Mohon tunggu...
De Kils Difa
De Kils Difa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat

Berkarya Tiada BAtaS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Harga Secuil Jasa

11 November 2021   07:04 Diperbarui: 11 November 2021   08:38 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Rumah Pena Inspirasi Sahabat

Dkils-Kehidupan sehari-harinya yang hanya tukang sol sepatu tetap menjadikan dirinya bangga atas apa yang telah ia kerjakan untuk orang lain. Ia berupaya menjalankan apa yang selama ini menjadi keyakinannya untuk bisa bermanfaat bagi orang banyak. Tak ia berikan tarif khusus bagi para pelanggan sepatu solnya.

Baginya, para pelanggan sudah memberikan upah berapa pun, ia bersyukur. Bahkan, tak diberi pun ia tersenyum. Menandakan kebersyukuran atas kepercayaan sang pelanggan untuk membetulkan sepatu kepadanya. Ia cukup puas dengan hal itu.

Sama halnya dengan sang pencukur rambut yang kutemui tadi siang di samping toko buku langganan. Iseng untuk mencukur rambut di tempat tak biasanya, aku langkahkan kaki masuk ke sebuah ruang yang tak terlalu besar untuk ukuran tukang cukur seorang diri.

Ia menyambut dengan senyum mengembang. Lantas mempersilahkan duduk di singgasana yang lumayan empuk. Cermin besar terpampang jelas di depan. Aku bisa melihat sejelas-jelasnya bentuk dan ukuran di bagian wajah.

Mulai dari mata yang tidak sipit juga tidak belo, hidung agak pesek, dua telinga agak lebar, kemudian bibir dower karena formasi gigi yang tidak merata. Juga tentunya rambut bergelombang yang siap untuk dipangkas. Semuanya jelas.

Tangan terampil dan cekatan sang tukang cukur mulai bergerak ke kanan kiri membelah rambut gondrongku. Senjatanya yang sudah memakai mesin bukan lagi gunting manual, menerobos seluruh helai rambut. Maklum, aku ingin dipotong dengan style botak 1 cm. Jadi sang tukung cukur bebas leluansa membabat habis rambut.

Setelah tipis rambut di kepala, barulah dia mulai mencukur dengan memakai perhitungan yang matang, agar tidak terjadi ketidakseimbangan antara panjang rambut yang satu dengan rambut yang lain.

Selesai. Kurang lebih menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk mencukur habis serta menjadikan rambut dalam ukuran panjang 1 cm. Dalam cermin kelihatan ukuran kepala yang semakin kecil. Makanya tak salah kalau sebagian teman memanggilku 'si kepala kecil'.

Kutanyakan berapa harga yang harus kubayar untuk jasanya kali ini. Dia menjawab "terserah abang aja".

"Hah?".

Kutanyakan ulang, ternyata ia memiliki jawaban sama. Kutanya lagi. Sama jawabannya.

"Kenapa terserah saya Bang? Biasanya kan udah ada tarifnya."

Dia menggeleng, lalu berkata pelan: "Saya berniat menolong orang yang membutuhkan pertolongan Bang, ngga ada niat untuk di duitin, tapi kalau  ada yang mengasih yaa saya ambil. Makanya saya tak pasang tarif. Terserah mau kasih berapa, tak ngasih pun tak apa-apa." Ia mengembangkan senyum. Tulus.

Aneh buatku.

Kukeluarkan selembar uang sepuluh ribu lalu memberikan kepadanya, ia menerima, tapi dimasukan uang tersebut ke dalam kotak yang ada di atas meja cukurnya. Lalu ia membersihkan sisa-sisa potongan rambut yang berserakan di lantai. Aku pamit dan mengucapkan terima kasih. Ia mengangguk.

Sebenarnya ingin sekali aku mengobrol dengannya tentang konsep pembayaran yang ia terapkan seperti tadi. Tapi waktuku sedikit. Wahyu sudah menunggu di atas motor dengan senyum yang amat-amat kecut. Aku tertawa melihatnya. Dari sikapnya, jelas ia ingin buru-buru pulang.

Memang ini salahku, sebelumnya tidak ada agenda cukur rambut saat merencanakan pergi ke toko buku. Aku mengajak Wahyu untuk menemani. Tadinya ia tak mau. Tapi kurayu, "hanya ke toko buku aja", maka ia pun berangkat. Dan kenyataannya...?

Hehehehehehe... sorry Wahyu sayang...

Untuk menebus kesalahan, kuajak ia makan mie ayam di tempat favorit. Wajahnya masih tertekuk lucu. Aku menggoda sambil melucu untuk membuatnya tersenyum. Berhasil. Apalagi saat pesanan mie ayam kami datang, dengan sigap ia buru-buru mengambil saus dan sambal, lantas memakannya dengan lahap.

Aku tertawa melihat wajahnya yang kini berubah dari kecut bertekuk menjadi  merah merona karena kepedesan. Dasar Wahyu kalau makan sambal tak kira-kira ia meraupnya. Sekarang dia rasakan sendiri akibatnya.

Selesai sudah kami makan mie ayam. Aku membawa motor santai menyelusuri jalan raya menuju kampung. Tak begitu ramai, sehingga membuatku bisa bertolah-toleh menikmati jalan raya sambil pikiran terus berputar kepada kedua orang yang memiliki konsep sama dalam menjual jasa.

Pertanyaan-pertanyaan berputar di kepala terkait masalah itu. Mereka menyatakan ingin menolong orang tanpa meminta pamrih, tapi kalau diberi mereka menerimanya. Apakah mereka dalam hal ini termasuk golongan orang-orang yang mengerjakan sesuatu dengan ikhlas yaa ?

Sebab bagi mereka, mereka ingin menjalankan konsep bermanfaat bagi manusia lain dalam hal yang mereka kuasai. Itu saja. Kalau toh ada yang memberi imbalan, itu mereka anggap sebagai rezeki dari Tuhan atas usahanya tersebut. Tapi mereka tak mau memintanya terlebih dahulu.

Aku jadi geleng-geleng kepala. Bingung.

Sungguh beda sekali dengan pemikiran orang-orang yang menyebutnya dewan di gedung sana. Sudah minta besar dari rakyat, tetap aja ngentil. Ooppzzz...

Kupercepat laju sepeda motor. Aku ingin segera sampai di rumah, apalagi Wahyu perlahan menyindir dengan melantunkan lagu heroik para The Jak mania. Ehmmm... pantas saja dia ingin buru-buru pulang. Hari ini jadwal Persija main.

Semakin kupercepat laju sepeda motor, kasihan Wahyu. Tapi tiba-tiba aku mendadak berhenti. Dan bertanya pada Wahyu, "Bungkusan buku yang udah dibeli mana?"

Yupzzzz...... dia geleng-geleng kepala. Begitu pun aku. Ini artinya......

Go back to tukang mia ayam......

Tidak tahu bagaimana ekspresi Wahyu saat kuputar arah kembali sepeda motor. Yang kutahu, ia semakin keras mendendangkan lagu The Jak mania.

"Hari ini ku tinggalkan pekerjaan

Siap-siap tuk nonton pertandingan

Orang bilang aku ini kesurupan

Demi Persija apapun ku lakukan

Persjia Jakarta ooo... Persija Jakarta oooooo...."

Aku tersenyum, lantas tertawa terbahak-bahak.

#Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan tahun 2021 (walau telaaat... Hahaha)

Sumber Gambar : Rumah Pena Inspirasi Sahabat
Sumber Gambar : Rumah Pena Inspirasi Sahabat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun