Mohon tunggu...
AGUS PUJI PURNOMO
AGUS PUJI PURNOMO Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Melalui mereka aku memahami. Melaluiku Mereka bisa memahami. Semoga kegiatan pemahaman ini memberi inspirasi yang mencerahkan kami

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

PERSPEKTIF KEBENARAN dalam RASIONALISME, EMPIRISME dan SAINS

26 Desember 2010   06:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:23 4898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

PERSPEKTIF KEBENARAN dalam RASIONALISME, EMPIRISME dan SAINS

Agus Puji Purnomo
PERSPEKTIF KEBENARAN dalam RASIONALISME, EMPIRISME dan SAINS

Ketika fajar telah menyingsing, warna merahpun menghiasi di ufuk barat. Dan dengan begitu tiga sekawanpun hampir sampai di kampung halaman, seusainya melakukan perjalanan dari kota. Kebersamaan mereka ini bukanlah penglihatan yang mengheran bagi masyarakat di kampung mereka. Sepertinya tiga sekawan ini sulit diambil perbedaannya dari sekian banyak kebersamaannya. Mungkin karena masa pertumbuhan secara bersamaan yang mereka alami dan juga usia merekapun hanya jauh dalam hitungan bulan membuat mereka seakan merasa sehati dalam segalanya.

Kekompakan mereka yang unik dan jarang dimiliki oleh sebuah perkawanan adalah sama-sama memiliki kecenderungan keingintahuan yang besar terhadap perkara yang terbilang baru sekaligus juga memiliki ambisi mengurai suatu kejelasan terhadap perkara tersebut. Meskipun demikian, disana jugalah letak perbedaan mendasar yakni dalam keyakinan bentuk cara penguraian jawaban atas proses penjelasan suatu perkara yang mereka hadapi.

Lanjut cerita, sesampainya di pinggiran kampung, merekapun tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka singgah di sebuah perhentian kedai kopi yang letaknya di pinggiran kampung . Sambil menikmati pesanan kopi hangatnya, merekapun mau tak mau mendengar perbincangan beberapa pria setengah baya yang telah ada sebelum kedatangan mereka. Terlihat mereka dengan seriusnya membicarakan hantu di rumah tua yang terletak tidak jauh dari warung kedai, perbincangan mereka jelas mengetuk rasa keingintahuan ketiga sekawan ini. Terutama ini adalah perkara yang baru serta penceritaan oleh salah satu pengalaman seseorang, cukup membawa suasana sekitar yang menyeramkan dan sekawanan pemudapun terheran karena ikut terbawa suasana padahal hanya sebuah cerita yang belum mereka pahami betul dan jelas belum dialami.

Penceritaan orang-orang di warung mengenai hantu sulit bagi mereka untuk membayangkannya kecuali rekaan dari penceritaan. Hal ini memicu berkembangnya rasa penasaran mereka. Berhubung lokasi rumah tua berhantu yang sedang ramai dibicarakan dekat dengan warung dan didorongkan oleh rasa keingintahuan mereka atas perkara yang baru itu. seusai menikmati kopi di warung tsb merekapun segera bergegas menuju rumah tua tsb.

sesampainya disana, merekapun masuk ke dalam rumah dengan hanya berbekal senter dan kemudian menelusuri tiap-tiap bagian ruangnya. Hasilnya, mereka tak menemui wujud hantu yang dimaksud. Ketika kaki mereka melangkah di penghujung pintu keluar, ketika rasionalis yang terdepan mencapai pintu keluar tiba2 tepat dari paling belakang tokoh empiris sebagai orang yang terakhir, mendengar suara rintihan tangisan secara jelas di dalam rumah yang telah dipastikan tidak berpenghuni itu. jelas-jelas mereka sudah memastikan keadaan rumah yang kosong. Merasakan keadaan ganjil demikian yang memicu suasana menyeramkan seperti keadaan di warung kopi. seketika itupun, yang dimulai empiris, merekapun berlarian keluar dengan tanda tanya besar dibenak mereka.

Sambil menuju ke kampung diperjalanan mereka berdiskusi mengenai pengalaman yang barusan terjadi:

Rasionalis berkata “mustahil yang kamu katakan, rumah kosong kok ada suaranya. Ga masuk akal”. Empiris menjawab “Tetapi itu pengalaman yang saya rasakan, nyata dan ada loh” Keduanya berdiskusi mengenai kebenaran mengenai peristiwa yang baru saja terjadi. Sampai saling bersitegangan hingga rasionalis dihadapkan kebingungannya terhadap sesuatu yang tidak dianggap masuk akal karena belum mendapatkan penjelasan yang memuaskan akalnya dan empirispun juga tidak mampu menerima apa yang baru saja yang diperoleh dari pengalaman indra lahiriahnya yang saling bertentangan.

Sains untuk menjembatani keduanya yang kemudian berkata “bukankah kita ingin mencari kebenaran marilah kita bicarakan bersama-sama dan dengarkan pendapat masing-masing” terjadilah dikursus antar mereka, empiris menjelaskan teori kebenaran korespondensinya sedangkan rasionalis menjelaskan teori kebenaran koherensinya. Dengan seksama sains mencermati dan membuat sintesa menyikapi kebuntuan keduanya terhadap kasus yang sedang dibicarakan. Sains membuat sintesa kebenaran sehingga dihasilkan teori kebenaran ilmiah yang pendekatannya melalui “metode keilmuan” di dalamnya terdapat teori kebenaran korespondensi dan koherensi. Tetapi ketika menggunakan “teori kebenaran ilmiah” pada kasus ini sainspun mengalami kebuntuan dengan mengatakan bahwa “kasus ini ganjil diluar objek kajian saya (ilmiah). Tetapi rupanya sains cukup puas dengan sistem/metode yang telah diperoleh yakni metode keilmuan, yang bisa menjelaskan untuk kasus-kasus yang lain yang bersifat empiris katanya (sains). Dimana dalam aplikasinya terbukti lebih dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa alam lainnya dan berfungsi praktis bagi kehidupannya. Meskipun dalam perjalanannya kebenaran pengetahuan yang di miliki berubah2 tetapi disikapi sains dengan beralasan sebagai “teori kebenaran pragmatis”.

Analisa

Kasus cerita di atas adalah salah satu peristiwa yang tidak diragukan adanya. Peristiwa yang memang ada dan menjadi bagian yang tidak dapat ditiadakan dalam suatu realitas. Melalui cerita tersebut dapatlah kita buat analisa dalam perspektif epistemology Rasionalisme, Empirisme dan Sains. Dengan mengurai masing-masing epistemology yang dimiliki dalam bentuk-bentuk teori kebenaran yang ada di dalamnya serta menunjukan permasalahan-permasalahan dalam melihat kasus tersebut.

Ketiga aliran ini adalah contoh yang representatif dalam mengurai sejarah epistemolgi manusia. Masing-masing aliran adalah dasar dari perkembangan dari sistem epistemology modern yang ada sekarang seperti positivisme, postmodernisme

Kiranya melalui analisa ini akan menyentuh dasar epistemology secara studi kasus yang akan memberi gambaran bahwa teori kebenaran haruslah di pahami esensinya. Jika tidak akan membentuk pemahaman yang dangkal mengenai “kebenaran” itu sendiri. Marilah kita analisa secara singkat masing-masing epistemology terhadap kasus cerita di atas sbb:

Empirisme

Aliran ini menyatakan pengalaman melalui ke-terindra-an lahiriahnya sebagai penentu kebenaran. “Teori kebenaran korespondensi “menurut versinya adalah menempatkan kenyataan sebatas perantaraan indra lahiriah untuk membuktikan suatu kebenaran. Epistemology empirisme mengusung teori kebenaran korespondensi atau lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai “teori kebenaran empirisme” karena definisi fakta yang di maksud adalah sebatas kenyataan empiris yakni satu-satunya obyek yang dapat dikategorikan dalam pengetahuan dimana hanya indra lahiriah sebagai otoritas penyusunnya.

Peristiwa dalam cerita menghadapkan empirisme pada suatu kenyataan bahwa ketidakmampuan menjelaskan, atau tidak mengakui keberadaan obyek non empiris yang tidak dapat terindrai sebagai obyek pengetahuan. Tetap kenyataannya peristiwa itu ada dan sistem epistemology yang dibangun manusia tentu akan di uji di berbagai kasus (obyek). Postulat dasar yang digunakan empirisme mengantar kepada suatu bentuk dasar yang terlihat pada kasus ini. Ada obyek sesuatu yang biasa bisa terdengar tetapi pada pengalaman baru diatas tidak dapat divisualisasi secara empiris maka terjadi pertentangan dipikiran untuk sementara tentang apa-apa yang telah dipahami sebelumnya. Data indrawi antara pendengaran dan penglihatan tidak bersesuaian dalam penentuan penjelasan yang sudah dipahami . Secara singkat, hal ini membuktikan bukan indra lahiriah lah yang menentukan suatu penilaian terhadap sebuah pengenalan obyek pengetahuan serta panca indra bukanlah satu-satunya alat pengetahuan yang dimiliki pengetahuan agar kenyataan tersebut dapat dipahami.

Rasionalisme

Kemudian rasionalisme dengan tidak bergantung terhadap fakta eksternal (di luar alam pikiran) dengan menyatakan bahwa suatu kebenaran tidaklah dapat diuji secara ekternal kecuali dengan pengujian secara internal yakni adanya koherensi antar dalil-dalil yang telah diketahui dan ada. Artinya suatu pernyataan sebagai ungkapan pikiran dinyatakan sebagai kebenaran setelah dipastikan/dihadapmukakan dengan dalil-dalil yang apriori.

Epistemology ini menggunakan teori kebenaran koherensi dengan pembuktian kebenarannya tidak berdasarkan hubungannya dengan fakta sebenarnya tetapi terhadap kesesuaian dengan pernyataan lainnya yang telah diketahui kebenarannya. Dalam cerita diatas, rasionalisme berusaha memahaminya dalam bentuk kerangka yang teoritis dengan tidak bertumpu langsung pada kenyataan cerita tersebut tetapi pada kategori-kategori yang bersifat apriori yakni rasio. Kenyataannya rasionalisme ketika dihadapkan dengan cerita tersebut mengalami kebuntuan. Adanya suara dirumah yang sudah diketahui tidak berpenghuni tidak menunjukan sebagai suatu cerita yang koheren. Bagian-bagian dalam cerita di anggap tidak konsisten dalam kerangka teoritisnya. “ Ada suara di rumah” dengan “rumah yang tidak berpenghuni” tidak memiliki keterhubungan yang koheren dalam menjelaskan satu dengan lainnya.

Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk keterbutuhan rasionalisme terhadap dalil-dalil aposteriori. Ketika ada fakta aposteriori, tetapi menjelaskannya dengan dalil-dalil apriori, padahal yang dibangun pengetahuannya adalah pengalaman yang eksistensinya di dunia luar pikiran (alam nyata). Bagaimanapun ketika membentuk dalil yang sifatnya aposteriory tidak dapat melepaskan dirinya terhadap suatu penjelasan yang menceritakan suatu pengalaman.

Sains

Dapat dikatakan bahwa sains merupakan kombinasi antar epistemologi empirisme dan rasionalisme. Di mana teori kebenaran korespondensi dan koherensi di sintesakan dalam bentuk teori kebenaran ilmiah. Produk keilmuan dianggap syah sebagai kebenaran (baca kebenaran ilmiah) jika melalui metode keilmuan.

Empirisme melalui teori korespondensi sebenarnya adalah pengertian sains dalam artian klasik. Corak pendekatan yang khas dalam kegiatan sains yakni adanya penaran induktif, dengan melakukan pengamatan dan observasi sebagai data empiris yang akan menghantarkan pada sebuah kesimpulan umum. Kemudian dalam perkembangan sains timbul metode keilmuan sebagai metode pendekatan yang baru. Penalaran induktif dan deduktif terangkum dalam sistem epistemologynya. Yang harus dipahami pola yang harus ada sains yakni adanya penggunaan metode induksi. Dan yang dimaksud dalam pengertian sains disini adalah pengetahuan yang perolehannya hanya dibatasi pada bidang fisik/empiris (epistemology barat) (1).

Jelas bahwa secara ontology sains hanya beorientasi kepada obyek empiris sedangkan obyek non fisik atau metafisis tidak dapat diterapkan secara valid. Oleh karenanya ketika dihadapkan pada kasus cerita diatas yakni obyek hantu, sains pun terdiam karena memang bukan objek kajiannya. Kita bisa memandang bahwa sistem epistemologi yang dibangun tidak diperuntukan untuk menjawab perkara-perkara non empiris. Hal ini karena asumsi metafisik yang telah membentuk sains (versi barat).

Jika dilihat dari batasan ruang dimensi kajian dapat dipandang sebagai bentuk ketidaksempurnaan metode karena bentukan asumsi dasar yang telah dijakdikan pondasi epistemologynya sehingga timbul ketidakmampuan menteorikan fakta-fakta non empiris, sekaligus juga dapat dilihat sebagai usaha untuk menyatakan bahwa pengakuan realitas yang dapat dimasukan ke dalam pengetahuan manusia adalah sebatas alam fisis. Tidak dapat disangsikan bahwa produk keilmuan (sebagai metode alam )melalui mode pengetahuannya memberi penjelasan yang lebih dan terbukti bermanfaat praktis (produk teknologinya) dalam menunjang fungsi kehidupan manusia yang bersifat materi. Dari aspek inilah kebenaran ilmiah bertahan dengan mengajukan teori kebenaran pragmatis, walau kebenaran ilmiah yang dihasilkan bersifat tentatif yakni suatu teori dianggap benar (baca memiliki probabel benar) selama belum ada teori superior lainnya yang mengingkari kebenaran sebelumnya dalam sistemnya sendiri.

Walau dinyatakan bahwa sains terus berkembang dalam membangun sistem epistemolognya. Faktanya sekarang sains sendiripun tidak dapat menjawab jenis-jenis kenyataan cerita diatas secara lugas dalam kerangka epistemologynya. Seakan-akan mengingkari pengetahuan transenden yang seharusnya ada dan memang kenyataan peristiwa yang berbau mistis dan ghaib tersebut itu ada dan tidak mustahil manusia mampu berbicara mengenainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun