Awal tahun 2025 diwarnai dengan insiden tragis yang melibatkan penembakan terhadap seorang bos rental mobil di Rest Area KM 45 Tol Tangerang-Merak. Kasus ini melibatkan tiga anggota TNI AL dan empat warga sipil, yang diduga berkaitan dengan konflik bisnis. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban tetapi juga menjadi sorotan publik terkait lemahnya sistem pengawasan dalam birokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Seperti yang dilaporkan oleh Kompas (2025), insiden ini menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat yang seharusnya bertugas melindungi masyarakat.
Fenomena ini bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Insiden serupa yang melibatkan aparat penegak hukum kerap terjadi di berbagai daerah. Dari penggelapan kendaraan hingga kekerasan fisik, pola yang terlihat mencerminkan adanya celah besar dalam sistem birokrasi. Masalah mendasar terletak pada lemahnya pengawasan, kurangnya transparansi, dan ketiadaan mekanisme akuntabilitas yang efektif. Akibatnya, tindakan pelanggaran oleh aparat sering kali berulang tanpa solusi yang jelas.
Kasus ini mengundang banyak pertanyaan: Mengapa pelanggaran oleh aparat terus terjadi? Bagaimana sistem birokrasi dapat mengizinkan pelanggaran yang melibatkan institusi militer atau aparat sipil terjadi berulang kali? Artikel ini bertujuan mengurai masalah birokrasi yang menjadi akar dari kasus seperti ini serta menawarkan solusi komprehensif untuk mencegahnya.
Problematika Birokrasi dan Implementasi di Lapangan
Salah satu masalah utama dalam birokrasi Indonesia adalah lemahnya pengawasan internal terhadap aparat penegak hukum. Dalam kasus penembakan bos rental mobil di Tangerang, pelaku yang merupakan anggota TNI AL diduga menyalahgunakan wewenangnya untuk menyelesaikan konflik pribadi. Masalah seperti ini mencerminkan adanya celah besar dalam pengelolaan wewenang aparat negara. Komnas HAM (2023) melaporkan bahwa sekitar 12% dari pelanggaran yang dilaporkan masyarakat terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat. Kasus ini memperlihatkan bahwa lemahnya pengawasan internal sering kali memberikan peluang bagi aparat untuk bertindak di luar koridor hukum.
Lebih jauh lagi, birokrasi di Indonesia sering kali dibayangi oleh budaya impunitas, di mana aparat yang melakukan pelanggaran tidak mendapatkan sanksi yang tegas. Hal ini menciptakan efek domino yang memperkuat kecenderungan pelanggaran. Sebagai contoh, dalam kasus serupa pada 2022 di Jakarta, penggelapan kendaraan oleh oknum aparat juga melibatkan konflik kepentingan pribadi. Namun, meskipun kasus tersebut berhasil diungkap, sanksi yang diberikan kurang transparan dan tidak menciptakan efek jera. Akibatnya, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum dan birokrasi sebagai pengelola keamanan publik.
Prosedur birokrasi yang kompleks dan lamban juga menjadi salah satu faktor utama. Dalam banyak kasus, pengawasan terhadap aparat sering kali hanya menjadi formalitas tanpa tindakan nyata. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemanfaatan teknologi dan sistem pengawasan yang terintegrasi. Sebagai contoh, dalam hal penggunaan senjata api oleh aparat, tidak ada mekanisme digital yang memantau siapa yang memegang dan menggunakan senjata tersebut. Ketidakjelasan dalam pengawasan ini membuat pelanggaran sulit untuk dideteksi sejak dini, seperti yang terlihat dalam kasus penembakan di Tangerang.
Masalah implementasi kebijakan di lapangan juga menjadi tantangan besar. Presiden Joko Widodo telah menekankan pentingnya reformasi birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik, tetapi pelaksanaan kebijakan tersebut sering kali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kebijakan pengawasan dan akuntabilitas yang telah dirancang dengan baik di tingkat pusat sering kali terhambat oleh resistensi di tingkat lokal. Aparat yang tidak merasa diawasi cenderung lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan wewenang mereka, seperti dalam kasus ini.
Selain itu, ketidaksesuaian antara norma birokrasi dan praktik lapangan menciptakan kesenjangan yang merugikan masyarakat. Dalam banyak kasus, birokrasi gagal menerapkan nilai-nilai transparansi dan keadilan yang dijanjikan. Studi oleh Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat percaya bahwa pelanggaran aparat terjadi karena sistem pengawasan yang tidak efektif. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa birokrasi membutuhkan reformasi yang lebih mendalam, termasuk dalam hal penguatan pengawasan internal, penerapan teknologi, dan pembentukan lembaga independen untuk meningkatkan akuntabilitas. Tanpa langkah-langkah ini, kasus serupa kemungkinan besar akan terus berulang di masa mendatang.
Dampak Sosial dan Budaya
Fenomena seperti ini berdampak luas pada masyarakat. Ketakutan dan ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah meningkat. Dalam survei oleh BPHN (2021), hanya 55% masyarakat yang percaya bahwa hukum di Indonesia ditegakkan secara adil. Kasus penembakan ini memperburuk citra institusi yang seharusnya melindungi rakyat.
Budaya birokrasi yang minim akuntabilitas juga memperkuat stigma negatif terhadap aparat. Seorang pengamat hukum, Yusril Anwar, menyatakan dalam wawancara dengan Tempo (2025), “Masalah ini bukan hanya tentang oknum, tetapi juga tentang sistem yang membiarkan pelanggaran terjadi tanpa konsekuensi yang signifikan.” Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan struktural dalam birokrasi memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada yang terlihat di permukaan.
Masyarakat juga semakin skeptis terhadap kemampuan pemerintah untuk memastikan keamanan. Sebuah studi oleh Transparency International (2022) menempatkan Indonesia pada skor 38 dari 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi, menandakan adanya tantangan besar dalam menciptakan birokrasi yang bersih dan efektif.
Rekomendasi dan Solusi
Reformasi birokrasi menjadi solusi utama untuk mengatasi masalah ini. Presiden Joko Widodo pada 2023 telah menegaskan pentingnya membangun kepercayaan publik melalui reformasi yang berorientasi pada pelayanan. Namun, implementasi reformasi ini membutuhkan langkah konkret seperti:
1. Digitalisasi Pengawasan
Digitalisasi pengawasan menjadi langkah penting untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan wewenang aparat. Dengan memanfaatkan teknologi, sistem pemantauan aktivitas aparat dapat dilakukan secara real-time. Sebagai contoh, penggunaan perangkat elektronik seperti body camera atau alat pelacak digital dapat merekam aktivitas aparat selama bertugas. Data ini dapat diintegrasikan ke dalam sistem pusat yang memungkinkan pengawasan langsung oleh atasan maupun lembaga pengawas independen.
Langkah ini juga dapat diterapkan dalam pengelolaan senjata api, di mana penggunaan senjata harus dicatat dalam log digital yang memuat informasi lengkap, termasuk siapa yang menggunakan senjata dan untuk tujuan apa. Sistem ini akan membantu mendeteksi penyalahgunaan wewenang lebih awal. Seperti yang diungkapkan oleh Transparency International (2022), negara-negara dengan tingkat digitalisasi tinggi cenderung memiliki birokrasi yang lebih bersih dan akuntabel. Dengan menerapkan sistem ini, Indonesia dapat meminimalisir celah yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, digitalisasi ini memerlukan infrastruktur yang kuat dan pelatihan yang memadai bagi aparat. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk pengadaan perangkat dan sistem teknologi, serta mengembangkan regulasi yang mendukung pelaksanaan pengawasan digital. Selain itu, masyarakat perlu dilibatkan sebagai pengawas eksternal melalui akses terbatas ke data yang relevan, sehingga kepercayaan terhadap transparansi birokrasi dapat terbangun.
2. Penguatan Lembaga Independen
Rekomendasi kedua adalah membentuk atau memperkuat lembaga independen yang bertugas mengawasi dan mengaudit aktivitas aparat. Lembaga ini harus memiliki wewenang penuh untuk menyelidiki pelanggaran, memberikan rekomendasi sanksi, dan memastikan pelaksanaannya. Contohnya adalah memperkuat fungsi Komnas HAM atau membentuk lembaga khusus seperti Ombudsman yang berfokus pada kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat.
Lembaga independen ini harus bebas dari campur tangan politik maupun institusi pemerintah untuk menjaga objektivitas. Dalam kasus penembakan mobil rental, lembaga seperti ini akan memiliki kemampuan untuk mengungkap fakta secara transparan dan memberikan rekomendasi sanksi kepada pihak-pihak yang terlibat. Studi oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menunjukkan bahwa negara-negara dengan lembaga pengawas independen yang kuat memiliki tingkat pelanggaran aparat yang lebih rendah.
Selain itu, lembaga ini dapat berfungsi sebagai penengah dalam konflik antara masyarakat dan aparat. Dengan melibatkan masyarakat dalam pelaporan kasus secara langsung, lembaga ini dapat meningkatkan partisipasi publik dan memastikan bahwa kasus-kasus pelanggaran tidak berakhir tanpa penyelesaian. Pemerintah perlu mendukung pembentukan lembaga ini melalui alokasi anggaran, pelatihan khusus, dan kebijakan yang mendukung kemandirian operasionalnya.
3. Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan Aparat
Pendidikan dan pelatihan yang berfokus pada nilai-nilai integritas dan tanggung jawab adalah elemen kunci dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Aparat perlu memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melayani masyarakat, bukan menggunakan posisi mereka untuk kepentingan pribadi. Program pelatihan ini harus menjadi bagian dari kurikulum wajib di setiap institusi aparat negara, baik sipil maupun militer.
Pelatihan yang diberikan harus mencakup aspek hukum, etika, dan komunikasi interpersonal. Selain itu, simulasi situasi nyata juga perlu dilakukan untuk membantu aparat menghadapi tekanan di lapangan tanpa melanggar batas wewenang. Misalnya, pelatihan untuk mengelola konflik secara damai dapat membantu mencegah eskalasi kekerasan seperti yang terjadi dalam kasus penembakan di Tangerang. Negara-negara seperti Norwegia dan Finlandia telah menerapkan pelatihan ini dan terbukti memiliki tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap aparatnya.
Pendidikan tidak hanya berhenti pada pelatihan awal, tetapi harus berlanjut melalui evaluasi berkala. Aparat yang menunjukkan perilaku bermasalah harus diberikan pembinaan khusus atau, jika diperlukan, diberhentikan dari tugas. Dengan pendekatan ini, pemerintah dapat menciptakan budaya kerja yang lebih berintegritas, sekaligus memutus siklus pelanggaran yang selama ini terjadi.
Kasus penembakan bos rental mobil di Tangerang menjadi pengingat penting bahwa birokrasi yang lemah dapat menjadi akar dari berbagai masalah serius, termasuk penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat. Dengan reformasi birokrasi yang menyeluruh, kolaborasi antar instansi, dan partisipasi aktif masyarakat, kepercayaan publik terhadap birokrasi dapat dipulihkan. Insiden seperti ini seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H