bagi banyak lansia, hidup mereka berubah menjadi perjuangan sunyi yang tidak terlihat oleh masyarakat.
Caregiver: Beban Berat di Balik Perawatan Lansia
"Kadang saya merasa tidak sanggup lagi," ujar seorang anak yang merawat ibunya yang menderita Alzheimer. "Tapi saat melihatnya tersenyum, saya bertahan. Mungkin hanya untuk satu hari lagi."
Beban emosional, fisik, dan finansial yang ditanggung oleh caregiver sering kali luput dari perhatian. Kebanyakan dari mereka tidak dilatih untuk menghadapi perubahan perilaku yang dramatis dari orang yang mereka rawat. "Dia tidak lagi mengingat namaku," ujar seorang cucu, "tapi aku tetap di sini, karena aku tahu dia masih membutuhkan aku."
Beban Ganda: Dua TantanganÂ
Selain demensia, lansia di Indonesia juga menghadapi risiko penyakit degeneratif lain seperti diabetes, hipertensi, dan kanker. Sementara itu, penyakit menular masih terus menjadi ancaman. Kombinasi ini dikenal sebagai beban ganda kesehatan dan Indonesia berada di tengah-tengahnya.
Sistem kesehatan kita belum siap untuk menghadapi krisis ini. Dengan minimnya fasilitas seperti dementia care unit dan terbatasnya tenaga medis, sebagian besar beban perawatan jatuh pada keluarga. Pertanyaan besar pun muncul
bagaimana kita akan merawat mereka yang tidak dapat lagi merawat diri mereka sendiri?
Empati dan Aksi
Ini bukan hanya tentang statistik atau kebijakan. Ini tentang orang-orang terkasih kita yang perlahan kehilangan kenangan dan diri mereka sendiri. Sebagai masyarakat, kita tidak bisa lagi hanya menjadi penonton.
- Inilah saatnya menginvestasikan sumber daya pada fasilitas kesehatan yang ramah lansia. Penyediaan layanan seperti dementia care unit bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan.
- Edukasi adalah kunci. Dengan memahami bahwa demensia lebih dari sekadar "pikun", kita dapat mendukung mereka yang membutuhkan, baik penderita maupun caregiver.
- Jadilah agen perubahan. Sebuah senyuman, obrolan ringan, atau sekadar mendengarkan cerita mereka, meski berulang kali, dapat menjadi obat yang sangat berarti.
Membangun Masa Depan yang Lebih Manusiawi
Bayangkan masa depan di mana tidak ada lansia yang menjalani hari-hari terakhirnya dalam kesepian. Di mana setiap orang tua yang kehilangan ingatan tetap diingat oleh keluarganya. Di mana mereka yang merawat tidak lagi merasa sendirian.
Pergeseran demografi ini adalah panggilan bagi kita semua untuk bertindak. Kita memiliki kesempatan untuk membentuk sistem kesehatan yang lebih peduli, masyarakat yang lebih inklusif, dan generasi yang lebih berempati.
Beban ini berat, tapi tidak mustahil. Karena pada akhirnya, bagaimana kita merawat yang paling rentan mencerminkan siapa kita sebagai bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI