"Malam kudus.... Sunyi senyap...."
Malam itu bukanlah malam kudus seperti biasanya. Tepat 26 Desember 2004, tsunami dahsyat menghantam Aceh. Bencana yang didaulat menjadi salah satu bencana terbesar abad ke-21 oleh PBB ini terpicu oleh gempa 9,1 skala richter yang terjadi di Samudera Hindia. Lebih kurang 280 ribu jiwa melayang dari bencana alam ini.Â
Juru bicara Menteri Luar Negeri, Yuri Thamrin mengatakan bahwa ada 18 negara (terhitung 56 negara sampai detik ini) yang memberikan bala bantuan kepada masyarakat Aceh berupa alat transportasi, genset, tenda, perlengkapan bertahan hidup, alat pemurni air, dan segala jenis bantuan lainnya. Total perkiraan dari peristiwa tsunami Aceh ditaksir mencapai 4,45 miliar dolar Amerika, atau setara dengan 41,4 triliun rupiah. Lantas dari hiruk pikuk bantuan yang tersalurkan dari berbagai lembaga, negara, bahkan bank dunia. Tidak terbesit sedikitpun bahwa salah satu negara yang tidak pernah berhubungan politik dengan Indonesia akan memberikan bantuan.
Negara yang menentang butir-butir pada UUD 1945 ini memberikan bantuan yang tidak sedikit, yaitu muatan 90 ton dengan rincian seperti obat-obatan, pakaian, air minum, dan lain-lain. Negara itu ialah Israel. Indonesia tidak pernah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Lalu apakah yang dimaksud dengan hubungan diplomatik? hubungan diplomatik ialah berbagai sarana yang sah dan legal suatu negara untuk berhubungan dengan negara lain dalam melaksanakan politik luar negeri, dapat terlihat dari penempatan perwakilan masing-masing negara.Â
Oleh karena itu, tidak pernah ditemukan kantor duta besar Israel di Indonesia. Hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia sering kali diusung melalui perdana menteri Israel. Lantas apakah etis negara Indonesia yang menentang tindakan Israel malah membutuhkan uluran tangan dari negara tersebut? Atau ada hal tertentu yang "diperbolehkan" untuk dilanggar dalam hubungan diplomatik? Untuk menjawab semua pertanyaan dan segala keraguan, Indonesia perlu membuka hubungan diplomatik dengan Israel untuk menunjang berbagai aspek negara yang dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia.
Pertama, Indonesia sudah tidak perlu berdagang "di bawah tangan" dengan Israel. masyarakat Indonesia mengetahui bahwa Indonesia dikenal sebagai negara pro-kemerdekaan Palestina. Sehingga label inilah yang menjadi bumerang tersendiri untuk pemerintah jika berani untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. namun tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan Israel sudah lama menjalin hubungan dagang. Bahkan diperkirakan 200.000 orang Indonesia mengunjungi Israel setiap tahunnya. Hubungan dagang Indonesia-Israel terjalin hangat walaupun tidak adanya hubungan resmi kedua negara.Â
Catatan data Kementerian Perdagangan memperlihatkan bagaimana naik turunnya hubungan kedua negara. Tercatat pada tahun 2011, total perdagangan Indonesia dengan Israel mencapai 170,62 juta dolar AS. Pada 2014 terjadi penuruan yang tidak terlalu signifikan, yaitu pada angka 152,77 juta dolar AS. Tapi hal ini tidak menunggu sampai 1 tahun di depan. Pada 2015, angka perdagangan naik dengan cepat sehingga mencapai 194,43 juta dolar AS dengan rincian ekspor sebesar 116,7 juta dolar AS dan impor sebesar 77,73 juta dolar AS.
 Hubungan dagang yang terjalin tidak hanya pada sektor migas dan non-migas. Kembali menilik dari data Kementerian Perindustrian, Israel mengekspor alat musik, alat peraga pembantu pendidikan, alat olahraga, dan juga beberapa mainan yang mencapai angka 3,4 juta dolar AS. Terlihat jalinan "kasih" antarnegara dengan ekspor yang berbeda.Â
Di sisi Indonesia dapat dilihat bahan makanan dan furnitur merupakan komoditas utama yang disalurkan menuju negara Bintang Daud tersebut dan di sisi lain Israel mengekspor alat telekomunikasi, alat kesehatan, alat keamanan, teknologi agrikultural, dan juga jasa konsultasi. I
srael mampu melihat kecocokan ekonomi dengan Indonesia, selain itu juga dapat dilihat pangsa pasar Indonesia yang benar-benar besar. 255 juta jiwa masyarakat Indonesia merupakan pasar yang dapat dimanfaatkan Israel untuk menjual produk-produk berteknologi tinggi. Perlunya hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel untuk membuka lebih banyak peluang bisnis dan pembangunan sektor teknologi sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara lain.Â
Walaupun banyak produk-produk dari negara lain yang dapat diperjualbelikan di Indonesia, tapi Israel sudah menjadi negara terbesar kedua dalam urusan startup dan teknologi setelah Amerika Serikat. Jadi tidak ada masalah jika Indonesia ingin membuka hubungan diplomatik sehingga roda perekonomian negara (termasuk Indeks Harga Saham Gabungan) dapat menjejali posisi yang lebih tinggi.