Dia sedang di kantorku? Untuk apa? Sejak kapan ia tahu aku berkantor di daerah ini?
Ah, Moy, apa kabarmu? Sudah dua tahun sejak kita terakhir bertemu.
Belum sempat aku bertindak, kulihat seseorang berpayung biru mendekat ke arah kafe dari seberang jalan. Wanita itu menurunkan payungnya ketika sudah menginjak teras kafe.Â
Seorang pelayan membantunya menyimpan payung. Mataku mungkin agak buram karena semalam nyaris tak tidur, tetapi aku tahu persis wajah itu. Wajah yang tak pernah berubah, meskipun sudah dua tahun aku tak melihatnya.
Lalu, aku mendadak ingat semuanya. Semua hal tentang kami. Dua tahun lalu.
Aku meninggalkannya begitu saja ketika kami berdebat soal masa depan. Aku ingin mengikatnya, tetapi ia masih ingin terbang tinggi dan jauh. Mungkin kalian berpikir aku kurang tegas, kurang bisa merayu, dan kurang-kurang lainnya sehingga gagal membuat ikatan.Â
Mungkin memang begitulah adanya aku, yang tidak tega melihatnya tersiksa. Kubebaskan ia dengan segala keinginannya, begitu pula dengan masa depannya bersamaku.
Aku pergi ke kota ini, mencoba segalanya dari nol. Aku sengaja menutup hatiku karena tidak ingin menyakiti siapa pun lagi. Cukup aku saja yang berdarah-darah.
Moy tiba-tiba sudah berada di hadapanku, duduk dengan sikap resminya. Ia sudah tidak memakai kacamata lagi, tetapi iris matanya kini berwarna biru kehijauan --- warna favoritnya. Ia memandangku, menanti aku bicara. Akan tetapi, apa yang harus kukatakan? Mengucapkan selamat datang di kota ini? Menyambutnya dengan konfeti dan rangkaian bunga? Aku tahu Moy tidak suka semua selebrasi itu.
Hujan masih saja deras. Sepertinya malah bertambah deras sebab aku merasakan butiran-butiran halus air menerpa wajahku. Angin juga mulai nakal, membuat rambut ikal Moy berantakan, tetapi si empunya seolah-olah tak peduli. Malah aku yang tidak tahan untuk segera merapikannya.
"Apa kabarmu, Moy?" tanyaku sambil memainkan cangkir kopi, berharap Moy tidak melihat kegundahanku.