Mohon tunggu...
Fildzah Izzati
Fildzah Izzati Mohon Tunggu... -

Red rebel my soul

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berbicara Mengenai Situasi Nasional

8 Oktober 2010   23:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:36 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-sebuah essay untuk diskusi FMLK ke-4-

oleh Fildzah Izzati (Ilmu Politik FISIP UI/2007)

Prolog

Berbicara mengenai situasi nasional, secara umum adalah berarti berbicara mengenai kebijakan-kebijakan negara (eksekutif/legislatif/yudikatif) terkini. Lalu kejadian/peristiwa terkini yang opininya meluas secara nasional, isu/rencana pemerintah ke depan, serta analisa (setidaknya sebab dan akibat)mengenai ketiga poin tersebut. Dalam tulisan kali ini, penulis akan mengulas gambaran situasi nasional secara umum semenjak pemerintahan kapitalis neolib SBY jilid 2 berkuasa.

Masih Rezim dan Sistem yang Sama

Semenjak reformasi 1998, pergantian rezim tak juga terjadi di negeri ini. Indonesia masih dikuasai oleh rezim pemerintahan kapitalis neoliberal. Pemerintahan SBY-Boediono pun tidak lain merupakan keberlanjutan dari rezim kapitalis neoliberal yang sudah berlangsung selama ini. Hal tersebut terbukti dari kebijakan-kebijakan neoliberalisme (privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi) yang terus dilancarkan selama (minimal) dua periode pemerintahan (neolib) SBY. Hak-hak dasar warga negara Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat Indonesia dan sebagian besar lainnya harus berjuang keras untuk mendapatkan apa yang sudah seharusnya mereka dapatkan. Kita lihat misalnya di bidang pendidikan. Pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil rakyat Indonesia sementara sebagian besar rakyat Indonesia lainnya tidak dapat bersekolah dan menikmati pendidikan (apalagi pendidikan tinggi) karena biaya yang mahal. Berbagai kebijakan yang memperlihatkan komodifikasi pendidikan pun hanya memperjelas keberpihakan SBY (beserta aparat dan juga tentu DPR-nya) terhadap modal dan pengabaiannya terhadap rakyat miskin. Di berbagai bidang lainnya pun menunjukkan hal yang serupa. : keadilan tidak pernah memihak pada rakyat. Kita tentu mengingat kasus Nenek Minah yang begitu tersohor, atau juga kasus Prita Mulyasari, dan yang paling terkini, yang paling menghebohkan : kasus Gayus, sang mafia pajak. Ditutupnya kasus Century dengan perginya sang ratu neolib, Sri Mulyani ke negeri orang pun (lagi-lagi) menunjukkan betapa amat mahalnya keadilan itu. Korupsi masih menjadi primadona dan rekening gendut, sepertinya memang bukan hanya dimiliki aparat berseragam cokelat.

Di sektor buruh, upah layak minimum yang menjadi hak mendasar dari kaum buruh, nyatanya juga masih diperjuangkan dengan keras. Berbagai pemogokan terjadi dimana-mana. Relokasi pabrik sebagai dalih PHK massal, pemailitan pabrik, sistem kerja kontrak, termasuk juga outsourcing juga masih terus terjadi dan menjadi kebijakan utama pemerintahan kapitalis neoliberal SBY yang berkongkalikong dengan para pemilik modal. Penggusuran membabi buta yang terjadi di beberapa daerah termasuk di Jakarta beserta perampasan tanah atas nama pembangunan tentunya (lagi-lagi) menunjukkan keberpihakan pemerintah (hanya) terhadap kepentingan modal. Kita tentu dapat melihat, ratusan mall dan apartemen berdiri mewah di Jakarta, sementara jutaan rakyat hidup di bawah kolong-kolong jembatan, di tepi sungai yang kotor, atau di pinggir-pinggir rel kereta api. Di Riau, di Garut, darah juga harus tertumpah. Tentu kita masih ingat bagaimana para petani di Riau berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka hingga nyawa menjhadi bayarannya. Atau di Garut, nyawa seorang kawan pun hilang akibat represifitas aparat ketika sedang melakukan perlawanan bersama rakyat.

Meningkatnya fundamentalisme yang ditunjukkan oleh ormas-ormas anti demokrasi seperti FPI pun menambah kisruh keadaan negeri. Kemacetan yang akhir-akhir ini menjadi sebuah opini yang meluas juga tidak lain merupakan akibat dari pemerintahan dengan sistem kapitalisme ini. Kemacetan yang ada tentu juga disebabkan oleh kelebihan produksi kendaraan. Hal tersebut tentu bukan hal yang mengherankan. Mengingat dalam sistem kapitalisme, pemerintah lebih memilih para kapitalis. Mereka mengizinkan para kapitalis untuk terus memproduksi kendaraan – kendaraan pribadi. Sementara transportasi publ;ik terabaikan dan polusi serta udara kotor diberikan pada rakyat. Masalah lumpur Lapindo yang tak kunjung usai, naiknya harga-harga kebutuhan pokok, listrik, ledakan tabung gas, dan lain-lain juga menunjukkan betapa hancurnya rezim yang berkuasa hari ini. Berbagai kebijakan yang hadir tersebut pun tentu tidak terlepas kaitannya dengan legislatif (DPR/DPRD/DPD) yang hari ini juga diisi oleh orang-orang yang berasal dari partai-partai politik borjuasi dan dari kalangan, siapa lagi kalau bukan : pemilik modal.

Rezim dan Hegemoninya

Rezim kapitalis neoliberal SBY jilid 2 ini pun terus mencengkram rakyat melalui hegemoni yang dilancarkan lewat media. Media seolah menjadi kata kunci bagi situasi nasional dan bagi opini yang (diharuskan) berkembang di masyarakat,. Kepemilikan media yang dikuasai oleh (lagi-lagi) para pemilik modal alias kaum kapitalis pun, tentu semakin menyolidkan barisan penyerang rezim. Pengalihan isu-isu yang berkaitan langsung dengan penderitaan rakyat pada akhirnya dengan mudah dialihkan rezim melalui berbagai macam pemberitaan yang berkedok “netral” di media. Mulai dari televisi, media cetak, sampai ke situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter pun kini masih berada dalam wilayah kekuasaan rezim. Mereka masih menjadi alat hegemoni utama, untuk membodohi rakyat, dan untuk membuat rakyat lupa atas penderitaan yang mereka alami. Munculnya fenomena lagu “Keong Racun” ditengah-tengah berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat, seperti tabung gas yang mudah meledak, kenaikan tarif listrik, dll pun, tentu tidak lain merupakan bagian dari cara rezim untuk meredam perlawanan rakyat.

Epilog

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun