"Pernahkah terbayang bahwa apapun yang dilihat manusia di dunia ini hanya bentuk dari imajinasi yang diolah secara sistematis dan terstruktur, namun tidak meninggalkan kreativitas dalam penggambarannya? Atau pernahkah terbayang bahwa cinta itu hanya bentuk emosi yang tak terlihat, sebagai kontrol perasaan atas segala macam emosi yang terbentuk dari alam bawah sadar manusia? Bagaimana semua cara berpikir dan rasa ini terbentuk? Apakah kita perlu percaya akan suatu karakter yang tidak pernah hadir di dunia namun Dia yang mengatur segalanya? " Ucapku. Semua anak dikelas hanya menatapku bisu, sesekali mereka menggaruk-garuk kepala dan menguap.
"Apakah ini sudah waktunya untuk istirahat?" Tanya seseorang dari arah belakang. Guru yang mendengarkan ocehanku mengangguk tanda bahwa jam istirahat telah tiba. Seluruh siswa di kelasku keluar dan melupakan segala macam asumsi dan fakta yang Aku pertanyakan.
"Mereka terlalu bodoh untuk memahami pemikiran semacam itu," ketusku dalam hati, "Lihat saja tingkah laku mereka, seperti anak TK yang baru saja melewati masa orientasi. Tidak ada satupun dari mereka yang paham dan menaruh sebuah keinginan untuk memahami perkataan yang aku lafalkan."
Terjebak di sekolah ini merupakan satu dari antara ribuan penyesalan dalam hidupku. Ya, inilah diriku, seorang remaja berumur 17 tahun yang mengemban pendidikan di salah satu sekolah swasta di daerah Jakarta Selatan. Kecintaanku akan dunia filsafat sampai seni dalam berpikir merubah sudut pandangku mengenai lingkungan yang Aku hadapi serta kepercayaan akan suatu eksistensi yang tidak pernah nampak namun dipercayai ada.
Segala jenis macam perkataan yang kudengar dari orang yang lebih tua, kadang membuatku muak karena tidak satupun dari mereka yang lebih pintar daripada Aku. Sehingga Aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu membaca buku dibanding bertegur sapa dengan teman sejawat. Berbagai macam buku sudah Aku baca, bahkan buku yang terlalu berat untuk remaja seusiaku saja habis kubabat. Tapi tak tahu mengapa, lambat laun Aku lebih senang menyendiri dibanding bersosialiasi, mungkin atas dasar Aku tak suka bersosialisasi, atau mungkin juga karena mereka terlalu bodoh jika ingin berbicara dengan diriku.
"Tadi merupakan perkataan yang sungguh menakjubkan." Aku menengok kebelakang, melihat seorang gadis dengan jepitan rambut merah muda menghiasi rambutnya yang dikuncir kuda, bola mata hitam, alis mata yang tidak terlalu tebal, serta bibir yang tipis, sedang berbicara kepada diriku.
"Apa maksudmu?" tanyaku, "Perkataanmu, aku sangat suka perkataanmu barusan. Kamu menjelaskan sesuatu hal yang diluar dugaan anak-anak seusiamu. Aku suka mendengarnya." Ucap gadis itu.
Aku terperangah, belum pernah kudapati seorang manusia yang menghargai apa yang Aku bicarakan. Kutatap dia perlahan, Aku yakin dia sangat cerdas karena dia paham dan tertarik dengan celotehanku. "Jika memang engkau menyukainya, jelaskan makna perkataanku."
Gadis itu tidak menjawab, dia hanya tertawa lebar dan menggaruk-garuk kepalanya, "Aku tidak paham sedikitpun. Aku hanya suka melihat seseorang berbicara dengan bahasa redaksi sepertimu." Gadis itu sekali lagi tertawa, nampak dua lesung pipi yang tertempel di wajahnya. Aku kehilangan semangat, Aku memutuskan untuk tidak berbicara dengan dirinya sebab Aku tahu pasti, dia bodoh.
"Narista." Gadis itu menyebutkan kata yang benar-benar asing bagiku, "Narista? Aku tak pernah mendengar kata itu dalam kamus manapun." Aku tidak terlalu mempedulikan omongannya, Aku hanya menjawab sesuai apa yang ingin Aku katakan. "Narista itu namaku, bukan sebuah kata yang merepresentasikan sebuah makna. Itu hanya nama, kedua orang tuaku yang buat." Dia menjawab.
Narista? Nama yang aneh untuk seorang gadis yang hidup menetap di Jakarta. Tidak adakah nama lain yang lebih bermakna? Di era yang sudah maju seperti ini, kopi saja bahkan mempunyai filosofi yang lebih dalam dibanding patung atau gambaran pada masa kerajaan dulu. Bahkan senja, hujan, dan daun memiliki makna dan filosofi yang terlalu rumit. Tapi mengapa masih ada anak yang diberi nama tanpa makna seperti ini?