Mohon tunggu...
AGUS PUJI PURNOMO
AGUS PUJI PURNOMO Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Melalui mereka aku memahami. Melaluiku Mereka bisa memahami. Semoga kegiatan pemahaman ini memberi inspirasi yang mencerahkan kami

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

PERSPEKTIF KEBENARAN dalam RASIONALISME, EMPIRISME dan SAINS

26 Desember 2010   06:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:23 4898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dapat dikatakan bahwa sains merupakan kombinasi antar epistemologi empirisme dan rasionalisme. Di mana teori kebenaran korespondensi dan koherensi di sintesakan dalam bentuk teori kebenaran ilmiah. Produk keilmuan dianggap syah sebagai kebenaran (baca kebenaran ilmiah) jika melalui metode keilmuan.

Empirisme melalui teori korespondensi sebenarnya adalah pengertian sains dalam artian klasik. Corak pendekatan yang khas dalam kegiatan sains yakni adanya penaran induktif, dengan melakukan pengamatan dan observasi sebagai data empiris yang akan menghantarkan pada sebuah kesimpulan umum. Kemudian dalam perkembangan sains timbul metode keilmuan sebagai metode pendekatan yang baru. Penalaran induktif dan deduktif terangkum dalam sistem epistemologynya. Yang harus dipahami pola yang harus ada sains yakni adanya penggunaan metode induksi. Dan yang dimaksud dalam pengertian sains disini adalah pengetahuan yang perolehannya hanya dibatasi pada bidang fisik/empiris (epistemology barat) (1).

Jelas bahwa secara ontology sains hanya beorientasi kepada obyek empiris sedangkan obyek non fisik atau metafisis tidak dapat diterapkan secara valid. Oleh karenanya ketika dihadapkan pada kasus cerita diatas yakni obyek hantu, sains pun terdiam karena memang bukan objek kajiannya. Kita bisa memandang bahwa sistem epistemologi yang dibangun tidak diperuntukan untuk menjawab perkara-perkara non empiris. Hal ini karena asumsi metafisik yang telah membentuk sains (versi barat).

Jika dilihat dari batasan ruang dimensi kajian dapat dipandang sebagai bentuk ketidaksempurnaan metode karena bentukan asumsi dasar yang telah dijakdikan pondasi epistemologynya sehingga timbul ketidakmampuan menteorikan fakta-fakta non empiris, sekaligus juga dapat dilihat sebagai usaha untuk menyatakan bahwa pengakuan realitas yang dapat dimasukan ke dalam pengetahuan manusia adalah sebatas alam fisis. Tidak dapat disangsikan bahwa produk keilmuan (sebagai metode alam )melalui mode pengetahuannya memberi penjelasan yang lebih dan terbukti bermanfaat praktis (produk teknologinya) dalam menunjang fungsi kehidupan manusia yang bersifat materi. Dari aspek inilah kebenaran ilmiah bertahan dengan mengajukan teori kebenaran pragmatis, walau kebenaran ilmiah yang dihasilkan bersifat tentatif yakni suatu teori dianggap benar (baca memiliki probabel benar) selama belum ada teori superior lainnya yang mengingkari kebenaran sebelumnya dalam sistemnya sendiri.

Walau dinyatakan bahwa sains terus berkembang dalam membangun sistem epistemolognya. Faktanya sekarang sains sendiripun tidak dapat menjawab jenis-jenis kenyataan cerita diatas secara lugas dalam kerangka epistemologynya. Seakan-akan mengingkari pengetahuan transenden yang seharusnya ada dan memang kenyataan peristiwa yang berbau mistis dan ghaib tersebut itu ada dan tidak mustahil manusia mampu berbicara mengenainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun